Sumber gambar Pixabay
Empat kali berturut-turut, tak dapat dipungkiri semangatku mengkerut. Bang Toyib saja hanya tiga kali lebaran, ternyata saya sudah melampauinya.
Melakukan sesuatu dengan ikhlas dan tanpa mengharapkan sesuatu memang tak semudah membuang ludah. Meskipun saat melakukan sebuah tindakan tak mengingat dan mengharapkan hasil. Akan tetapi setelah rasa lelah dirasakan dan mendapati apa yang telah kita lakukan tidak dihargai maka itulah sebenar-benanya ujian keikhlasan itu terjadi.
Sudah empat kali berturut-turut, hasil olah pikir yang dituang dalam puisi dan dengan suka hati diunggah di halaman Kompasiana ini lewat tanpa label biru di sampingnya. Bohong jika hal ini tak berpengaruh terhadap hati dan perasaan saya. Meskipun tidak ingin ambil peduli, nyatanya semangat menulis yang mulai bangkit kini kembali dikikis. Miris, betapa mudahnya hati saya meringis.
Terserah jika tulisan ini dianggap sebagai keluhan. Namun sebenarnya bukan itu yang ingin saya tunjukan.Â
Teman senior di Kompasiana ini, pernah berkata. "Jika menulis untuk meraih label maka konteks menulis untuk terapi akan hilang."
Sebenarnya saya tak bisa ingat keseluruhan kata-katanya tetapi itu hanya inti dari ucapannya yang diingat.
Saya juga ingat bagaimana perkataan seorang pujangga yang puisi-puisinya diunggah di Kompasiana ini juga. "Jangan menghapus tulisan meskipun tak berlabel pilihan."
Beliau cerita tentang pengalamannya akan tulisan yang tak berlabel. Beliau juga tidak pernah menyangka bahwa tulisan yang sering kompasianer sebut Peang (tidak biru) akan menjadi bahan penelitian dari seorang mahasiswa yang menghubunginya.
Jadi wahai hati jangan bersedih akan hal ini. Karena apa yang terjadi bukan hal yang harus disesali. Malu pada tulisan-tulisanmun yang lalu. Ingat kembali apa tujuanmu menulis? Tetaplah semangat menebar manfaat.