Saya baru datang dari rumah dosen saya. Seorang profesor dalam bidang bahasa. Bapaknya orang Indonesia. Pulang ke China saat rezim Soeharto masih berkuasa.
Niat utama ke rumah dosen saya adalah untuk “bai nian (silaturrahmi Hari Raya Imlek)”. Saya sebelumnya tidak pernah tahu kalau dosen saya itu masih mempunyai darah Indonesia. Karena, saat mengajar, dia memang tidak pernah cerita tentang asal-muasalnya.
“Wo ba shi huaqiao (Bapak saya Chinese Overseas),” kata dosen saya sambil lalu menyuguhkan teh. Saya kaget. Seketika saya bertanya: “Yuanxian zhu zai na (Sebelumnya tinggal di mana)?”. “Yinni (Indonesia),” jawabnya. Saya senang sekali mendengarnya.
Memang, banyak sekali orang-orang China yang sebelumnya lahir di Indonesia kemudian memilih pulang ke China saat rezim Soeharto masih berkuasa. Dari mereka, banyak yang kemudian menuai sukses di China. Ada yang jadi dosen; ada yang jadi dokter; ada yang jadi pegawai pemerintahan; dsb. Tapi, kali ini lain. Saya jauh-jauh menimba ilmu ke China, salah satu tujuannya adalah mencari pengalaman diajar oleh guru dari negara lain. Tapi, ternyata tetap saja. Saya diajar oleh orang Indonesia (orang keturunan Indonesia, tepatnya).
Di rumahnya, saya lebih banyak bercerita dengan bapak dosen saya daripada dengan dosen saya. Ceritanya macam-macam. Mulai dari ceritanya ketika masih tinggal di Indonesia, sampai ke cerita tentang kemajuan China sekarang.
Bapak dosen saya itu, masih lancar sekali bahasa Indonesia. Kami juga lebih banyak berbincang-bincang dengan bahasa Indonesia daripada dengan bahasa China—bahasa Mandarin. “Saya lahir di Jember, Jawa Timur,” katanya, ketika saya bertanya di mana tempat lahirnya. “Dekat sekali dengan tempat saya, itu! Saya di Situbondo,” kata saya. Bapak itu tampak sekali bersemangat mendengar jawaban saya. Dia kemudian mencoba mengingat-ingat kembali beberapa tempat yang pernah menjadi tempat mainnya dulu, ketika masih di Indonesia. “Seingat saya, di Situbondo ada yang namanya pantai Pasir Putih,” katanya bersemangat. Saya meng-ya-kan.
Banyak sekali tempat-tempat di Indonesia yang masih bapak dosen saya itu ingat. Padahal, saya pikir, akan sulit bagi orang seusianya masih dapat mengingat sesuatu dengan jelas. Umurnya sudah 87 tahun. Pulang ke China pada usia 18 tahun. Masih sempat menamatkan SMA-nya di Malang—sebelum kemudian SMA-nya itu ditutup.
“Dulu kami pulang pakai perahu. Disediakan oleh pemerintah China. Sekitar dua bulan mengarungi samudera baru bisa sampai ke sini,” ceritanya. Saya serius sekali mendengarkannya. “Dulu China masih belum semaju sekarang. Tapi, pemerintah tidak pernah lupa pada kami sebagai rakyatnya. Sekalipun Negara masih sangat terbelakang, mereka tetap menyediakan kami tempat untuk tinggal, baju untuk kami pakai, makananan untuk kami makan,” lanjutnya. Saya terkagum-kagum—membayangkan pemerintah Indonesia juga berperilaku demkian terhadap rakyatnya. “Jadi, kami tidak kurang apa-apa sekalipun dari Indonesia tidak bawa apa-apa,” terangnya lagi, sambil tersenyum.
Ketika ditanya mengenai disediakan atau tidak disediakannya kesempatan pendidikan untuk mereka yang baru kembali, kala itu, bapak yang juga pensiunan dosen musik di salah satu universitas di China ini mengaku disediakan dengan tanpa pungutan biaya seperser pun! “Saya juga tidak pernah menyangka akan dapat meneruskan kembali pendidikan saya yang sempat terputus di Indonesia, dulu,” akunya. Saya hanya bisa tersenyum mendengarnya.
Mengenai kondisi tentang Indonesia, bapak dosen saya itu, juga masih banyak mengetahui. Bahkan sampai ke kondisi perpolitikannya pun. Maraknya korupsi di Indonesia tak luput juga dari perbincangannya. Saya hanya mendengarkan. Tak banyak mengomentari. Karena, terus terang, saya malas sekali mau membahas korupsi di negeri ini.
“Saya dulu ngajar lagu-lagu Indonesia di universitas. Ngajar musik-musik tradisional Indonesia juga. Banyak dari murid saya yang bisa memainkan Angklung, Gamelan,” aku bapak itu ketika saya tanya pelajaran apa yang dipegangnya ketika masih mengajar. Saya kagum sekali. “Saya mengajar pelajaran itu, karena saya suka sekali dengan kebudayaan Indonesia. Saya tidak ingin kebudayaan yang indah itu hanyut tertelan masa,” katanya bersemangat.
Saya tak henti-hentinya berdecak kagum dibuatnya.
Sebelum kemudian kami berpisah, kata-kata bapak ini yang sungguh membuat haru saya: “Saya akan selamanya mencintai Indonesia. Semoga suatu saat ada kesempatan untuk mengunjungi kembali tanah airku tercinta itu…”
[caption id="attachment_158528" align="aligncenter" width="480" caption="Bapak dalam cerita ini, adalah yang di samping kanan."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H