Dear Diary
Otakku saat ini seperti pita kaset yang rusak. Jika bisa dilihat, sepertinya ada bagian yang terikat simpul, keriting bahkan juga lurus.
Ada ribuan kotak ingatan dalam kepala ini. Namun aku hanya ingin mengingat hal-hal yang baik, yang membuatku kembali semangat. Merajut kalimat, menyusun kata dan huruf demi huruf.
Apa yang kau pikirkan? Ada masalah? Ada yang menyakiti hatimu?
Tiga pertanyaan serupa yang dapat aku jawab dengan satu jawaban sama "tidak ada."
Iya, tidak ada hal masalah serius dalam kehidupanku saat ini. Aku hanya sedang merasa buntu. Tak ada ide apa pun yang menggerakkan hati untuk menulis. Padahal hati ingin. Apa yang salah?
Tidak ada yang salah, Ry. Aku datang untuk menyemangati diri sendiri. Bukan karena sedang dilanda derita. Hanya ingin mengungkapkan apa yang berputar-putar di kepala. Mengeluarkan isinya dikit demi sedikit.
Ry, kamu tahu apa yang sudah kulakukan untuk menghilangkan kebuntuan? Juga yang kulakukan untuk mengakhiri kegundahan?
Aku sudah bolak balik, keluar masuk dari satu platform satu ke platform lain. Namun tetap saja otakku masih buntu, jari-jari terasa kaku. Sejak semalam catatan masih kosong. Tak ada satu tulisan utuh. Semua berisi kalimat-kalimat singkat tentang
Aku tak ingin menjadi penulis lumba-lumba seperti yang disebut Pak Tjiptadinata Efendi dalam artikelnya. Ah, aku lupa apa judulnya, Ry. Â
Ah, Ry, yang jelas aku tak mau menjadi penulis musiman lagi. Terkadang timbul terkadang tenggelam seperti lumba-lumba.
Aku ingin menulis tanpa beban. Agar terapi kebahagiaan tercapai seperti yang Daeng Khrisna Pabichara pernah  jelaskaan, dalam artikelnya yang pernah saya baca. Jangan tanya apa judulnya, Ry. Aku hanya sedang ingat isi pesannya saja