STAI Sadra mengadakan seminar nasional dengan mengangkat tema Wawasan Kebangsaan dan Moderasi Beragama", pada hari Jumat (16/08/2024) di Auditorium STAI Sadra. Seminar ini juga dalam rangka memperingati Dirgahayu Indonesia ke-79. Fadlu Rahman selaku moderator membuka diskusi dengan menyatakan bahwa konsep moderat tidak memiliki hubungan dengan kelompok tertentu, itu adalah sistem berpikir yang mengacu pada akar berpikir. Kira-kira adakah konsep sederhana yang memudahkan manusia dalam membangun sistem berpikir moderat? Faktanya manusia sulit menentukan mana yang moderat dan tidak moderat. ketika ditemukan pun level moderatnya berbeda-beda.
Wawasan kebangsaan dapat didefinisikan sebagai cara individu atau kelompok melihat keberadaannya yang dikaitkan bersama nilai-nilai dan semangat kebangsaan (nasionalisme). Adapun pilar-pilar wawasan kebangsaan yaitu pancasila, Bhinneka Tunggal ika, NKRI dan Semangat Gotong Royong. Wawasan kebangsaan hadir untuk memberikan pemahaman individu atau kelompok mengenai bangsanya dan mengaplikasikan nilai-nilai di dalamnya.
Dr. H. Sa'dullah Affandy, M.Ag selaku Direktur Said Aqil Siroj Institute juga turut menjelaskan tentang pentingnya moderasi beragama di era modern. QS. al-Baqarah [2]: 143 "Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menajdi saksi atas (perbuatan) manusia". Tuhan menjadikan manusia agar berada di tengah-tengah, tidak condong ke salah satunya, berdiri tegak di atas kebenaran. Indonesia dibangun dengan keberagaman bukan keseragaman, kasus paskibra yang dilarang menggunakan hijab maka itu kontradiksi dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, karena tidak menoleransi keberagaman.
Basrir Hamdani Ph.D sebagai pemateri kedua menjelaskan bahwa dua istilah -wawasan kebangsaan- ini sangat berkaitan. Ketika membicarakan wawasan kebangsaan dalam konteks beragama, ia tidak akan lepas dari moderasi beragama. Pada saat perumusan dasar negara, Soekarno mengajukan 5 prinsip dasar negara disusul oleh tokoh-tokoh lain yang pada akhirnya melahirkan perdebatan pada sila pertama yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Semua tokoh yang mewakili berbagai suku dan agama cukup lama menyepakati dasar negara khususnya pada sila pertama "ketuhanan yang maha esa". Dalam hal ini, semua pihak harus berada pada satu persepsi selayaknya filsafat moral ibnu Miskawaih yang mengajarkan tidak berada ekstrim di salah satu sisi.
Bangsa Indonesia dibentuk dalam semangat moderasi, selanjutnya ketika moderasi ini ditambahkan dengan kata beragama ini menjadi sesuatu yang perlu pemahaman yang memadai supaya tidak salah memaknai moderasi beragama. Maka, dalam pemahaman pemateri moderasi perlu analisis dan pemahaman yang mendalam dalam mengenal maknanya. Moderasi umumnya dipahami sebagai sikap berada di tengah agar tidak ekstrim dalam beragama. Kita boleh beriman sekuat-kuatnya dan sedalam-dalamnya pada titik ekstrim pun tidak apa, asalkan kembali pada prinsip agama "relasi baik terhadap tuhan dan relasi baik terhadap manusia". Silakan beriman kepada tuhan Sekuat-kuatnya tapi tidak mengorbankan relasi kita sebagai manusia kepada manusia yang lain. Kita tidak boleh terlalu menghormati orang lain sampai membuang keimanan, contohnya menghormati orang yang tidak seiman sampai ikut pada ibadahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H