Mohon tunggu...
Mutia Rachma
Mutia Rachma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Wanderer, cooking and sport enthusiast. https://www.tumblr.com/blog/duniamute

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inspirasi Pak Budi

28 Juni 2016   15:20 Diperbarui: 28 Juni 2016   15:31 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Obrolanku dengan ibu hanya sampai situ. Tidak ada pembahasan lain, tidak ada pengaduan hanya ada pemakluman dan mencoba betapa pun tidak suka dan tidak rela uang iuran tersebut masuk ke kantong mereka, aku dan ibu harus mengerti. Mengerti perjuangan mereka sebagai orangtua.

***

Aku tumbuh besar dengan guru-guru semacam itu. Ada banyak juga guru-guru baik dan tulus yang sangat berperan dalam perkembangan wawasan serta nilai-nilai yang sangat mempengaruhi hidupku. Namun memang guru dengan predikat ‘matre’ atau sederhananya suka meminta uang begitu berkesan. Tentu kesan negatif.

Hingga, aku yang saat SMA tertarik dengan kebudayaan Jepang diterima di Sastra Jepang Universitas Padjadjaran. Di sana lah aku melihat sosok seorang dosen, sederhana dan bersahaja. Tutur katanya lembut, tulus dan penuh makna. Rasanya apa pun yang dikatakan beliau adalah benar, meskipun ia sering kali berkata,

“Kita di kelas ini, sama-sama belajar..” Yang kami tangkap sebagai ungkapan rendah hati seorang dosen, bahwa seakan beliau tidak selalu benar dan belum banyak tahu mengenai apa pun meskipun kenyataan berkata sebaliknya.

Nama beliau adalah Budi Rukhyana, yang sering dipanggil Budi sensei. Sensei dalam bahasa Jepang berarti guru atau dosen. Beliau dosen beberapa mata kuliah di Sastra Jepang Universitas Padjadjaran yang membahas Jepang dari sudut sosiologi, pola pikir serta kebudayaan. Sebagai dosen Sastra Jepang, ia tahu betul apa yang terjadi pada Jepang, pola pikirnya, semangat, disiplin, kerja keras serta kebanggaan akan tanah air merupakan hal-hal yang patut ditanamkan pada setiap diri bangsa Indonesia terhadap negeri tercinta. 

****

Meskipun kami kuliah di Sastra Jepang, tidak lantas mendewakan segala sesuatu yang berasal dari Jepang. Jepang dengan berbagai kelebihannya memang patut ditiru dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tentu ada kekurangannya. Tapi yang Budi sensei sering bahas dalam kelas adalah aite no kimochi. Aite no kimochi dalam bahasa Indonesia berarti perasaan lawan. Lawan di sini diartikan lawan pembicara bisa teman, keluarga, pasangan, penjual dan lain sebagainya.

Menurut beliau, ini kecenderungan sifat bangsa Jepang. Mereka sangat mengutamakan aite no kimochi. “Apakah ini hal baik yang perlu ditiru?” tanyanya pada sebuah sesi kelas Nihonjijo*. Ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang berpendapat baik dan tidak baik lalu sesi berpendapat diakhiri dengan uraian panjang beliau mengenai aite no kimochi.

“ Aite no kimochi bisa baik jika, jika kita memposisikan orang lain dengan tepat. Artinya sebelum kita bertindak dan berkata pada seseorang dalam sebuah forum diskusi atau obrolan dengan memikirkan perasaan lawan bicara mereka. Apakah mereka akan tersinggung atau tidak, bagaimana cara mengutarakan pendapat tanpa menyinggung dan lain sebagainya. Namun, aite no kimochi pada bangsa Jepang sering menyulitkan hubungan pertemanan. Dalam tata bahasa, mereka tidak selalu bisa berkata to the point. Seringkali hanya mengacu pada hal yang dimaksud karena terlalu memikirkan perasaan lawan bicara. Ini menyulitkan bagi lawan bicara dari bangsa lain sebut saja Indonesia.” Begitu Penjelasan Budi Sensei kala itu.

Namun dalam banyak hal, aku jadi berpikir mengenai aite no kimochi. Menurutku, bicara bisa to the point tapi prinsip aite no kimochi juga penting untuk diterapkan. Karena, kadang mulut atau perbuatan yang tidak dipikirkan akan berdampak buruk. Perkataan yang penuh emosi dan tanpa dipikir dapat menyulut pertengkaran yang banyak berakhir dengan kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun