Mohon tunggu...
Mutiara Harum Handadari
Mutiara Harum Handadari Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Hello! My name is Tiara, an undergraduate political science student in Airlangga University. My main interest are in Human Rights, Women Rights, Gender Equality, and Feminism.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kekerasan Seksual Pada Laki-Laki, Problematika yang Terabaikan

19 Juni 2022   23:25 Diperbarui: 19 Juni 2022   23:44 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.app.goo.gl/7LwZiMxzfSKmtJT48

Mengutip dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh Komnas Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, yang bertentangan dengan kehendak seseorang (tanpa consent).

Selama ini, kekerasan seksual identik dengan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelakunya. Budaya patriarki yang mengakar di Indonesia melahirkan stigma bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual dan pemerkosaan. Budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang dihasilkan oleh budaya patriarki turut memengaruhi stigma/stereotip masyarakat yang mengekspektasikan laki-laki sebagai sosok yang kuat sehingga mustahil bagi mereka dilecehkan atau diperkosa. Perlu diketahui, glorifikasi sifat maskulin dapat menjadi bumerang bagi kaum laki-laki itu sendiri. Konstruksi sosial yang menganggap laki-laki jauh lebih superior membuat laki-laki korban kekerasan seksual meragukan, menyangkal, bahkan denial terhadap pengalaman mereka sendiri. Dan berakhir, mereka hanya mengabaikan pengalaman tersebut bagai angin lewat dan menyembunyikan rasa sakit dan trauma yang dihadapi sendirian. Anggapan bahwa laki-laki makhluk yang kuat dan agresif secara seksual membuat mereka kerap kali dituduh menikmati keuntungan dari kekerasan seksual yang menimpanya. Bahkan, jika mereka jujur tidak menikmati hal tersebut, terkadang ada beberapa pihak yang menuduh mereka gay atau abnormal. Miris, bukan?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), korban kekerasan seksual pada laki-laki mencapai 3,6% di wilayah perkotaan dengan kategori kekerasan seksual kontak dan kekerasan seksual non kontak mencapai 5,6% pada 2018. Tak hanya itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2018 juga menunjukkan ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. 

Selain itu, tahun 2021 lalu, publik digemparkan oleh kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang laki-laki pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh rekan kerjanya yang juga sesama lelaki. Delapan orang pelaku dipecat karena kasus tersebut. Sementara, korban masih menjalani proses penyembuhan dari depresi akut dan trauma yang dialaminya

https://images.app.goo.gl/uYgcqsXSitVPYhf48
https://images.app.goo.gl/uYgcqsXSitVPYhf48
Melihat situasi tersebut, kita tidak bisa terus menutup mata akan kekerasan seksual yang dialami oleh kaum laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan, mereka semua sama-sama manusia. Sama-sama bisa merasakan kesakitan, sama-sama bisa merasakan trauma, dan keduanya sama-sama tidak bisa diabaikan. Narasi laki-laki menjadi korban kekerasan seksual sudah sepantasnya turut kita perjuangkan karena kekerasan seksual sendiri tidak memandang latar belakang, kekayaan, dan gender yang dimiliki oleh setiap manusia. 

Dalam meregulasi hal tersebut, kita harus bisa perlahan-lahan menghapus mindset patriarki beserta produk-produk yang dihasilkannya seperti maskulinitas rapuh (toxic masculinity), standar ganda (double standard), dan produk-produk lainnya yang bisa membatasi, mendiskriminasi, dan merebut hak perempuan maupun kaum laki-laki itu sendiri. Pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual bukan lagi agenda untuk perempuan saja, melainkan laki-laki juga sudah sepantasnya turut terlibat. 

Kita patut bersyukur, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan parlemen pada 12 April lalu, yang menjadi instrumen kunci untuk perjuangan pemberantasan kekerasan seksual ini dapat menjadi payung hukum yang melindungi seluruh korban kekerasan seksual, baik perempuan, laki-laki, maupun kelompok non-biner. Hal ini dibuktikan langsung oleh pernyataan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani yang mengatakan bahwa “Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bukan hanya melindungi perempuan, tapi juga pria dan anak-anak.” Semoga dalam prakteknya, UU TPKS ini bisa diimplementasikan dengan baik dan dapat benar-benar menjamin serta melindungi hak-hak korban kekerasan seksual. 

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun