Mohon tunggu...
Mutia AH
Mutia AH Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Fiksi

Menulis yang ringan dan positif

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serial | Percakapan-Percakapan yang Tertinggal (3)

28 Maret 2020   20:23 Diperbarui: 28 Maret 2020   20:45 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam semakin mendekati pagi, aku masih terjaga. Meskipun tubuh merasakan lelah, otak ini enggan untuk sejenak saja melupakan percakapan kita tentang sepasang angsa di telaga cinta. Membuatku kian sadar bahwa kau telah seutuhnya merampas malam-malam sunyiku.

Denting jam dinding terdengar semakin pilu, seperti genderang rindu bertalu. Menyuarakan hati memanggil namamu dalam perih mengingat betapa buruk perlakuan ibu.

Mungkinkah hatimu masih milikku? Sementara gelombang keangkuhan begitu dahsyat mencabik harga dirimu. Bukan hanya engkau, tetapi kedua orang tuamu pun ikut terjebak dalam pusaran pelik kisah kita.

"Apakah kau menungguku?" tanyamu dengan penuh kemenangan kala itu. Mengusik pertahanan keangkuhan yang terbangun di atas lembar keraguan. Seperti busur terpasang terbalik, kini tanya itu mengarah padamu. "Masihkah kau menungguku?" Sementara cahaya penerang jalan kita kian lindap terbuai kabar sang bayu.

Terlalu banyak kerikil tajam menghampar di jalan yang akan kita lalui. Menjadi penghalang yang meracuni pikiran untuk menyerah.

Keberadaanku di atas panggung saat siang menjelang, menjadi tempat singgah pandangan para manusia yang gemar mengusik diri atas nama kepedulian. Menempatkan perasaanku di atas mimbar kepantasan khalayak. Itu hanya satu dari sekian banyak cabang masalah yang mungkin akan terus tumbuh dan melebar.

Belum lagi riak kecil yang juga bisa menjadi gelombang besar dari buah cintaku. Bagaimana pun ia adalah malaikat kecil penerang hidup. Bahagianya adalah bahagiaku. Bisakah kau menaklukkannya? Di sisi lain, kau pun harus berjuang keras menjadi lelaki mapan, seperti yang ibuku inginkan. Betapa terjalnya jalan yang harus kau lalui, hanya demi aku. Seorang janda beranak satu, yang harus mampu berdiri dalam satu kaki.

"Sekuat apakah kau akan berjuang?"
Pertanyaan yang kerap hinggap dan menuntut jawaban, tetapi enggan terlontar. Tersebab ketakutan pada jawaban yang mungkin mematahkan harapan. Menjadi sepasang angsa bahagia, seperti yang tergambar dalam mimpi malam-malam sunyiku.

Bulan, segeralah pulang! Biarkan gelap ini menghilang, berganti terang sinar surya.

Inginku segera menemuimu, sekadar melepas hasrat rindu menggelora. Bahkan aku siap mendengarkan jawaban paling menyakitkan. Ya, akan kutanyakan dengan nada paling datar, untuk menyembunyikan harapan. Aku ingin kau terus maju berjuang, setelah langkah awal menuju pernikahan terhalang dinding keangkuhan ibuku.

"Masihkah kau menginginkan aku menjadi pendampingmu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun