Mohon tunggu...
Najwa Mutiara Aila
Najwa Mutiara Aila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Young Writer

Seorang mahasiswa yang ingin terus menulis, membaca dan belajar untuk lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merekontruksi Paradigma Petugas Partai Menjadi Petugas Rakyat Melalui Keberadaan Calon Perseorangan DPR

10 Februari 2024   10:26 Diperbarui: 10 Februari 2024   10:30 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan 

Hakikat negara demokrasi adalah ketika kedaulatan dan kekuasaan tertinggi negara berada di tangan rakyat (Budiman, 2002; Widjojo, 2019). Sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi Indonesia memiliki berbagai lembaga negara untuk mewadahi kedaulatan rakyat tersebut. Salah satu lembaga penting tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagaimana namanya, DPR merupakan lembaga yang berisi para legislator yang dipilih langsung oleh rakyat dalam proses pemilu setiap lima tahun. Karena dipilih langsung oleh rakyat, maka para anggota DPR sering disebut sebagai wakil rakyat (Prayuda & Rahman, 2020).

Namun, ada sebuah dilema yang ditemui dalam sistem pemilihan anggota lesgislatif yang saat ini berlaku di Indonesia. Dilema tersebut berkaitan dengan keragu-raguan masyarakat terhadap independensi wakil rakyat dalam menyuarakan aspirasi pemilihnya. Hal ini dikarenakan syarat untuk menjadi calon legislatif harus mendapatkan tiket dari partai politik, sehingga independensi anggota DPR ketika terpilih juga tidak dapat dilepaskan dari campur tangan kebijakan partai politik yang mengajukan (DPR-RI, 2019). Rekrutmen anggota DPR melalui pintu masuk partai menjadikan anggota legislatif merasa berhutang budi kepada partai politik sehingga meningkatkan ketergantungan, bahkan melemahkan bargaining position anggota dewan dihadapan pimpinan partai politik. Jika berani melanggar kebijakan pimpinan partai politik, anggota legislatif dapat di recall dan digantikan oleh anggota nomor urut dibawahnya dari partai politik tersebut. Fenomena tersebut menjadi salah satu pendorong rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR, bahkan hasil survei lembaga Indikator Politik menempatkan DPR pada posisi kedua terbawah lembaga negara yang dipercaya publik, dan paling bawah adalah partai politik (Kompas, 02/07/2023; Indikator, 2023). Terpuruknya lembaga DPR dan partai politik sebagai dua lembaga yang paling rendah dipercayai publik adalah sebuah ironi demokrasi yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Lemahnya independensi anggota DPR akibat tersubordinasi oleh partai politik pengusungnya akhir-akhir ini semakin mengemuka dan menjadi perbincangan publik yang menambah apatisme masyarakat terhadap DPR.  Munculnya istilah "petugas partai" yang dipopulerkan salah satu partai politik besar, dan akhirnya menjadi viral di sosial media merupakan salah satu indikator gelisahnya masyarakat akan fenomena tersebut. Bahkan seorang ketua salah satu Komisi DPR-RI yang melakukan rapat kerja dengan menteri koordinator mengundang tawa satu ruangan dan menjadi bahan olok-olok netizen Indonesia ketika terang-terangan mengakui bahwa dirinya tidak berani memutuskan apapun tanpa restu ketua partai.  Hal itu terlihat ketika dimintai dukungan untuk pengesahan UU Perampasan Aset, Ketua Komisi tersebut menjawab bahwa usulan tersebut sia-sia jika disampaikan di rapat kerja dengan DPR karena yang bisa memutuskan hanyalah para ketua umum partai (Kompas, 30/03/2023).  

Fenomena dualisme sebagai wakil rakyat sekaligus wakil partai yang menimbulkan olok--olok publik "petugas partai" tidak boleh diabaikan oleh para pengambil kebijakan negara, karena sejatinya suara masyarakat adalah suara Tuhan (Fox Populi Fox Dei). Suara Masyarakat tersebut adalah aspirasi yang harus direfleksi secara kritis dan menjadi evaluasi diri bagi lembaga DPR. Oleh karena itu diperlukan gagasan untuk mengembalikan marwah DPR sebagai lembaga yang seharusnya menjadi nomor satu paling dipercaya publik. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah mengubah paradigma anggota DPR dari "petugas partai" menjadi "petugas rakyat". Untuk membangun paradigma baru tersebut maka harus dibuka peluang secara konstitusional agar para calon anggota legislatif dari unsur perseorangan dapat mencalonkan diri secara independen.

Membangun Paradigma Baru Anggota DPR sebagai Petugas Rakyat

Banyaknya kritik dan satire dari masyarakat kepada anggota DPR bahwa mereka yang seharusnya  merupakan wakil rakyat akan tetapi dalam praktiknya lebih dominan menjadi wakil  kepentingan elit partai politik, menjadi cerminan masih diragukannya  independensi seorang anggota dewan dalam memperjuangkan aspirasi rakyat pemilih. Fenomena kuatnya dominasi institusi partai politik terhadap para anggota dewan tersebut sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat yang disebut sebagai pusat demokrasi juga mengalami problem serupa,  dimana terdapat fakta bahwa peran dan dominasi yang terlalu kuat dari partai politik membuat generasi muda kesulitan memperoleh akses untuk dicalonkan sebagai anggota House of Representative. Dominasi partai politik tersebut membuat parlemen Amerika Serikat banyak diisi oleh kaum tua (Stockemer et al., 2022). 

Melihat fenomena tersebut, maka sangat urgen menemukan solusi dan alternatif pemecahan masalah. Paradigma bahwa anggota DPR sebagai petugas partai perlu dikonstruksi ulang dengan paradigma baru bahwa anggota DPR adalah petugas rakyat. Ide tentang calon perseorangan dapat mencalonkan diri sebagai anggota DPR merupakan jawaban cerdas untuk membangun paradigma baru tersebut. Paradigma baru anggota DPR sebagai petugas rakyat tersebut dapat direalisasikan jika terbuka kemungkinan masyarakat mencalonkan diri sebagai anggota DPR tanpa harus melewati jalur partai politik.

Keberadaan tokoh masyarakat yang berpengaruh di komunitasnya diyakini akan lebih mudah mendapat kepercayaan yang lebih besar dibandingkan dengan para calon legislatif dari partai politik yang belum tentu semua masyarakat mengenalnya. Tokoh -- tokoh yang sebagian besar tidak tersentuh dalam struktur partai politik tersebut sangat perlu diakomodasi melalui jalur perseorangan atau independen. Dengan demikian, para calon legislatif dapat memilih jalur yang akan dilewati untuk menjadi anggota DPR, apakah melewati jalur partai politik ataukah menempuh jalur independen dengan mencalonkan diri atas dukungan masyarakat non-partai.

Ada banyak keuntungan ketika calon independen dapat diakomodasi dalam proses pemilihan anggota DPR, di antaranya ialah:

1. Independensi Anggota DPR perseorangan lebih terjamin.  

Ketika terpilih, mereka akan lebih independen dan tidak terpengaruh dengan intervensi partai politik. Anggota DPR yang terpilih dari jalur perseorangan akan lepas dari beban balas budi terhadap partai politik manapun, karena  keterikatannya hanyalah pada rakyat yang memilihnya. Oleh sebab itu mereka akan mampu menyuarakan aspirasi sesuai dengan kehendak rakyat pemilihnya.

2. Meminimalisir Praktik Mahar Politik

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa praktik mahar politik diperlukan ketika seseorang berniat masuk dalam daftar calon anggota DPR partai politik, entah atas nama sumbangan partai, iuran dan sebagainya (Aminuddin & Attamimi, 2019; Bima, 2017). Calon legislatif terkadang harus membayar kontribusi pada partai politik untuk dapat memilih nomor urut pencalonan, semakin kecil nomor urut semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Keberadaan calon perseorangan merupakan salah satu solusi untuk menghilangkan praktik mahar politik tersebut karena calon dari jalur independen tidak terikat dari pihak manapun untuk mencalonkan dirinya.

3. Relasi Anggota DPR dengan Rakyat Pemilih Lebih Dekat

Selama ini anggota DPR terikat dengan relasi segitiga antara Anggota DPR-Partai Politik-Rakyat Pemilih. Relasi tersebut menyebabkan anggota DPR harus mengakomodasi kepentingan keduanya, bahkan terkadang kepentingan partai lebih dominan dibandingkan kepentingan rakyat. Oleh sebab itu keberadaan anggota DPR dari jalur perseorangan akan mampu mendekatkan relasi anggota legislatif dengan rakyat pemilih secara lebih langsung, fokus dan lebih dekat karena tidak terpengaruh campur tangan elit partai politik.

4. Menciptakan Kesetaraan Akses bagi Aktivis / Tokoh Non-parpol untuk Mencalonkan Diri

Keberadaan anggota DPR perseorangan merupakan perwujudan dari prinsip kesetaraan hak dan kewajiban bagi semua warga negara khususnya terkait hak untuk dipilih dan dicalonkan dalam pemilihan. Selama ini, hak warga negara untuk dipilih sebagai anggota DPR dibatasi oleh aturan harus melewati partai politik. Padahal di masyarakat kita, banyak tokoh masyarakat maupun aktivis sosial dan demokrasi yang memiliki kompetensi akan tetapi terhalang untuk mencalonkan diri karena tidak tergabung di partai politik. Melalui jalur perseorangan, para tokoh ini akan dapat muncul menjadi wakil rakyat yang benar -- benar dekat dan dikehendaki oleh masyarakatnya. 

5. Memperkuat Pola Rekrutmen Anggota Legislatif secara Bottom-Up

Selama ini banyak terjadi para calon legislatif memperoleh nomor di surat suara karena kedekatan dengan elit partai, bahkan juga faktor kekerabatan. Hal tersebut tentu menyalahi prinsip merit-system dimana kapabilitas dan kompetensi seharusnya lebih diutamakan daripada kedekatan pribadi. Melalui mekanisme calon perseorangan maka pola rekrutmen top-down dari pimpinan partai politik dapat berubah dengan pola bottom-up yang tumbuh dari bawah.  Dengan cara ini, calon legislatif non-parpol dapat lahir dari tengah-tengah masyarakat dan didukung oleh masyarakat secara riil, bukan sekedar calon yang ditentukan oleh elit partai.  

6. Meminimalisir Kaum Oportunis yang Menggunakan Partai sebagai Kendaraaan Politik Pribadi

Fenomena politisi kutu loncat yang berpindah dari satu parpol ke parpol lain sering kita jumpai. Munculnya politisi oportunis tersebut dikarenakan peran elit partai yang dominan dalam menentukan calon legislatif sehingga membuat orang yang merasa tidak terakomodasi di partainya akan mencari peluang berpindah di partai lain yang lebih memberi keuntungan. Hal tersebut tentu tidak sehat karena motivasi seseorang menjadi anggota DPR tidak lagi untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, tapi lebih dominan karena kepentingan pribadi yang pragmatis. Dengan adanya kesempatan perseorangan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, maka keberadaan politisi kutu loncat dapat diminimalisir.

7. Sebagai Sparring Partner bagi Partai Politik untuk Berkompetisi 

Keberadaan calon independen merupakan sparring partner yang efektif untuk menciptakan persaingan sehat antara calon legislatif dari  partai politik dan non-partai. Persaingan tersebut pada akhirnya dapat membuat partai politik terpacu untuk meng-upgrade dirinya jika tidak ingin tertinggal dengan calon independen, tidak hanya sekedar mengandalkan nama besar partainya.

Penutup

Urgensi untuk membuka kesempatan calon perseorangan mengajukan diri sebagai calon anggota legislatif merupakan salah satu solusi untuk lebih memberdayakan DPR menjadi lembaga yang lebih kredibel, dipercaya rakyat dan betul--betul memiliki roh sebagai wakil rakyat yang menyuarakan kepentingan publik. Tanpa mengurangi peran partai politik sebagai lembaga kaderisasi politisi, keberadaan anggota DPR dari jalur perseorangan akan menjadi competitor dan sparring partner yang efektif bagi partai politik sehingga terpacu untuk berlomba-lomba meningkatkan kinerja dan kepercayaannya di mata masyarakat.

Upaya untuk mewujudkan gagasan tersebut tentu memerlukan political will dan dukungan dari berbagai lembaga negara seperti presiden, MPR, DPD, dan DPR  serta perlunya masukan, pengawasan dan pengawalan yang kuat dari masyarakat dan unsur civil society sehingga dapat direalisasikan secara konstitusional menjadi Undang-Undang. Diharapkan dengan terwujudnya calon perseorangan yang menjadi anggota DPR maka para anggota legislatif betul--betul dapat memposisikan dirinya secara independen sebagai petugas rakyat yang bekerja semata-mata untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. 

 

Daftar Pustaka

Aminuddin, M., & Attamimi, N. 2019. From Retail to Grocery: Money Politics in 2014 Indonesian Legislative Election. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review, Vol 4 No. (1), pp 99-120. DOI: https://doi.org/10.15294/ipsr.v4i1.12609

Bima, A.A.N.A.W., 2018. Politik Mahar Di Indonesia: Antara Ada dan Tiada. Jurnal Ilmiah Cakrawarti, Vol 1 No. (2), pp.19-29. http://www.ejournal.universitasmahendradatta.ac.id/index.php/cakrawarti/article/view/13/13

Budiman, Arief. 2002. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia.

DPR-RI. 2019. Fahri Hamzah Tegaskan Pentingnya Independensi Lembaga Perwakilan. Diakses dari  https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/24553/t/Fahri%20Hamzah%20Tegaskan%20Pentingnya%20Independensi%20Lembaga%20Perwakilan

Indikator. 2023. Rilis Survei Evaluasi Publik Atas Kinerja Lembaga Penegak Hukum dan Perpajakan 20-24 Juni 2023. Indikator Politik. Diakses dari https://indikator.co.id/rilis-indikator-02-juli-2023/

Kompas. 2023. Diminta Mahfud Golkan UU Perampasan Aset, Bambang Pacul: Mana Berani, Telepon Ibu Dulu. Harian Kompas 30/03/2023. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2023/03/30/09100161/diminta-mahfud-golkan-uu-perampasan-aset-bambang-pacul-mana-berani-telepon.

Kompas. 2023. Survei Indikator: Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap DPR Stabil, Stabilnya Rendah. 02/07/2023. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2023/07/02/17170791/survei-indikator-tingkat-kepercayaan-publik-terhadap-dpr-stabil-stabilnya

Lemhanas. 2019. Agus Widjojo: Roh Demokrasi adalah Kedaulatan Rakyat. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Diakses dari  https://www.lemhannas.go.id/index.php/berita/berita-utama/635-agus-widjojo-roh-demokrasi-adalah-kedaulatan-rakyat

Prayuda, R., & Rahman, K. 2020. Pemilihan Umum di Indonesia: Pemimpin dan Wakil Rakyat yang Ideal. Jurnal Kemunting, 1(2), 135-149. http://ejurnal.universitaskarimun.ac.id/index.php/IAN/article/view/134

Stockemer, D., Thompson, H. and Sundstrm, A., 2023. Young adults' under-representation in elections to the US House of Representatives. Electoral Studies, Vol 81, February 2023. DOI: 10.1016/j.electstud.2022.102554 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S026137942200110X?via%3Dihub

Catatan:

Tulisan ini telah dilombakan pada Lomba Esei Nasional La Nyalla Center dan terpilih sebagai 10 tulisan terbaik. Informasi dapat diakses di https://lanyallacenter.id/lomba-esai-nasional-lanyalla-center-2023/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun