Mohon tunggu...
MUTIARA HURUL AINI
MUTIARA HURUL AINI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2024, Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

7 Unsur Kebudayaan Suku Samin yang Menjadi Warisan Adat hingga Kini

13 Desember 2024   22:31 Diperbarui: 13 Desember 2024   22:31 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://kumparan.com/winarnikandar/mengenal-suku-samin-yang-jujur-tetapi-dikenal-ngeyelan-1xTjJ6kReJC/2

Di masa modernisasi dan perkembangan teknologi ini, berbagai wilayah di Indonesia yang sempat tertinggal mulai dibentuk untuk mengikuti daerah-daerah yang lebih dulu maju. Namun ternyata hal tersebut tak berlaku pada salah satu suku di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah, Suku Samin. Suku ini memilih untuk tetap mempertahankan apa yang sudah diajarkan oleh nenek moyang mereka tanpa merubah dan mengikuti jaman.

Suku Samin sendiri terkenal dengan filosofi hidupnya yakni Sedulur Sikep yang menekankan kesederhanaan, kejujuran, dan harmoni dengan alam. Bagi mereka hidup itu tidak rumit, hanya cukup menjaga hubungan baik antar sesama dan juga hubungan dengan alam. Selain dari filosofi hidup yang mencerminkan kearifan lokal, hal itu juga ternyata merupakan sebuah bentuk perlawanan pasif pada pihak Belanda pada awal abad 20, terkait perpajakan.

Namun, apa yang sebenarnya membentuk kebudayaan Suku Samin? Jika ditelusuri lebih dalam, kebudayaan mereka dapat dilihat melalui tujuh unsur universal yang menjadi kerangka dalam antropologi: sistem religi, bahasa, sistem mata pencaharian, teknologi, organisasi sosial, kesenian, dan sistem pengetahuan. Melalui unsur-unsur ini, kita dapat memahami bagaimana nilai-nilai kehidupan sederhana yang mereka junjung tidak hanya menjadi prinsip moral, tetapi juga tertanam dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Artikel ini akan membahas bagaimana Suku Samin mewujudkan tujuh unsur budaya tersebut dalam tradisi dan kehidupan mereka. Misalnya, keyakinan mereka terhadap harmoni alam sebagai bagian dari sistem religi, bahasa Jawa ngoko sebagai alat komunikasi, serta bentuk kesenian lokal yang sederhana namun penuh makna. Dengan mempelajari lebih dalam, kita dapat melihat bagaimana nilai-nilai ini tetap relevan dan menjadi inspirasi bagi masyarakat modern yang sering kali lupa akan kearifan lokal.

Sistem Pengetahuan 

Masyarakat Samin memiliki sistem pengetahuan yang mendalam tentang alam dan kehidupan sosial budaya mereka. Dalam pandangan mereka, bumi dianggap sebagai ibu yang dihormati, karena bumi dianggap sebagai sumber kehidupan yang memberikan perlindungan, kasih sayang, serta segala yang dibutuhkan untuk hidup, seperti pangan dan sandang. Oleh karena itu, mereka merawat bumi dengan penuh kasih, menggunakan pupuk alami, menjaga kesuburan tanah dengan rotasi tanaman, dan menjaga keseimbangan alam dengan tidak mengambil sumber daya alam secara berlebihan. Dalam hal sosial, masyarakat Samin memiliki sistem kekerabatan yang unik, di mana perkawinan tidak tunduk pada peraturan negara, tetapi dilakukan berdasarkan hukum adat dengan empat tahapan: Nyumuk, Ngendek, Nyuwito, dan Paseksen, yang semuanya mencerminkan proses penghargaan dan komitmen dalam hubungan. Dalam budaya, filosofi Sedulur Sikep mengajarkan kesadaran diri, kesederhanaan, serta rasa hormat terhadap sesama. Filosofi ini menekankan hidup damai tanpa konflik, kejujuran yang dijaga, dan rasa syukur terhadap apa yang dimiliki, dengan aksi nyata dan hati yang baik sebagai aspek penting, bukan status sosial atau sekadar kata-kata. Sistem pendidikan dalam masyarakat Samin tercermin melalui berbagai fasilitas dan kegiatan yang mendukung pembelajaran serta pengembangan kreativitas. Pendopo, sebuah bangunan yang menjadi tempat berdiskusi, bercengkrama, dan mempelajari ajaran-ajaran yang diwariskan oleh Mbah Samin Surosentiko, berfungsi sebagai pusat pembelajaran. Setiap Selasa Kliwon, diadakan sarasehan, forum diskusi yang diikuti oleh para pria untuk membahas berbagai isu, pendidikan budaya, dan topik lainnya, sementara para wanita mengembangkan kreativitas mereka melalui kegiatan membatik. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) berfungsi sebagai tempat belajar bagi anak-anak, dan juga sebagai ruang bagi remaja untuk mempelajari ilmu kebatinan dalam beberapa tahap tertentu. Selain itu, masyarakat Samin meyakini bahwa segala benda memiliki makna simbolis yang menggambarkan nilai hidup dan filosofi mereka, seperti cincin emas dalam upacara Ngendek yang melambangkan kejujuran dan keseriusan.

Sistem religi

Sistem religi Suku Samin berakar pada ajaran Sedulur Sikep, yang menekankan kehidupan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Kepercayaan mereka berpusat pada konsep ketuhanan universal, yakni "Sang Hyang Widi," tanpa keterikatan pada agama formal atau ritual tertentu. Mereka menjalani hidup dengan nilai-nilai moral seperti kejujuran, kesederhanaan, dan menjauhkan diri dari konflik. Prinsip ini tercermin dalam praktik sehari-hari, seperti tidak mencuri, tidak berbohong, serta menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungan. Ajaran ini diwariskan secara lisan sebagai bagian dari tradisi budaya mereka.

Berbeda dari agama-agama formal, sistem kepercayaan Suku Samin tidak memiliki kitab suci, tempat ibadah, atau tata cara ritual yang terstruktur. Mereka memandang bahwa tindakan nyata yang berbasis moralitas adalah bentuk ibadah tertinggi kepada Tuhan. Selain itu, kehidupan selaras dengan alam menjadi inti dari ajaran mereka, dengan menolak eksploitasi lingkungan yang berlebihan. Nilai-nilai ini mencerminkan filosofi hidup sederhana yang menjadi ciri khas Samin, yang juga dianggap sebagai perlawanan damai terhadap aturan yang dianggap tidak adil, seperti pada masa kolonial.

Sistem Mata Pencaharian Suku Samin

Pertanian adalah mata pencaharian utama Suku Samin. Mereka mengelola sawah dan ladang dengan metode tradisional yang tidak merusak lingkungan. Jenis tanaman yang biasa mereka tanam meliputi: Padi yaitu Sumber pangan utama, terutama di lahan sawah dan Palawija Seperti jagung, kacang-kacangan, dan singkong, biasanya di lahan tegalan. Suku Samin menggunakan sistem tanam bergilir tanpa bergantung pada pupuk kimia atau pestisida modern. Mereka percaya bahwa menjaga keseimbangan alam akan menghasilkan hasil panen yang cukup.

Suku Samin sering tinggal di dekat kawasan hutan, seperti di Pegunungan Kendeng. Mereka memanfaatkan hasil hutan tanpa merusaknya, antara lain, Mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga, Memanfaatkan daun, rotan, dan bambu untuk kerajinan tangan seperti tikar, anyaman, dan alat rumah tangga.

Beternak juga menjadi bagian dari mata pencaharian Suku Samin, meskipun tidak sebesar pertanian. Mereka biasanya memelihara hewan seperti, Ayam, Kambing, Sapi (kadang digunakan untuk membajak sawah) Hewan ternak ini digunakan untuk keperluan rumah tangga atau dijual untuk memenuhi kebutuhan tambahan.

Suku Samin juga terlibat dalam aktivitas perdagangan sederhana, menjual hasil bumi atau produk kerajinan tangan di pasar lokal. Namun, mereka melakukannya dengan sistem barter atau perdagangan kecil tanpa terlibat dalam sistem kapitalis yang besar.

Suku Samin memiliki pandangan hidup yang unik terhadap pekerjaan. Mereka bekerja secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Filosofi mereka menekankan hidup sederhana tanpa serakah. Oleh karena itu, mereka cenderung tidak mengejar keuntungan berlebih, melainkan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam.

Sistem Organisasi Sosial

Suku samin berasal dari Blora, Jawa Tengah. Suku ini memiliki system organisasi sosial yang unik dan khas yang terbentuk dari nilai-nilai egalitarian dan tradisi yang telah diwariskan secara turun-menurun. Yang pertama adalah struktur kekerabatan, masyarakat samin memiliki system kekerabatan yang mirip dengan masyarakat jawa pada umumnya, namun terdapat beberapa perbedaan, mereka tida terlalu mengenal hubungan darah yang ketat dan lebih mengutamakan hubungan tetangga dan komunitas. Dalam interaksi sehari-hari mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan "sedulur" yang berarti saudara.

