Mozaik Cinta adalah Babak II dari Mutiara-Mutiara. Berkisah tentang cinta Ara dan Faiz, rekan kerjanya yang sudah bertunangan. Cinta yang yang terlambat untuk disadari. Cintanya yang sangat besar pada Ara membuat Faiz nekat melamar Ara meskipun tak akan bisa menikahinya. Ara bahagia sekaligus merana. Ia melarikan laranya ke luar negeri demi menghindari pertemuan dengan Faiz. Kisah cinta mereka berakhir di sebuah senja yang muram.
Cerita sebelumnya:
Mozaik Cinta #1: Kepingan hati yang berserak
Mozaik Cinta #2: Kampung Pelarian
Mozaik Cinta #3: Guru Baru Intan
Mozaik Cinta #4: Kerinduan Itu
Mozaik Cinta #5: Gadis Dalam Lukisan
Hari masih teramat pagi ketika dering hp Ara memecah keheningan. Ara masih terlelap dalam mimpi setelah semalam ia terlambat memejamkan mata. Dengan malas di raihnya hp di meja dekat tempat tidurnya. Matanyapun masih setengah memejam. Samar terbaca nama bunda di sana.
“Assalamu’alaikum, Bund.”
“Wa’alaikumussalam, Ara. Baru bangun ya? Ini sudah Shubuh lo,” kata bunda demi mendengar suara Ara yang masih bermalas-malasan.
“Iya, Bund. Semalam Ara terlambat tidur.”
“Kenapa sayang? Ada sesuatu yang kamu pikirkan?”
“Mmm... nggak apa, Bund. Mikirin besok mau kasih apabuat anak-anak eh keterusansampai larut.”
“Beneran?”
“He em.”
“Kamu nggak pengen pulang, Nak? Ayah dan bunda udah kangen nih. Sudah enam bulan kamu nggak pulang.”
“Ara juga kangen bund. Tapi sepertinya Ara belum bisa.”
“Kamu dah janji katanya mau segera menikah. Banyak yang nanyain kamu lo di sini. Si Bayu anak temen mama juga sepertinya pengen menjadikanmu pendamping kalau kamu tak keberatan. Kalian dulu kan sempet akrap waktu SMA to?” Ara terdiam sesaat.
“Bunda, Ara belum bisa memutuskan sekarang. Eh, maaf, Bund, Ara mau sholat dulu ya, nanti keburu habis shubuhnya. In Shaa Allah Ara segera pulang nengok bunda dan ayah. Tapi soal pernikahan, Ara belum bisa menjawabnya sekarang. Maafkan, Ara, Bund.”
“Ya sudah sana sholat dulu.”
“Salam buat ayah ya, Bund.”
“Iya, jaga diri baik-baik, ya. Assa’lamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Ara segera menuju ke kamar mandi untuk berwudlu. Telepon dari bundanya semakin menambah gelisah dihatinya sejak semalam. Sesungguhnya ia tengah memikirkan hubungannya dengan Faiz yang tak kunjung mengalami kemajuan. Faiz tak pernah menyinggung apapun tentang pernikahan dan tak sekalipun Ara menanyakan kepada Faiz tentang kelanjutan hubungan mereka berdua meskipun ia sangat berharap Faiz akan mengerti bahwa ia sungguh menginginkan hal tersebut. Terkadang Faiz bertanya padanya kenapa Ara tak meninggalkan Faiz saja untuk mengejar masa depannya sendiri. Dengan tegas Ara tetap berkeras untuk tinggal di sana bersama Faiz dan anak-anak asuhan mereka. Betapapun berat hidup jauh dari semua yang dikenalnya,orang-orang terdekatnya, kecuali Faiz, Ara belum mau menyerah.
“Jadi kapan om Faiz dan bu Muti menikah?” tanya Intan saat mengantarkan makanan dari emaknya. Saat itu Ara kebetulan sedang bersama Faiz di teras rumah.
“Memang kenapa?”
“Kan kalau orang cinta, terus menikah?”
“Kau tanya saja sama om Faiz, apa dia mau menikahi bu Muti yang cuma guru desa ini,” sindir Ara. Faiz garuk-garuk kepala.
“Wah, nggak adil nih kalau om Faiz dikeroyok dua orang.”
“Intan, menikah itu tak semudah membalik telapak tangan. Banyak yang harus dipikirkan. Lagi pula ini urusan orang dewasa. Sudah sana, Intan pasti sudah di cari emak,” kata Faiz.
“Om Faiz ngusir nih?” ledek Intan. “ Ya udah, Intan pamit dulu.”
“Buka gitu, Tan. Kan nanti kalau Intan di sii terlalu lama, emak ga ada yang bantuin terus emak marah dan Intan nggak boleh belajar lagi di sini gimana?”
“Iya, Intan tahu. Intan pulang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaimussalam.”
Ara kemabali menelan kecewa itu dihati. Pun saat kedatangan keluarga Faiz ke rumahnya, Ara tetap harus bergelung dengan kecewa tiada usai.
Saat itu mama datang bersama keluarga Faiz lainnya. Kebetulan Ara sedang bersama Faiz dan anak-anak lain belajar bersama. Mama terkejut melihat Ara.
“Lho, kalau nggak salah ini nak Ara, kan?” Ara tersipu.
“Betul, bu.”
“Jadi kalian sudah menyelesaikan urusan kalian?” Ara makin merona.
“Kok, mama sudah kenal? E..e... siapa, Ma?” tanya Firda, kakak Faiz.
“Coba kamu yang kenalkan nak Ara ini, Iz,” kata mama. Faiz merasa seperti ketahuan telah mencuri sesuatu.
“E…e…, papa, kak Fauzan, kak Firda, ini Ara, teman kantor Faiz dulu.” Ara menyalami mereka semua.
“Sudah lama, nak?” tanya mama pada Ara.
“Ara sudah enam bulan disini, ma.” Faiz yang menjawab.
“Sudah enam bulan di sini dan kau nggak pernah cerita ke mama? Keterlaluan kau, Iz?”
“Tunggu! Tunggu! Sebenarnya ada apa sih ini, papa kok nggak ngerti?” papa yang sedari tadi cuma jadi pendengar, tak tahan untuk bertanya.
“Pa, Ma, sebaiknya kita masuk dulu. Nanti akan Faiz ceritakan semuanya.”
“Faiz, mungkin sebaiknya aku pulang dulu.”
“Nggak pa-pa, nak. Coba lihat, Kiki sudah seru bermain sama anak-anak itu.”
“Baiklah, Bu. Faiz, biar aku yang melanjutkan mengajari mereka. Kau temui keluargamu dulu.”
Faiz mengangguk.
Mama mendorong kursi roda Faiz ke ruang tengah, ingin segera mendengar cerita Faiz tentang Ara.
“Pa, sini kita dengar pengakuan Faiz. Kau juga boleh dengar Firda. Fauzan mana?”
“Barusan ke kamar, Ma.Mungkin capek.”
“Biar saja kalau begitu.”
Faiz menjadi salah tingkah ditodong mamanya seperti itu.
“Jadi siapa Ara sebenarnya, tolong kau jelaskan pada kami,” kata mama tak sabar.
Firda yang tak sengaja duduk menghadap lukisan Ara langsung terhenyak.
“Tunggu, sepertinya aku tahu siapa Ara itu, dia gadis dalam lukisanmu itu kan?”
“Sabarlah, Firda. Biar Faiz yang menjelaskan.”
Faiz tambah salah tingkah, melihat satu persatu ke arah keluarganya lalu menunduk.
“Maafkan, Faiz, Ma, nggak bilang mama kalau Ara ada di sini.”
“Jadi, bolak-balik kami kesini, Ara sudah ada di sini, dan kau tak bilang pada mama?”
“Kami baru bertemu bertemu tiga bulan lalu. Tapi ia sudah ada disini enam bulan, mengajar anak-anak di sekolah desa.”
“Aduh, aduh, mama. Ini sebenarnya ada apa sih? Ceritanya dari awal, dong!” papa merasa jengkel belum mengerti juga jalan cerita Faiz.
Mama akhirnya berbaik hati menceritakan dengan singkat. Tentang kedatangan Ara ke rumah mencari Faiz. Tentang pembicaraannya dengan Faiz terkait Ara. Faiz menambahi cerita mama bagaimana Ara bisa menemukannya di desa, menjadi guru, dan akhirnya bertemu dengan Faiz.
“Ya, Tuhan, masih ada gadis seperti itu? Dan kau Faiz, kenapa tak segera bilang kepada kami untuk melamarnya? Apa lagi yang kau tunggu?” kata papa jengkel.
Faiz menunduk.
“Faiz tak layak untuknya lagi, Pa. Faiz nggak akan bisa membahagiakannya.”
“Lalu buat apa kau pikir ia susah payah meninggalkan semua yang dimilikinya? Kau ini bodoh.” Firda merasa gemas dengan kerasnya hati adiknya. “Coba kaulihat dia, pasti hanya dekat denganmu yang membuatmu bahagia. Aku jamin ia nggak akan seperti Sarah. Ia juga sayang sama anak-anak. Tuh,lihat aja ia sudah akrab dengan Kiki.”
Semua rayuan keluarganya tak cukup menghancurkan dinding yang terbangun di hati Faiz.
“Faiz, sepertinya Ara mencarimu.” ujar mama saat melihat Ara ragu-ragu hendak mengetuk pintu. Teras rumah Faiz memang bisa terlihat sampai ruang tengah. Faiz menghampiri Ara.
“Kami mau pamit, Iz, sudah hampir sore,” kata Ara.
“Baiklah, Ara!”
“Om, kami pulang dulu ya!” sahut anak-anak.
“Nak Ara jangan pulang dulu ya, nak. Mama ingin bicara denganmu.”
Tiba-tiba mama Faiz sudah ada diantara mereka.
“Baik, bu. Kalian pulang dulu ya anak-anak.” Segera anak-anak berhamburan pulang.
Mama mengajak Ara duduk didepan danau tempat Faiz biasa menikmati senja.
“Nak Ara, Faiz telah menceritakan semuanya. Tapi dasar Faiz keras kepala, kami semua tak berhasil membujuknya, nak. Ibu sungguh menyesal. Ibu akan sangat senang kalau nak Ara menjadi menantu ibu. Maafkan Faiz, ya nak.”
Ara berusaha tersenyum, meskipun hatinya menangis.
“Bu, Faiz tidak salah apa-apa. Saya yang salah. Telah memasuki kehidupan Faiz.”
Mama memeluk Ara penuh haru.
“Raihlah hidupmu sendiri, nak. Jangan berkorban sebesar ini untuk Faiz.” Ara mulai tak sanggup menahan butiran air mata yang mengalir perlahan.
“Ara, mencintainya, bu. Dan ia telah mengikat saya dengan cintanya. Saya tak akan pernah meninggalkannya, apapun keadaannya. Biarlah Faiz tidak mau menikah, saya sudah cukup bahagia melihatnya tersenyum.”
Mama melepaskan pelukannya.
“Apa maksudmu, Nak?” Ara memperlihatkan cincin berlian pemberian Faiz. Mama sangat terkejut melihatnya.
“Faiz telah melamar saya empat tahun lalu. Meskipun kemudian Faiz bilang saya bebas menentukan hidup saya karena memang Faiz telah bertunangan.”
“Ya, Tuhan!” mama terpekik.
“Saya telah menerimanya. Cincin yang dipasang Faiz ini tak sedetikpun saya lepaskan.”
Sekali lagi mama memeluk Ara erat.
Dari dalam rumah, Faiz memperhatikan dua orang perempuan yang paling dicintainya, saling berpelukan. Ia tak mendengar apa pembicaraan mereka. Tapi hatinya sudah cukup teriris melihat semuanya.
“Bu, tolong jangan salahkan Faiz. Jangan memaksanya. Faiz pernah trauma. Saya akan menunggunya sampai kapanpun. Semoga Allah berkenan membukakan hatinya kembali untuk saya.”
“Sesungguhnya hatinya juga hanya untukmu, nak. Entahlah apa yang membuatnya tak bisa menerimamu seperti seharusnya. Mama hanya bisa mendoakan kalian.”
++
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H