"Ya ampun! Kalian mau bangun jam berapa?" Tegur Kak Meri, salah satu kakak tingkat yang menjalani KKN bersama kami.
"Ini jemuran jangan digantung di ranjang dong, kan jemur di belakang bisa,"
"Eh iya kak," Kalsim segera menurunkan jemuran dari atas ranjangnya dan langsung pergi dari hadapan senior killer itu.
"Ayo Lis, nanti keburu kena semprot Kak Meri," Yara mengajak Lisa piket ke taman belakang.
"Itu kenapa ada rumput depan pintu kalian?" tanya Kak Meri.
"Pohon cabe Kak," sahut Lisa.
"Cabut, cabut."
"Sayang-sayang Kak, udah mulai numbuh cabenya," Lisa memelas.
"Dicabut," ulang Kak Meri.
Sudah tidak selera mendebat, Lisa pun segera mencabut pohon cabe sampai ke akar-akarnya.
"Gagal panen deh," canda Yara.
Suasana di sekitar kamar kost masih terasa tegang setelah Kak Meri bercuap-cuap. Lisa memutuskan untuk menanam kembali pohon cabe di taman depan kost. Apa yang dianggap sebagai langkah sederhana untuk menyelesaikan masalah, malah menjadi awal dari kisah menyeramkan yang baru.
Setiap sore, sebelum matahari benar-benar terbenam, anak-anak kost putri biasanya akan berkumpul di halaman kost dengan handphone yang setia digenggam. Mereka menelusuri lorong-lorong kecil di sekitar kost, mencari sudut pandang terbaik untuk mengabadikan pemandangan itu. Mereka merasa bahwa memotret semburat warna-warni senja adalah cara untuk menangkap keindahan alam yang indah.
"Ra, kamu ada obat penurun panas nggak?" tanya Lisa.
"Kamu kenapa Lis?" Yara memegang dahi Lisa dan terkejut saat menyedari suhu badan lisa yang tinggi.
"Heh kok bisa panas banget sih! Perasaan tadi baik-baik aja," Yara mulai sibuk menyiapkan obat dan minum untuk diberikan kepada Lisa.
"Nggak tau nih, semoga aja besok udah turun, biar bisa ikut gotong royong besok,"
"Yaudah istirahat aja sana," titah Yara.
Setelah memastikan Lisa sudah terlelap, Yara pun pergi ke kamar sebelah untuk mendiskusikan program KKN.
next part three...