Yang ke dua nilai-nilai kesetaraan, salah satu prinsip suku samin adalaah kesetaraan, mereka menolak hierarki sosial dan memperlakukan setiap individu dengan sama tanpa memandang larat belakang. Seperti saat mereka berkomunikasi menggunakan Bahasa jawa ngoko yang mencerminkan tida mengenal tingkatan dan sebagai penolakan terhadap statifikasi sosial. Yang ketiga praktik gotong-royong, system gotong-royong sendiri di masyarakat samin dikenal sebagai sambatan, kegiatan ini melibatkan semua anggota masyarakat yang saling membantu dalam berbagai aktivitas seperti membangun rumah atau panen tanpa mengharapkan imbalan, kegaiatan sambatan menunjukan solidaritas da kebersamaan yang tinggi.

Yang ke empat pernikahan dan tradisi budaya, pernikahan di masyarakat samin dianggap penting dan biasanya dilakukan secara sderana tanpa melibatkan Lembaga pemerintah atau agama resmi, tradisi ini mencerminkan kemandirian mereka dalam menjalani kehisupan sosial dan budaya. selain itu, mereka juga memiliki upacara tradisi yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti nyadran (bersih desa) dan slamatan.

Sistem Bahasa 

Suku samin menggunakan Bahasa Jawa Ngoko yaitu Bahasa Jawa yang sederhana dalam kesehariannya, maka dari itu suku samin sering disebut "orang Jawa lugu" atau "Jawa jawab", yaitu orang jawa yang berbicara dengan lugu. Hal ini disebabkan ajaran masyarakat Samin yang tidak pernah membeda-bedakan orang. Menurut masyarakat Samin semua orang memiliki kedudukan maupun tingkatan yang sama.

Masyarakat Samin tidak pernah mempelajari maupun menggunakan Bahasa asing atau Bahasa yang bukan Bahasa Jawa, hal ini disebabkan pandangan mereka bahwa sebagai orang Jawa maka harus berbahasa Jawa pula, maka dari itu tidak pantas menggunakan Bahasa asing.

Namun seiring dengan berkembangnya zaman, suku samin mulai mengenal  tingkatan Bahasa Jawa yaitu krama, meskipun tidak menggunakan tingkatan Bahasa jawa seperti umumnya yang lebih kompleks. Mereka akan menggunakan Bahasa jawa krama jika berkomunikasi dengan orang di luar suku samin. Bahasa jawa ngoko sekarang hanya digunakan di ranah keluarga dan juga saat berkomunikasi dengan sesama masyarakat samin. Bahkan, golongan muda masyarakat samin sekarang sudah menggunakan jawa krama saat berbicara dengan orang yag lebih tua untuk menghormati lawan.

Sistem peralatan dan teknologi 

Menurut penelitian yang dilakukan, suku Samin, yang terkenal dengan ajaran dan tradisi unik mereka, memiliki sistem peralatan hidup yang sesuai dengan prinsip sosial dan budaya mereka. Berikut adalah beberapa aspek penting dari sistem peralatan hidup pada suku samin : Alat Tradisional Pertanian Masyarakat samin menggunakan alat sederhana ini untuk bertani dengan melihat ke efektifannya, seperti Cangkul : Untuk menggali tanah, Sabit : Memanen padi atau tanaman lainnya, Keranjang : Mengumpulkan dari hasil panen, Penggunaan alat ini menunjukkan kesadaran komunitas tentang cara memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Pada Arsitekrur rumah yang dimana Prinsip gotong royong, atau sambatan, digunakan untuk membangun rumah tinggal suku Samin. Ciri-ciri rumah mereka termasuk seperti Desain Tradisional: Rumah limasan atau joglo yang menggunakan bahan alami seperti kayu dan bambu. Fungsi Ruang: Ruang dalam rumah biasanya tidak memiliki sekat, yang memungkinkan keluarga berkumpul, sementara dapur terpisah

Dengan hubungan mereka dengan alam, masyarakat Samin menerapkan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya, seperti menggunakan kayu dan bahan bangunan, Menghindari eksploitasi lingkungan yang berlebihan

Walaupun mereka menghargai tradisi, masyarakat Samin juga mulai menggunakan teknologi modern. Misalnya, penggunaan traktor dalam pertanian dan penggunaan bahan bangunan tradisional seperti batu bata dan genteng untuk atap. Perubahan ini, bagaimanapun, dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai tradisional.

Ajaran nenek moyang Samin, seperti kejujuran, gotong royong, dan sikap saling membantu, sangat memengaruhi prinsip hidup masyarakat Samin. Kehidupan sehari-hari mereka didasarkan pada prinsip-prinsip ini, yang membantu memperkuat hubungan komunitas. Masyarakat ini terkenal dengan prinsip hidup sederhana dan kemandirian, serta penolakan terhadap banyak aspek modernitas, terutama yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan signifikan dalam cara mereka berinteraksi dengan teknologi.

Meskipun suku Samin memiliki sejarah panjang yang mengedepankan nilai-nilai tradisional, mereka juga mulai mengadopsi teknologi modern untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Salah satu alat yang paling terlihat adalah penggunaan telepon seluler. Dengan adanya telepon seluler, anggota masyarakat dapat berkomunikasi dengan lebih mudah, baik di dalam komunitas maupun dengan orang luar. Ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial tetapi juga membuka akses terhadap informasi dan peluang baru.

Dalam sektor pertanian, yang merupakan mata pencaharian utama bagi banyak anggota suku Samin, penggunaan alat modern seperti traktor dan mesin pemotong padi mulai diperkenalkan. Alat-alat ini membantu meningkatkan efisiensi kerja dan hasil panen. Meskipun demikian, masyarakat Samin tetap menjaga metode pertanian tradisional yang ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dan teknik bercocok tanam yang berkelanjutan. Kombinasi antara teknologi modern dan praktik tradisional ini menciptakan sistem pertanian yang lebih produktif tanpa mengorbankan prinsip keberlanjutan.

Meskipun ada banyak manfaat dari adopsi teknologi, masyarakat Samin juga menghadapi tantangan. Salah satunya adalah risiko kehilangan identitas budaya di tengah arus modernisasi. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk menemukan keseimbangan antara memanfaatkan teknologi untuk kemajuan ekonomi dan sosial sambil tetap menjaga nilai-nilai tradisional yang telah menjadi bagian integral dari identitas mereka

Secara keseluruhan, sistem teknologi di suku Samin menunjukkan bagaimana sebuah komunitas dapat beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengorbankan jati diri mereka. Dengan memanfaatkan teknologi secara bijaksana, masyarakat Samin tidak hanya mampu meningkatkan kualitas hidup tetapi juga memperkuat posisi mereka dalam konteks global sambil tetap mempertahankan warisan budaya yang kaya. Transformasi ini adalah contoh inspiratif tentang bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Sistem Kesenian 

Suku Samin memiliki berbagai kesenian yang tak kalah banyak dengan suku lain. Kesenian Suku Samin tak bisa dilepaskan dari masyarakat Suku Samin, karena hal tersebut merupakan warisan Budaya yang diturunkan secara turun temurun. Makna dan filosofi yang terkandung dalam setiap kesenian suku samin menunjukan nilai-nilai kehidupan, seperti rasa saling menghormati dan gotong royong,beberapa kesenian yang berasal dari Suku Samin diantaranya adalah Tari Guyub Samin Yang Merupakan tarian kolosal yang menceritakan filosofi masyarakat suku samin, yang menjunjung tinggi kerukunan, gotong royong, guyub dan jujur.Tari Tayub ini Merupakan tarian pergaulan yang biasanya yang dilakukan oleh para pria. Gamelan dan tembang Jawa mengiringi tarian ini. Tembang Jawa ini dilantunkan oleh waranggono,syair yang di tembangkan penuh dengan petuah dan ajaran.

Yang kedua adalah Tari Gambyongan yang merupakan tarian yang dilakoni oleh perempuan. Para lelaki biasanya memainkan alat musik untuk mengiringi tarian ini. Lagi yang menjadi pengiring tarian ini tidak ada kekhususan, biasanya lagi yang dimainkan sesuai dengan permintaan.

Dan ada terkaitan dengan seni yang dinamakan Seni Tayuban merupakan kesenian tradisional yang digunakan dalam acara penyambutan tamu kehormatan. Selain itu Seni Tayuban juga dilakukan dalam berbagai upacara adat, salah satunya adalah peringatan sedekah bumi.

Selanjutnya ada Magengan yang merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Suku Samin setiap tahunnya, menjelang bulan puasa dan menjelang berakhirnya bulan puasa. Setiap warga akan saling mengundang satu sama lain untuk melakukan tradisi ini secara bergantian. Dalam tradisi ini akan dilakukan doa bersama serta setiap tamu yang hadir akan diberi berkat.

Pada kesehariannya, masyarakat Suku Samin tidak mengenakan pakaian khusus. Tapi pakaian khusus untuk laki- laki berupa baju panjang hitam, celana panjang hitam, serta ikat kepala hitam. Pakaian ini biasanya digunakan ketika menyambut orang- orang dari luar masyarakat Suku Samin. Pakaian serba hitam ini, memiliki arti bahwa manusia itu kotor dan tidak ada yang sempurna, karena kesempurnaan itu hanya milik sang pencipta. Itulah beberapa kesenian yang berasal dari Suku Samin. Kesenian Suku Samin mencerminkan kerukunan, keharmonisan, kedamaian,serta keterhubungan dengan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun