Mohon tunggu...
Mutiara Chinta
Mutiara Chinta Mohon Tunggu... -

Lulusan SMEA Antonius Semarang tahun 1993. Ibu rumah tangga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Mengepaklah Tinggi, Bidadari Tanpa Sayapku

23 Desember 2013   07:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

No. Peserta : 437

Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali.
Bagai sang surya menyinari dunia.

Bait-bait dari kidung masa kanak-kanak itu, menggelitik hatiku. Anganku melayang mengembara menjelajah langit biru masa lalu. Menggugah kembali lembaran cerita kenangan masa kecilku bersamamu, Ibu.

Ibu, engkaulah guru pertama yang mengajari aku kasih sayang yang tulus tanpa pamrih.
Darimu juga, pertama kali aku belajar bernyanyi, merangkai titik-titik menjadi garis dan aksara yang bermakna.

Ya Ibu….
Seperti barisan kata dibait lagu ‘Kasih Ibu’ itu, kasihmu memang bagai sang surya. Selalu memberikan cahaya tanpa mengharapkan balasan. Walau seribu cerca kata dan umpatan bahasa tercipta ataspanas maupun redup cahayanya, namun sang surya tetap terus memberikan keelokan sinarnya. Bola dunia pemberi cahaya itu mampu memapas butiran kristal badai, mengubahnya menjadi jalinan benang raja, menghias angkasa dengan keindahan warnanya.

Dengan penuh kasih, ibu selalu memberi, memberi dan memberi, tanpa mengharapkan balasan. Dan semua kasih, doa,nasihat, dan tauladanmu, mampu mengubah duka derita menjadi kisah bahagia.

Banyak kisah kedegilan serta kemanjaan, yang semakin membangkitkan rasa bersalahku padamu, ibu. Rasa itu tiba-tiba menggelegak menyeruak ingin memeluk permintaan maafku padamu, Ibu. Ingin aku ungkapkan semua rasa yang ada didalam hatiku, tapi ku tak mampu jika harus mengatakannya langsung kepadamu, ibu. Aku terlalu melow (=cengeng),aku takkan sanggup menahan butir-butir kristal yang pasti akan menganak sungai, saat aku mengungkapkan rasa yang menggelegak dihatiku ini.

Untuk itu, lewat goresan tinta penuh rasa ini, ingin kucurahkan semua rasaku padamu. Ungkapan rasa sayangku padamu, Ibu.

39 tahun yang lalu, setelah 9 bulan 10 hari. Aku memulai kehidupan didunia ini. Bersamamu, kita telah mencipta banyak kenangan yang tak mampu untuk dilupakan. Suka dan duka silih berganti mewarnai.

Hidup adalah pilihan, tapi manusia tak pernah bisa memilih dalam keadaan ekonomi, dan keadaan hidup yang seperti apa dia dilahirkan. Pernah ada kemarahan dan kesal yang mencubit-cubit batinku, atas jalan kehidupan yang aku alami, bu. Seribu tanya selalu menjejak dalam dada dan anganku. Mengapa akuterlahir dimasa dan dalam keluarga yang harus selalu bersabar menunggu waktu, demi sesuatu?Tuhan selalu mempunyai rahasia besar disetiap ketentuanNYA.

Saat aku kecil, ibu selalu dendangkan lagu tuk usir gelisah yang sering mengganggu nyenyak tidurku. Kau sering ‘ngudang’ (bahasa Jawa = melantunkan pujian dan harapan) untukku. Saat aku dewasa, cemas dan doamu selalu menurut ditiap jejakku. Kecemasanmu mengubah ibu yang bijaksana menjadi ‘kepo’(bahasa gaul anak jaman sekarang=selalu ingin tahu), aku jengkel dengan kecemasanmu itu, Bu. Kamu dari mana, sama siapa, kenapa terlambat sampai rumah? Rentetan introgasi itu, rutin setiap aku pulang terlambat. Kecemasan dan rentetan introgasimu buat aku uring-uringan, Ibu.

Ayah yang sakit-sakitan, kelumpuhan mas Aditya, dan 2 anak yang masih kecil, membuat ibu, mau tidak mau harus berjuang seorang diri mengatasi kesulitan hidup. Padahal, saat ibu sedang mengandung. Adik bungsu yang saat itu ada didalam garbamu, dimana diakhir jaman ini, banyak perempuan menganggap bahwa sesosok janin adalah belenggu yang bisa nyrimpeti laku (bahasa Jawa=menghambat langkah),tak menyurutkan sedikitpun semangat dan langkahmu. Belenggu-belenggu yang telah memasung kaki ibu, justru menjadikanmu semakin kuat dalam melangkahkan kaki diterjal jalan kehidupanmu. Ketangguhan dan kegigihan semangat ibu sungguh sangat luar biasa.

Saat kelulusan sekolah tiba, aku lulus dengan nilai lumayan bagus. Aku  lolos mengikuti tes  penyaringan mahasiswa baru IKIP melalui jalur prestasi. Tapi karena berbarengan dengan kelulusan 2 adikku, dan juga keadaan ekonomi yang serba kurang. Akhirnya aku tidak bisa mengambil kesempatan tersebut.

Lagi-lagi aku harus menelan pil pahit dalam kehidupanku, Bu. Aku kecewa, tidak bisa kuliah seperti yang aku cita-citakan. Menyesal atas buruknya garis nasib hidup, dan kerapuhan iman, membuat aku marah dan salah terbawa arus. Aku melakukan satu kesalahan besar.

Dengan dalih perhatian dan kasih sayang. Cinta dan nafsu duniawi telah membutakan mataku. Emosi dan kerapuhan imanku, telah menghancurkan masa remajaku. Menambah torehan luka dan dukadalam hatimu, Bu.Aku membuatmu semakin menderita.

Aku tahu, ibu marah dan kecewa. Aku yang seharusnya bisa membantu meringankan bebanmu, justru menambah masalah. Ibu memang tidak menangis, tapi aku sadar, hati ibu sangat hancur dan sedih.

Hinaan dan cemoohan karena hidup kekurangan, sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kita. Namun, dengan masalah baru yang telah aku ciptakan, hinaan dan fitnah keji semakin menerpa, menghempaskanseluruh anggota keluarga kedalam jurang kesedihan. Aku menyesal, Bu. Tapi aku tak mampu memutar kembali waktu, juga tak mampu menghapus noda yang telah mencoreng nama baik keluarga.

Tak cukup sampai disitu cobaan dan sakit yang aku timpakan kepada ibu. Kehancuran rumah tanggaku, menambah daftar merah ulahku menyakiti perasaanmu, Ibu. Kesalahan yang telah aku lakukan, bukan hanya menyakiti hatimu, Ibu.  Perasaan kedua anakku pun ikut terluka.

Disaat-saat aku terjerembab jatuh kedalam jurang kehidupan, justru ibuyang sering aku lukai, terus setia mendampingi langkahku. Kala semua jari menudingku, kucilkan aku dalam cerca, ibu terus memotivasikan semangat kehidupan padaku.Betapa besar pengorbanan yang telah kau lalui selama ini. Kasih sayangmu tetap merengkuhku, tak berkurang sedikitpun kepadaku.

Ibu, air mata memang tidak terlihat mengalir dari dua kristal netramu, saat cerita menyakitkan itu harus engkau terima. Namun aku tahu, hatimu hancur dan sangat perih. Ketegaran dan kesabaranmu justru semakin membuat aku menyesal, Bu. Dan sesal itu akan terus aku bawa sampai akhir nanti.

Meskipun aku tahu, beribu kata maaf, emas sebesar gunung atau sederet angka rupiah pun takkan mampu membalas semua pengorbananmu, Ibu. Keikhlasan dan ketabahanmu mampu mengalahkan semua cerita. Melihat kenyataan itu, aku terus memohon kepada Tuhan, agar aku diberi kesempatan dan kemampuan agar aku bisa menebus semua kesalahanku. Aku akan terus berusaha berbuat sebaik dan sebisa mungkin, untuk memberi bahagia disisa akhir masamu, Ibu.

Ingin menyaksikan kemilau senja. Satu keinginan ibu yang sangat sederhana. Akan aku wujudkan keinginanmu itu, Bu.

Ternyata, ‘keindahan kemilau senja’ yang ibu maksudkan, bukanlah keindahan pemandangan sore dipinggir Pantai Kuta, ataupun pemandangan sore hari dari Puncak Himalaya. Aku banyak bertanya dan mencari tahu tentang arti ‘Keindahan kemilau senja’ yang ibu maksud.

‘Saya ingin bisa berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Usia senja kita akan terasa berkilau saat kita bisa menunaikan ibadah haji. Tapi aku belum tahu kapan aku bisa menunaikannya.' Kalimat lisan ibu saat berbincang dengan tetangga kampung yang baru saja pulang dari tanah suci, sempat tertangkap oleh ganglia pendengaranku.

Aku baru mengerti, ternyata keindahan kemilau senja yang ibu maksud adalah berangkat haji ke Tanah Suci Mekkah. Keinginanmu sangat mulia, ibu. Menunaikan rukun islam yang kelima. Mengapa ibu tidak terus terang, padaku?

“Kamu hanya mengandalkan suamimu, tidak punya penghasilan sendiri. Jadi ibu tidak ingin membuatmu repot,”
“Tapi kan, setidaknya mas Heru bisa mengusahakannya, Bu. Mas Heru bisa menabung untuk ONH, Ibu,” lirih suaraku menjawab. Aku hanya mampu menunduk sedih setelah mendengar jawaban Ibu.
“Aku tidak ingin bisa naik haji, tapi suatu saat nanti biaya naik haji ibu, menjadi masalah dalam kehidupan rumah tangga kalian, nak,”
Aku diam tak mampu berucap mendengar jawabanmu itu, Ibu. Separah itukah luka yang telah diberikan oleh lisan mas Heru padamu?

Mas Heru memang pernah berbuat salah, Bu. Dia mengungkit-ungkit pemberiannya pada keluarga kita, tapi dia sudah menyesalinya, Bu. Dan jika memang ibu tidak ingin merepotkan mas Heru, aku akan mencari jalan lain untuk bisa mengumpulkan uang untuk ONH ibu. Sejak percakapan itu, aku terus berusaha mencari cara untuk bisa mendapatkan penghasilan dari keringatku sendiri.

Aku memang dilarang bekerja oleh mas Heru, dengan alasan takut anak-anak dan rumah tanggaku terabaikan. Tapi bu, aku masih bisa mencari pekerjaan sambilan yang bisa aku kerjakan dirumah. Untuk niat baik, Tuhan pasti akan memberi jalan, Bu.

Diam-diam aku mulai belajar menulis fiksi dan mengikuti kelas instruktur senam. Menulis bisa aku lakukan di rumah dan dimanapun, sehingga aku tidak meninggalkan rumah. Jika hasil tulisanku dimuat, aku bisa mendapatkan honor. Dan jika aku menjadi instruktur senam, aku hanya butuh sedikit waktu untuk mengajar senam disanggar. Semua itu bisa aku lakukan tanpa mengabaikan kewajibanku, Bu.Ibu tidak usah khawatir.

Dengan doa dan restumu aku akan berusaha semaksimal mungkin agar, ibu bisa menunaikan ibadah haji. Alhamdulillah aku sudah mulai menabung untuk ibadah hajimu, Bu. Simpan buku tabungan itu untuk ibu, dengan segenap usaha dan rasa kasih sayangku. Sedikit demi sedikit aku akan terus mengisinya.

Ibu, bagi orang lain, engkau hanya seorang wanita biasa. Tapi bagiku, engkau adalah bidadari. Bidadari tanpa sayap.

Semua amal ibadah, kasih sayang dan pengorbanan, akan menjadi sayap untukmu terbang ke taman firdaus nan indah. Dan aku akan berusaha menyempurnakan sayapmu itu dengan tunainya ibadah hajimu, ibu. Mengepaklah tinggi Bidadari tanpa sayapku. Gapai taman firdaus terindahmu.

Hanya itu yang mampu aku lakukan untukmu ibu. Bukti kasih sayang dan cintaku yang tak sebanding dengan apa yang telah engkau lakukan dan kau berikan padaku.

Melalui goresanku ini, aku ingin telangkupkan dua tangan memohon maaf atas segala khilaf dan salah yang telah melukaimu, Ibu. Tanpamu aku bukan apa-apa. Tanpa tauladan dan kasih sayangmu, aku tak akan menjadi seperti aku yang sekarang. Terima kasih untuk segala yang telah engkau berikan. Aku selalu  menyayangimu, Bu.

NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakanlink akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini : http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun