Penulis: Mutiara Anggraeni Tabeo
Islam, agama dengan lebih dari 1,8 miliar pengikut di seluruh dunia, memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk lanskap politik dan sosial di berbagai negara. Dalam konteks ini, peran perempuan dalam politik Islam menjadi topik diskusi yang hangat dan kompleks.
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara politik Islam dan perempuan secara mendalam, dengan fokus pada perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan gender. Di artikel ini saya akan membahas sejarah singkat peran perempuan dalam politik Islam, tantangan yang dihadapi perempuan Muslim kontemporer, upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, serta kesimpulan dan saran untuk masa depan.
Sejarah Singkat Peran Perempuan dalam Politik Islam
Pada masa awal Islam, perempuan memainkan peran aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk politik. Mereka menghadiri majelis ilmu, terlibat dalam diskusi publik, dan bahkan memberikan nasihat kepada para pemimpin. Contohnya, Aisyah binti Abu Bakar, istri Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai periwayat hadits yang terpercaya dan penasehat politik yang cerdas.
Namun, seiring waktu, peran perempuan dalam politik Islam mulai mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
Patriarki: Fondasi Ketidakadilan yang Mengakar
Budaya patriarki, yang menekankan dominasi laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, telah menjadi salah satu faktor utama yang menghambat peran perempuan dalam politik Islam.Â
Sistem ini mewariskan struktur sosial yang tidak setara, di mana laki-laki ditempatkan di posisi superior dan perempuan terpinggirkan. Hal ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pembagian peran domestik, akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, serta pengambilan keputusan.
Pengaruh patriarki dalam politik Islam terlihat jelas dalam norma-norma dan tradisi yang membatasi partisipasi perempuan. Contohnya, di beberapa masyarakat, perempuan dilarang untuk mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu atau bahkan menghadiri rapat-rapat publik. Pandangan patriarki ini seringkali dijustifikasi dengan dalih agama dan budaya, sehingga semakin memperkuat posisinya sebagai penghalang bagi kemajuan perempuan.
Interpretasi Tekstual: Membongkar Penyalahartian Teks Suci
Interpretasi tekstual yang bias gender juga menjadi faktor penting yang menghambat perempuan dalam politik Islam. Beberapa interpretasi teks-teks Islam, seperti ayat-ayat tentang poligami dan warisan, seringkali digunakan untuk membenarkan subordinasi perempuan dan membatasi peran mereka di ruang publik. Interpretasi ini, yang didasarkan pada asumsi dan konteks patriarkal, telah memicu diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan selama berabad-abad.
Penting untuk diingat bahwa Islam, sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan, tidak mentolerir diskriminasi terhadap perempuan. Interpretasi yang bias gender ini merupakan hasil dari konstruksi sosial dan budaya yang dipaksakan pada teks-teks suci. Oleh karena itu, diperlukan ijtihad kontemporer, yaitu interpretasi ulang teks-teks Islam dengan mempertimbangkan konteks zaman dan prinsip-prinsip keadilan universal, untuk melepaskan Islam dari cengkeraman patriarki dan membuka jalan bagi partisipasi perempuan yang lebih luas dalam politik.
Pengaruh Budaya: Jeratan Tradisi yang Mengikat