Punya 4 anak itu bukan berarti jadi jago banget menjadi orang tua karena berarti banyak pengalaman mengasuh anak. Nyatanya setiap anak itu mempunyai karakter dan keunikan tersendiri. Jadi berapapun banyaknya anak, orang tua harus terus belajar bagaimana mendidik dan memperlakukan masing-masing anak agar setiap anak merasa istimewa dan dihargai.
Seperti hal nya ke empat anakku, tiga perempuan satu laki-laki.
Mbak Firda, si sulung yang tinggal di pesantren di tahun ke tiganya. Dulu waktu pertama kali tinggal di sana, adanya nangis melulu. “Nggak betah, Mama”. Padahal masuk pesantren itu atas keinginannya sendiri. Nggak sangka sebenarnya, karena setahuku dia anak yang cepat mandiri. Saat TK, hanya 2 hari saja aku antarkan sekolah, setelah itu langsung berangkat dan pulang ikut jemputan. Dengan adik-adiknya pun ia sangat ngemong. Sejak SD sudah bisa bantu mandiin si bungsu, nyebokin kalau pipis, beres-beres rumah, dll. Begitu masuk pesantren, lha jadi seperti anak manja.
Sekarang dia sudah berubah. Mungkin karena ada adiknya yang juga masuk di pesantren yang sama. Sikapnya sudah lebih dewasa. Tidak lagi sering menelepon. Uang jajan sering utuh karena rajin makan di math’am, malah sering kasih nasehat adiknya agar tak boros. Padahal dia sendiri saat awal masuk, borosnya minta ampun J
Dia suka masak meski tak sejago sang adik. Tapi dialah yang pandai mengelola segala sesuatu. Saat dia masih di rumah, aku mempercayakan perpustakaan gratis di rumah kepadanya. Ia juga suka mengorganisir teman-temannya untuk patungan membuat kue. Masing-masing anak membawa bahan-bahannya, telor, tepung, gula, dst. Lalu dimasak di rumah bareng-bareng. Dia juga yang menjadi andalan menjaga adik-adiknya saat ayahnya mengantarkanku ke stasiun setiap hari. Maklum, kami tidak punya pembantu yang menginap.
Miss her much.
Kakak Hasna, sejak bayi terdidik mandiri karena sempat diasuh di Tempat Penitipan Anak (TPA) di kantorku selama 1,5 tahun. ASI eksklusive langsung dari mama, full ASI 2 tahun, kedekatan dengan mama dan didikan di TPA membuatnya tumbuh mandiridan pede. Eh, begitu masuk TK berbalik 180 derajat. Minta ditungguin pengasuh sampai pulang. Itu berlangsung sampai lulus TK. Dengan dorongan setiap waktu, dan penghargaan atas kebaikan-kebaikan yang dia miliki aku yakin dia akan kembali menjadi Hasna yang mandiri. Seperti halnya namanya, Abidah, dia sangat rajin beribadah. Sholat dan tilawah tanpa di suruh. Suka ikut bangun dan sholat malam. Sering kali terharu melihatnya.
Dia paling jago masak terutama bikin kue atau makanan cemilan. Lebih jago dari ayahnya yang juga hobi bikin kue. Kalau mamanya sih suka juga tapi malas karena sering kehabisan waktu dan tenaga untuk yang lain. Sejalan dengan hobinya itu, ia juga jago makan, makanya badannya paling ndut. Jika lapar, dia ajak saudara bikin makanan sendiri di dapur, mulai dari telor cetak, kue bolu, pudding, keripik tahu, kentang goreng aneka rasa, dan banyak lagi lainnya. Seadanya bahan di rumah aja. Kue bolu bikinannya lebih enak dari bolu yang suka aku beli di dekat rumah lo.
Saat masuk pesantren sangat berbeda dengan kakaknya. Kebetulan hari pertama masuk, aku sedang sakit, jadi yang mengantar hanya ayahnya. Aku sudah khawatir dia akan ngambeg. Alhamdulillah, she’s just fine. Malah kalau ditengokin, ia tak menjadi manja dan enggan meninggalkan kegiatan yang harusnya dia ikutin untuk ijin karena sedang di mudifah (ditengok ortu).
Seperti halnya mbak Firda dulu, di tahun pertamanya ini dia masih belum bisa mengatur keuangannya. Boros abis.
Ketika minggu lalu kami mengunjunginya, dia minta pulang dengan wajah murung. Aku khawatir jangan-jangan sedang bertengkar dengan temannya atau ada masalah lain. Ternyata gusinya bengkak sudah seminggu tak berani bilang mudhabirnya, takut dibilang pura-pura sakit. Setelah diberi pengertian bersama mudhabirnya, barulah dia tersenyum, ke klinik sebentar lalu sudah bisa ditinggal.
Si ganteng satu-satunya, mas Fatih, waktu dia berumur 3 tahun, sudah berani pisah dengan ortu untuk tinggal di rumah kakek nenek di kampung halaman selama 3 bulan. Hobbynya nyerocos sepanjang waktu. Tak peduli di motor, kereta, atau dimanapun, dia akan selalu menanyakan segala hal sampai sering kali membuat orang-orang disekelilingnya tersenyum2.
Ketika masuk usia sekolah, sempat mengalami masalah psikologis, mudah meledak, akibat dibully oleh teman sekolah dan tekanan dari kakak-kakaknya yang dominan, aku sempat khawatir. Bagaimana tidak, ia sempat mengancam bunuh diri dengan membawa2 pisau. Aku diskusikan dengan guru kelasnya dan minta pengertian kakaknya bahwa si adik perlu pertolongan semua yang menyayanginya. Stop teve, hp dan sejenisnya selama berbulan2. Alhamdulillah hasilnya menggembirakan. Kemarahannya tak lagi under control. Sekarang nonton dan hape sudah diperbolehkan dengan batasan, saat libur dan dengan pendampingan ortu.
Hapalannya juga termasuk cepat dan susah hilangnya.
Si bungsu Zalfa, brilian dan senatiasa membuat suasana menyegarkan. Sudah kelas I SD dlam usianya yang belum genap 6 tahun. Seperti halnya mas Fatih, dia tak pernah berhenti bicara kecuali tidur. Semua hal ditanyakan hingga detil.
Air itu terbuat dari apa? Kenapa ada hujan? Kenapa Teve bisa nyala? Kenapa lampu bisa terang? Kenapa Ayah kulitnya hitam? Dan statemen2 dia lainnya yang suka bikin geli. Ayah itu beruntung bisa dapat mama. Aku gak mau sekolah tk, habis temen2nya kalau diajak main nggak nyambung sih.
Suatu pagi ayah dibuatnya geleng2 kepala. Berangkat sekolah salah kostum. Karena besoknya akan berangkat study tour, maka seragam olah raga yang harusnya dipakai hari itu diganti putih merah. Jadilah sudah sampai sekolah balik lagi ganti seragam. Sampai sekolah lagi, guru kelasnya sudah datang, dia langsung lari masuk mobil kembali, ngambeg nggak mau masuk kelas. Katanya, bu Tuti sudah datang, aku terlambat. Maklum biasanya dia datang pagi, sebelum gurunya datang. Dia baru mau masuk kelas setelah gurunya dan teman2nya memanggilnya.
Satu lagi yang bikin ayahnya gemas. Tak mau dicium ayah. Katanya hanya mama yang boleh cium. Dirayu seperti apapun tetap enggak mau. He he he memang anak mama dia. Belajar dan murojaahpun harus sama mama. Kalau aku lagi menginap karena urusan pekerjaan, ya terpaksa murojaah lewat telepon.
Seiiring dengan perkembangan umur mereka cara mendidikpun terus berkembang sesuai dengan perkembangan mereka. Terkadang aku juga merasa kewalahan, tapi itulah indahnya menjadi orang tua kurasa. Ketika mereka besar kelak, aku hanya akan bisa mengenang setiap detil kejadian bersama mereka sebagai momen yang tak kan terlupakan. Maka selelah, seberat dan sesulit apapun, semoga Allah memberiku sabar dan kekuatan menjadi orang tua yang baik buat mereka, yang bisa mendampingi mereka menjadi anak-anak yang sholih/sholihah. I love you all, my pearls…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H