Keduanya sadar sampai berbusa protes dan mengeluh, tidak akan ada yang memberinya solusi. Pada akhirnya keduanya menyalahkan diri-sendiri, memilih sekolah tak tepat untuk puterinya.Â
"Gaya-gayaan di sekolah Swasta. Di negeri aja yang murah." Kata-kata senada kerap terlontar dari mulut-mulut berbeda, tetapi semua itu hanya bisa didengarkan sepasang suami-istri itu dengan suka rela.Â
"Nasi sudah menjadi bubur, dari pada membuangnya lebih baik menikmatinya saja," ujar sang Suami, mencoba berdamai dengan keadaan.Â
"Apa iya kita yang terlalu, ngangsa ya, Pa?" tanya Sang Istri pada suaminya, sembari menatap puterinya yang masih asik dengan buku-buku cerita miliknya.Â
Sang Lelaki tersenyum getir mendengarkan perkataan istrinya. Harga dirinya tersentil, merasa tak berdaya.Â
Sekolah pilihan puterinya bukanlah sekolah elite, hanya sekolah swasta biasa yang menawarkan pelajaran agama yang lebih banyak. Jika dibandingkan sekolah lain, di sana masih terhitung rendah. Namun, karena pendapatan yang menurun sejak pandemik, serta biaya wisuda TK Puteri kedua yang melebihi prediksi membuat semua terasa berat.Â
"Perasaan, dulu kakanya gak berat gini ya, Pak," keluh sang Istri lagi.Â
"Sudahlah Bu. masih ada waktu satu bulan. Semoga Allah SWT memberi jalan. Sekarang terasa berat dibanding dulu kakaknya, karena sekarang kita sedang menjalani sedangkan dulu itu udah dilewati."
"Tetap saja, Pa. Gak mau masuk TK disitu lagi," ucap Sang Istri penuh penyesalan.Â
"Ya, iyalah, Bu. Kan anak kita cuma dua. Masak mau masuk TK lagi," sahut Sang Suami sambil terkekeh.Â
"Untung ya, Pa?" Sang Istri ikut tersenyum.Â