Mohon tunggu...
Mutiara Afrilia
Mutiara Afrilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tetap menjadi baik, walaupun buruk di cerita orang lain

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofis Ketuhanan dalam Konsep Menuju Ketauhidan

21 Desember 2022   14:30 Diperbarui: 21 Desember 2022   14:33 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pengertian Tuhan

Tuhan ialah sesuatu yang dianggap penting oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya. Perkataan "dipentingkan" hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk  pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian. Tuhan  yang dipuja dengan penuh kecintaan hati,  tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdo'a dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.

Pemberian nama Tuhan dalam pemahaman orang di Indonesia yang beragama Islam dan Kristen, Tuhan biasa dipanggil dengan sebutan Allah. Kata tersebut berasal dari rumpun bahasa Arab yaitu berasal dari kata "al" yang sama artinya dengan "the" dalam bahasa Inggris dan kata "Illah" (Tuhan). Secara harfiah Allah berarti Tuhan yang satu dan pasti satu. Sedangkan dalam keyakinan penganut Hindu Tuhan di beri sebutan Brahma atau Sanghyang Widhi Wasa dan dalam literatur agama Budha Tuhan itu adalah Atthi Ajatan Abhutan AkatanAsam Khatan artinya suatu yang tidak dilahirkan, tidak di jelmakan, tidak diciptakan dan Yang mutlak. Dengan demikian, Tuhan itu tidak dapat dipersonifikasikan dan tidak  dapat digambarkan dalam bentuk apapun, dengan adanya yang mutlak yang tak terkondisi, maka manusia yang berkondisi dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupannya yakni dengan cara bermeditasi.

Perkataan "ilah", yang selalu diterjemahkan "tuhan". Di dalam al-Qur'an  dipakai untuk menyatakan berbagai objek, yang dibesarkan atau dipentingkan manusia.  Persepsi manusia tidak dapat mencapai pengetahuan yang memadai  tentang sumber asli dari benda-benda masalahnya, adalah mengetahui asas mutlak identitas pemikiran dan keberadaan, asas ini adalah tuhan. Karena tuhan adalah satuan mutlak atau identitas pemikiran keberadaan. Tuhan adalah satuan  tak beruang dan tak berwaktu, sedang dunia adalah suatu pluralitas ruang waktu. Agama bukan merupakan pembuktian rasional tindakan pemujaan dan hanya merupakan tindakan moral.

Teori Ketuhanan                                                                                              

Berdasarkan pengertian ilah  atau tuhan yang telah diberikan definisinya di atas, maka dapat pula secara logika dibuktikan, bahwa tidak ada manusia  yang mampu berfikir logis, yang tidak punya tuhan. Bahkan bisa dibuktikan, bahwa tidak mungkin bagi manusia tidak punya sesuatu kepercayaan. Apabila  seseorang mengatakan : "saya tidak percaya kepada sesuatu apa pun, maka ia akan dihadapkan kepada suatu kontradiksi, karena pernyataan tersebut mengandung pembatalan diri". Jika benar ia tak pcrcaya kepada sesuatu apapun, maka kalimat itupun ia harus sangkal kebenarannya. Jika tidak, maka terbukti ia masih punya satu kepercayaan, yaitu kebenaran pernyataan tersebut, maka sikap itu bertentangan pula dengan arti kalimat itu. Jadi kalimat itu tidak logis, dan tidak mungkin terucapkan oleh seseorang  yang mampu dan mau berfikir logis.        

Para filosofi Islam juga mengikuti konsepsi Aristoteles, yaitu bahwa Tuhan itu adalah zat yang berfikir dan menjadi obyek pemikiran-Nya aqil dan ma'qul karena zat-Nya sendiri. Namun Dia tidak mengakui adanya bilangan pluralitas pada-Nya dengan segala perintah-Nya. Para filosofi Islam  menjelaskan hakikat Tuhan dengan uraian yang jelas. Menerangkan bahwa Dia adalah wujud yang pertama dan sebab yang sebenarnya bagi semua wujud dan  peristiwanya, suci dari sekutu dan bandingan. Ia adalah Tuhan yang Maha Esa, hidup, berkuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, dan Maha Mendengar.

Penghayatan ketuhanan dalam keagamaan aseli seluruh alam diresapi oleh kekuatan-kekutan ghaib yang tidak kelihatan, seperti banjir, kekeringan, orang kejatuhan pohon dimangsa binatang buas apapun yang menimpa manusia, mengungkapkan kekuatan-kekuatan tak kelihatan itu.10 Pandangan dunia jawa asali memahami alam sebagai berdimensi dua, dimensi lahir dan dimensi batin. Dimensi lahir merupakan alam kelihatan, akan tetapi alam kelihatan hanya dimengerti dari dimensi batin dari kekuaan-kekuaan yang ada di belakangnya. Penghayatan aseli ini adalah bahwa tidak ada pemisahan antara alam dan yang Ilahi. Sebagaimana yang terjadi dalam agama Hindu walau ada banyak Tuhan  nama yang diberikan, fenomena tersebut dalam kaitan fungsi dan tugas. Demikianlah Sanghyang Widhi disebut Brahma pada waktu penciptaan alam semesta dengan segala isinNya, disebut Wisnu pada waktu beliau memelihara semua ciptaanNya dengan penuh cinta kasih. Dan disebut Siwa pada waktu beliau mengembalikan segala ciptaanNya ke asal-nya.

Dekonstruksi Ketuhanan

Sebuah doktrin atau klaim kebenaran berusaha untuk membuatnya benar-benar valid dan bisa dipakai oleh zaman, namun hal itu tidak berjalan dengan  sepenuhnya mulus, banyak tantangan, kritikan, dan hambatan meskipun tidak sedikit yang memberikan aplaus terhadap klaim kebenaran yang telah dibawanya dan kemudian mengikutinya dan menjadi eksponen setianya.Namun, pembentukan sebuah kebenaran tentu tidak mudah dan harus melalui sebuah rantai yang pada tataran praktisnya selalu abadi, melampaui ruang dan waktu. Rantai tersebut adalah representasi dari adanya bentuk falsifikasi yang terejawantah pada tesis--antitesis, aksi-reaksi dan konstruksi,rekonstruksi atau dekonstruksi, oleh karena itu kebenaran akan selalu menjadi  kebenaran sementara  yang suatu saat akan terfalsifikasi dalam bentuk yang beragam rupa sesuai dengan parameter dan indikator yang  mengiringnya baik yang bersifat aksidensial, lokalitas, konstektualitas maupun karena sudah lemahnya jari-jari kebenaran tersebut mencengkram suatu zaman. Mencermati anasir-anasir dekonstruksi atau rekontruksi tersebut  sebuah metodologi akan mengulas tentang makna ketuhanan melalui program pengembangan riset bukan merubah inti program pokok, dasar, azas melainkan lingkaran pelindung berupa teori-teori pendukung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun