Mohon tunggu...
Mutiara Margaretha Yaletha
Mutiara Margaretha Yaletha Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - makhluk hidup yang menempati sepetak tanah

be myself and here i am •.• kawasan bebas polusi

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Rekam Jejak Jean Paul Sartre dan Warisan Pemikirannya

14 Desember 2024   23:08 Diperbarui: 15 Desember 2024   10:08 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi diolah melalui Canva

Latar Belakang Keluarga

Jean-Paul Sartre (1905--1980) adalah filsuf, novelis, penulis drama, dan pemikir utama eksistensialisme abad ke-20. Sartre lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Perancis, dari pasangan Jean-Baptiste Sartre dan Anne-Marie Schweitzer. Ayahnya adalah seorang perwira angkatan laut yang meninggal ketika Sartre baru berusia dua tahun. Kehilangan ini membuat Sartre dibesarkan oleh ibunya dan kakeknya dari pihak ibu, Charles Schweitzer. Sang kakek, seorang pendidik yang sangat mencintai sastra klasik, berperan besar dalam membentuk kecintaan Sartre terhadap literatur dan filsafat. 

Sartre menempuh pendidikan awalnya di Paris dan dikenal sebagai anak yang pendiam dan penyendiri. Tubuhnya yang kecil dan lemah sering membuatnya menjadi sasaran perlakuan kurang menyenangkan dari teman-temannya. Hal ini memperkuat kecenderungannya untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca daripada bersosialisasi. 

Pada tahun 1924, Sartre masuk ke Ecole Normale Suprieure (ENS), salah satu institusi pendidikan tinggi paling bergengsi di Perancis. Di sini, ia menunjukkan kecerdasan dan dedikasinya dalam bidang filsafat, meskipun tetap dikenal sebagai pribadi yang introvert. Sartre lulus dari ENS pada tahun 1929 dengan gelar filsafat. 

Pendidikan

Setelah lulus Sartre bekerja sebagai guru filsafat di berbagai sekolah menengah atas di Perancis selama lima tahun. Pada tahun 1933, ia melanjutkan studinya sebagai mahasiswa peneliti di Institut Franais di Berlin dan Universitas Freiburg, Jerman. Di Jerman, Sartre mempelajari fenomenologi dari Edmund Husserl dan filsafat eksistensialisme Martin Heidegger. 

Selama periode ini, Sartre mulai menulis karya-karya yang kelak menjadi fondasi pemikirannya. Novel pertamanya La Nause terbit pada tahun 1938 dan menjadi salah satu karya eksistensialisme paling terkenal. Diikuti oleh karya filsafat Transcendence de l'Ego dan kumpulan cerpen Le Mur pada tahun 1939, Sartre semakin dikenal di kalangan akademis dan sastra. 

Peran dalam Perang Dunia II 

Ketika Perang Dunia II meletus pada tahun 1939, Sartre bergabung dengan wajib militer dan bertugas sebagai meteorolog di Angkatan Darat Perancis. Pada tahun 1940, ia ditangkap oleh pasukan Jerman dan ditahan di sebuah kamp tawanan perang selama sembilan bulan. Selama penahanan ini, ia menulis beberapa konsep awal dari karya filsafatnya yang besar. Setelah dibebaskan pada tahun 1941, Sartre kembali ke Paris dan aktif dalam gerakan perlawanan Perancis. 

Di masa ini Sartre menulis L'Etre et le Nant, karya filsafat monumental yang memperkenalkan pandangan-pandangannya tentang kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran manusia. 

Karier Pasca-Perang

Setelah perang Sartre menjadi salah satu tokoh intelektual terkemuka di Eropa. Ia mendirikan majalah Les Temps Modernes bersama Simone de Beauvoir dan Maurice Merleau-Ponty, yang menjadi wadah untuk mendiskusikan isu-isu filsafat, politik, dan sastra. Sartre memopulerkan eksistensialisme dengan menekankan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas makna hidupnya sendiri. 

Melalui karya-karyanya seperti La Nause dan Les Mouches, Sartre menekankan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya. Tidak ada takdir atau kekuatan ilahi yang menentukan hidup manusia. Sebaliknya, manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui tindakan dan pilihannya. 

Konsep Kebebasan Manusia

Salah satu gagasan sentral Sartre adalah konsep etre-en-soi (menjadi dalam dirinya sendiri) dan etre-pour-soi (menjadi untuk dirinya sendiri). Ia berpendapat bahwa manusia, melalui kesadarannya, membawa kebebasan yang tidak terbatas, tetapi kebebasan ini disertai dengan tanggung jawab yang besar. Sartre menolak gagasan bahwa manusia dapat mengandalkan agama, tradisi, atau institusi untuk menentukan pilihan hidupnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun