Nur Khalik Ridwan punya cukup upaya yang adil dan hati-hati dalam melahirkan sebuah buku berjudul Sejarah Lengkap. Setidaknya bisa kita nikmati keseriusannya dalam upaya menampilkan rujukan dari para pengkritik maupun pembela Wahhabisme secara rinci. Artinya, Nur Khalik Ridwan sedang menjabarkan sekian banyak data dan fakta tentang Wahhabi—diikuti argumentasi dan pertanyaan teliti sebagai bahan pertimbangan—bagi sidang pembaca. Hal ini baik, dengan maksud memberi ruang bagi pembaca untuk mengembangkan secara kritis gagasan-gagasan yang disajikan.
Sebagai pembaca, saya sempat merasa jemu ketika penulis mengutip pernyataan Hamid Algar yang diulang-ulang tentang ketipisan kitab Muhammad bin Abdul Wahhab hingga dikatakan menyerupai catatan seorang pelajar. Apakah benar begitu?
Nah, di halaman 61, 62, 65, 82, dan 86 dapat kita jumpai pernyataan serupa terkait karya Muhammad bin Abdul Wahhab yang sangat tipis, baik dari segi isi maupun ukurannya. Namun pengulangan inilah yang menunjukkan penegasan bahwa kitab tersebut amat disayangkan apabila dijadikan sumber suci atau kitab induk oleh kalangan Salafi-Wahhabi saat ini dan penerusnya di Arab Saudi. Raji al-Faruqi pun sebagai promotor ideologi Wahhabisme mengakui ketipisan kitab Muhammad bin Abdul Wahhab.
Di sisi lain, saya mengagumi cara penulis yang turut andil dalam memberikan argumennya menanggapi selisih paham dan bantahan Wahhabi soal bertemunya Hempher (guru Muhammad bin Abdul Wahhab) dengan pendiri Wahhabi, misalnya. Penulis mengemukakan poin, menunjukkan secara jelas redaksi, hingga menarik kesimpulan seperti dalam paragraf: "Jadi, kalau disepakati bahwa pertemuan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Hemper terjadi pada 1125 H, dan dengan menyebutkan tahun kelahiran Muhammad bin Abdul Wahhab ialah tahun 1111 H (bukan 1115 H), maka mereka bertemu pada 1125 H, tatkala umur Muhammad bin Abdul Wahhab sekitar empar belas tahun. Artinya, ada selisih empat tahun dengan umur yang dikemukakan para pembantah dari Wahhabi..." (hal 281).
Meskipun demikian, saya masih menemukan istilah "di bagian lain" sebagaimana terdapat di halaman 40 dan 135 tanpa penjelasan secara tekstual "bagian" yang dimaksudkan. Di samping agak mempersulit pemahaman pembaca, sikap penulis bagi saya membawa dampak positif agar pembaca bukan hanya menerima bahan bacaan secara instan, tetapi diperlukan telaah lebih lanjut melalui redaksi dari berbagai sumber untuk menanamkan kepekaan dan pola pikir kritis terhadap informasi yang diterima.
Mengutip satu ungkapan Muhammad bin Abdul Wahhab (hal 124 ada pun di hal 495), "Aku tidak menyeru kepada mazhab sufi, mahzab ahli fiqh, ahli kalam, atau imam dari para imam yang mereka ini sangat dimuliakan, seperti Ibnu al-Qayyim, Adz-Dzahabi, an Ibnu Katsir. Sebaliknya, aku hanya menyeru agar orang berpaling hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku menyeru kepada sunnah Rasulullah...." Walaupun ditegaskan berulang dan berbeda konteks, penulis tidak menyertakan teks Arab. Meski yang telah dijelaskan dalam pengantar edisi revisi (agar tidak semakin tebal), beberapa pembahasan perlu disertai rujukan berbahasa Arab, seperti pada halaman 494 mengutip Khairudin az-Zirkili dalam Al-Wajiz fi Sirah al-Malik 'Abdul 'Aziz tentang penghormatan Wahhabiyin terhadap imam mazhab dan penolakan Wahhabi sebagai madzab baru. Hal ini tentu penting, khususnya, jika yang kita bicarakan adalah pembahasan tema urgent—yang dibutuhkan untuk memperkuat validitas data.
Terakhir, buku ini disusun cukup 'serius' dengan melibatkan pustaka 164 media cetak berupa kitab-kitab dan buku-buku, 4 majalah, bahkan dilengkapi 77 situs daring dari berbagai bahasa yang jika Anda ikuti salah satu situsnya, yakni Salafi Tobat, Anda mungkin akan tercengang ketika membaca sebuah header 'pertaubatan' yang menegasikan Wahhabi sebagai satu 'madzab' sesat alias tak layat diikuti.
Wallahu a'lam.
*Resensi ini telah masuk nominasi naskah terbaik Lomba Resensi Sejarah Wahhabi oleh Islami.co pada 30 Juli 2020.
Informasi Buku:
Judul: Sejarah Lengkap Wahhabi; Perjalanan Panjang Sejarah, Doktrin, Amaliah, dan Pergulatannya