Mohon tunggu...
Mutiara CahyaNurani
Mutiara CahyaNurani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sosiologi Universitas Jember

"Hidup adalah soal mengambil pilihan. Ada yang akan kita sesali, akan ada yang kita banggakan, ada yang akan menghantui kita selamanya. Bagaimanapun kita adalah pilihan-pilihan yang kita lakukan." - quarter life crisis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksistensi Pemerintah Mengenai Pendidikan Difabel Belum Menyentuh Lapisan Masyarakat

29 November 2022   10:59 Diperbarui: 29 November 2022   11:41 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siti Miftakhul Rizky bersama ibunya yang tinggal di Kecamatan Pakusari, Jember (Dokpri)

Era milenial saat ini semakin banyak membuat orang sadar akan pentingnya pendidikan. Dalam berbangsa dan bernegara, semua orang berhak atas pendidikan untuk bekal dimasa yang akan datang. Pada dasarnya pendidikan adalah sebuah proses mengembangkan potensi diri sekaligus bekal untuk mencapai kesuksesan. Tidak terkecuali penyandang disabilitas, karena hak

pendidikan mutlak untuk seluruh warga negara. Undang-undang telah mengatur pendidikanuntuk penyandang disabilitas pada nomor 8 tahun 2016 bagian 10 A tentang Hak Pendidikan yang tertulis "Hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan disemua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus". 

Hak pendidikan yang terpenuhi akan menunjang kaum disabilitas untuk memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, agar suatu hari nanti menjadi masyarakat yang setara dan dapat meningkatkan taraf hidupnya, karena banyak dari mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah. Penetapan Undang-Undang ini nampakya tidak menyentuh kaum disabilitas pada lapisan masyarakat tertentu, karena pada kenyataannya masih banyak difabel-difabel diluar sana yang tidak merasakan sedikitpun kenyamanan bangku sekolah.

Salah satu kasus yang kami temui adalah pengalaman pendidikan yang dirasakan oleh Siti Miftakhul Rizky. Beliau adalah anak kedua dari tiga bersaudara, berumur 17 tahun yang merupakan anak dari ibu Kholifah, berasal dari Desa Subo, Kecamatan Pakusari Kabupaten Jember. Rizky merupakan difabel tuna daksa dimana kondisi tersebut mempengaruhi tubuh seseorang sedemikian rupa sehingga membatasi aktifitas fisik seperti melakukan aktivitas duduk, berdiri, atau berjalan secara mandiri. 

Hal tersebut membuat kesehariannya hanya bisaberbaring diatas kasur. Tidak jarang pula ia merintih kesakitan karena beberapa aktifitas kecil yang dilakukan terlalu lama. Kondisi tersebut telah dialaminya sejak lahir, namun mulai nampak saat berusia tujuh bulan. Kondisi ini dirasakan oleh kedua orang tua Rizky bermula saat anaknya batuk hingga kejang-kejang. Tanpa berfikir lama orang tua membawanya ke Rumah Sakit, segala bentuk pengobatan mulai dari pengobatan medis hingga alternatif semua

telah dicoba, namun sampai saat ini tidak membuahkan hasil. Sejak kejadian itu, kini Rizky hanya dapat berbaring di tempat tidur. Ia juga tidak menjalani program pendidikan sajak usia TK hingga saat ini yang semestinya ia sudah kelas 2 SMA. Terbukanya kesempatan untuk bersekolah di SLB yang letaknya cukup jauh dari kediamannya, membuat bu Kholifah berfikir berulang kali sebab biaya yang dikeluarkan setiap harinya tidaklah sedikit, disamping itu masih banyak kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi.

Memiliki kehidupan yang sederhana, ibu Kholifah sendiri bekerja sebagai pembuat kue di tempat usaha tetangganya yang berlokasi dekat dengan rumahnya, sedangkan suaminya, bekerja sebagai buruh petani. Penghasilan yang tak seberapa kerap kali membuat orangtua Rizky meminjam uang untuk biaya pengobatannya sewaktu-waktu.

Pengetahuan yang selama ini diterima oleh Rizky biasanya hanya sebatas dari orang tua dan kerabat yang selama ini mengunjungi dan membantu merawatnya. Bantuan berupa kursi roda dan sembako juga pernah didapatkan, namun bantuan tersebut dihentikan dengan alasan umurnya yang sudah menginjak dewasa pada 17 tahun. Sedikitnya perhatian pemerintah tentang kebutuhan pendidikan difabel sangat disayangkan, terbatasnya keberadaan SLB yang nyatanya tidak dapat menjangkau banyak sekali masyarakat yang berkebutuhan khusus membuat terhambatnya pendidikan sejak dini.

"Enggak berharap banyak lah nak, cuman usaha sendiri". Tutur Ibu Kholifah saat di

wawancara.

Karenanya, ibu kholifah saat ini memilih untuk merawat anaknya dengan segala kemampuannya tanpa mengharap apapun dari pemerintah yang telah menjamin pendidikan seorang difabel. Keinginannya untuk menyekolahkan putrinya seperti yang anak lainnya kini telah disimpan rapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun