Nahdlatul Ulama mengalami serangkaian perubahan yang tajam dan sumbangsih NU di berbagai bidang sosil-kemasyarakat, hal ini belum bisa mencapai posisi yang strtaegis dalam pusaran produk hukum bangsa Indonesia. Posisi ini tidak menjadikan NU melemah bergitu saja, sebaliknya tetap berikhtiar dengan kekuasaan sebagai oposan, kritis atas regulasi yang dianggap merugikan rakyat. Corak NU dalam politik kebangsaan juga tidak memiliki ambisi dalam meraih kekuasaan tetapi dengan keunikan sebagai “ wong cilik” dan lebih menekankan kepada pengajaran moral kebangsaan, sehingga NU selalu memposisikan diri sebagai pembela kaum yang lemah dan melewati demarkasi keagamaan. NU uga menyakini adanya tawassuth (jalan tengah) yang merupakan semangat toleransi dan berperan sebagai mediasi. Dengan serangkaian konsolidasi yang dilakukan didaerah konflik politik.
` Pada Pemilu 1999, muncul PKB sebagai kekuatan partai yang membawa aspirasi para nahdliyyin, hal ini adanya timbal balik NU dan PKB. Hal ini juga PKB seperti kembali kerumah sendiri bagi para nahdliyyin. Lalu bagiaman dengan NU yang sudah kembali ke khitah 1926, namun bukan berarti NU “tidak berpolitik” NU tetap berpolitik dengan keunikan sendiri, yaitu politik kebangsaan dengan kehadiran PKB sebagai partai politik islam justru menambah taring karakter kebangsaan dan kenegaraan di parlemen. Kemudian NU dan PKB juga tidak harus memiliki perkembangan yang sama. NU bertugas mengemban amanat kenegafraan sekaligus melakukan kritik terhadap pemerintah melalui PKB. Kemudian dengan PKB sebagai partai politik yang memiliki basis di Jawa timur ini memang menjadi amanat dalam kebijakan public dan memang betul adanya keterkaitan NU dan PKB, baik secara ideologis, historis, kultrur maupun aspiratif. PKB menjadi basis pada NU dalam berpolitik selain itu dirasakan partai ini melahirakan pluralitas bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H