Mohon tunggu...
Mutiara CahyaNurani
Mutiara CahyaNurani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sosiologi Universitas Jember

"Hidup adalah soal mengambil pilihan. Ada yang akan kita sesali, akan ada yang kita banggakan, ada yang akan menghantui kita selamanya. Bagaimanapun kita adalah pilihan-pilihan yang kita lakukan." - quarter life crisis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurangnya Kebebasan Ruang Lingkup Anak Difabel dalam Menempuh Pendidikan

14 November 2022   18:17 Diperbarui: 15 November 2022   13:16 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia yang didalamnya terdapat sebuah pembelajaran mengenai pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk menjamin keberlangsungan hidup seseorang agar menjadi lebih bermartabat dan mampu mengembangkan potensi yang ada didalam dirinya. 

Bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah mewajibkan kepada masyarakatnya untuk memperoleh adanya hak Pendidikan selama kurang lebih 12 tahun dan bahkan bisa lebih dari itu. 

Seluruh warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali termasuk orang-orang difabel. Difabel adalah seseorang yang memiliki kemampuan berbeda dengan orang normal pada umumnya atau memiliki hambatan dalam beraktivitas.

Seperti salah satu penyandang difabel bernama Putri (nama samaran) berusia 33 tahun yang merupakan seorang difabel tuna grahita. Tuna grahita merupakan orang yang mengalami keterbelakangan mental yang mana memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dibawah rata-rata dengan orang-orang normal lainnya. Ayah Putri merupakan pensiunan PNS dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di Kecamatan Pakusari Kabupaten Jember. 

Pada saat menempuh sekolah dasar, Putri bersekolah di sekolah umum seperti anak pada umumnya. Berdasarkan penuturan Ibu Putri, ditengah perjalanan tepatnya pada saat kelas 1 SD, ia tidak bisa naik ke kelas 2 dikarenakan kurang mampu untuk menerima pembelajaran yang diberikan oleh Bapak/Ibu gurunya. Akhirnya orang tua memindahkan ke sekolah yang lain agar Putri menerima pembelajaran di sekolah dan dapat naik kelas hingga kelas 4. 

Sayangnya saat duduk dibangku kelas 4, ia lagi-lagi tidak dapat menerima pembelajaran sehingga dengan terpaksa harus tinggal kelas. Awal mula Ibu Putri mengetahui adanya penyakit Putri saat kelas 6 SD dimana ia sering mengalami kejang-kejang.

Adanya kejadian tersebut, pihak keluarga membawa Putri ke dokter dan dari situ barulah penyakit yang diderita Putri diketahui. Hingga pada akhirnya Putri mampu menyelesaikan pendidikan hingga tamat SMA meskipun mengalami beberapa hambatan saat sekolah dulu. 

Pada waktu duduk di bangku sekolah dasar Putri juga pernah mengalami tindak kekerasan dari salah satu gurunya, namun hal tersebut baru diketahui oleh pihak keluarga setelah ia duduk di bangku SMP. 

Selain itu Putri Juga sering mendapat ejekan dari teman-temannya karena kurang mampu menerima pembelajaran di kelas. Ayah Putri selalu bersikeras memindahkan Putri dari sekolah satu ke sekolah yang lain agar Putri dapat naik kelas dan lulus tepat waktu. 

Bahkan Ayahnya menyekolahkan Putri di sekolah umum agar seperti teman sebayanya dan tidak ingin Putri masuk di sekolah SLB atau sekolah khusus. 

"Dulu disarankan di SLB tapi Bapaknya gak mau, kalau saya si gak masalah, saya gak minder kok mbak. Saya gak malu punya anak seperti ini. Soalnya kan anak seperti ini ada kelebihan khusus gitu yaa.." ucap Ibu Putri saat wawancara. 

Pada saat Putri lulus SMA, Ayah Putri berpikir ingin menikahkan Putri. Berdasarkan penuturan ibu Putri, ia mendengar ada sebuah kepercayaan tentang mitos dari masyarakat sekitar mengenai pernikahan dapat menyembuhkan mental seseorang, sehingga membuat orang tua putri terpaksa menjodohkan Putri dengan harapan dapat membuat putri jauh lebih baik dari sebelumnya. 

Menjodohkan putri dengan suaminya ternyata tidak dapat menyembuhkan mental Putri, justru suami yang diharapkan dapat menyembuhkan Putri tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan enggan untuk menjalin bahtera rumah tangga lebih lama. Kejadian tersebut membuat putri mengalami tekanan mental yang mendalam. 

Fenomena yang terjadi pada Putri, selaras dengan teori fungsional struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton. Menurut Ritzer, Merton dalam karyanya yang berjudul On Theoritical Sociology menyatakan bahwa teori struktural fungsional merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan menyatu dalam sebuah keseimbangan yang menekankan adanya keteraturan. Itu artinya sebuah perubahan yang terjadi akan mempengaruhi perubahan yang lain didalam struktur sistem sosial. 

Disini Robert K. Merton juga memperkenalkan tentang sebuah fungsi konsep manifest dan konsep laten dimana fungsi manifest adalah yang dikehendaki, sedangkan fungsi laten yang tidak dikehendaki. 

Keterkaitan teori tersebut dengan permasalahan yang dialami Putri ditunjukkan dengan kedua orang tua Putri yang memasukkan ke sekolah umum dan bukan di sekolah SLB dengan harapan agar Putri tidak tertinggal dengan teman sebayanya. 

Namun konsekuensi yang harus Putri terima yaitu ia kurang bisa mengikuti pembelajaran yang diberikan oleh gurunya di sekolah sehingga seringkali tidak naik kelas. 

Selain itu Putri juga sering mendapat ejekan dari temantemannya dan kekerasan dari gurunya saat menempuh Pendidikan di bangku sekolah. 

Terdapat sebuah kekhawatiran dan ketakutan dari kedua orang tua Putri jika Putri di sekolahkan di sekolah SLB dimana takut Putri memiliki pemikiran yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. 

Padahal sekolah SLB memang dikhususkan untuk anak berkebutuhan khusus dimana akan menyesuaikan dengan kebutuhan anak-anak difabel, namun masih banyak stigma buruk dari masyarakat mengenai sekolah SLB. 

Dilihat dari keadaanya juga sekolah SLB khususnya yang ada di daerah Pakusari masih minim sehingga membuat banyak anak-anak difabel disana mengalami kesulitan untuk menempuh Pendidikan. Tentu dengan adanya hal ini, membuat ruang lingkup dalam menempuh Pendidikan khususnya anak-anak difabel terbatasi.

Penulis :

Selvi Sutanti (200910302039)
Dwiyen Aditya Prayogi (200910302085)
Muhammad Kurnia Rosalimmiandi awal (200910302075)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun