Suasana agak gelap dengan sedikit cahaya penerang yang entah dari mana sumbernya, saat aku sampai depan rumah Eyang. Sepertinya tak banyak berubah masih dengan dinding kayu berwarna merah di bagian bawah dan kaca di bagian atasnya. Sehingga jelas terlihat banyak orang di dalam. Seperti biasa, menjelang lebaran anak-anak Eyang pulang ke rumah ini.Â
Setelah mengucap salam, aku masuk meski tidak dipersilahkan. Karena sudah terbiasa keluar masuk tanpa permisi. Namun kali ini rumah eyang tampak berbeda. Sebab ada Pak De Salim dan Pak De Salih.Â
Sebenarnya masih ada beberapa orang laki-laki dan perempuan lain tetapi wajah mereka asing. Tak ada yang dikenal sama sekali tetapi aku tak mau ambil peduli. Meski sungkan, aku salami mereka satu persatu.Â
Tatapan mereka dingin, membuatku merasa canggung dan tanpa bicara, aku meninggalkan ruang depan dan langsung ke dapur. Namun hingga melewati dapur dan sampai pintu belakang, aku tak menemukan sosok Mbok Eyang.Â
Suluh dalam tungku telah habis, tetapi bara masih merekah di dalamnya. Nampak Bapak Eyang sedang duduk terpaku di depannya. Wajahnya terlihat lebih muda.Â
"Mbok Eyang dimana?" tanyaku setelah sungkem.Â
"Loh, lupa? Mbok Eyang kan sudah meninggal!" jawab Bapak Eyang, membuatku tersentak.Â
"Astagfirullah hal 'adzim."Â
Seketika air mata berjatuhan. Dadaku terasa sesak menyesalinya diri. Bagaimana bisa aku lupa dengan keberadaan Mbok Eyang. Sungguh aku merasa menjadi cucu tak tahun diri. Bagaimana mungkin, aku lupa dengan hal penting seperti.Â
Aku berjongkok dan membenamkan kepala di pangkuan Bapak Eyang dan menangis sesenggukan. Beliau menepuk-nepuk bahuku untuk menenangkan.Â
"Yen, bangun Yen."