Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

[Resensi] Kiprah Perpustakaan sebagai Fondasi Masyarakat Informasi

19 Maret 2019   07:13 Diperbarui: 19 Maret 2019   10:31 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    

Resensi ini telah berhasil menjadi Juara Harapan 2 dalam Lomba Resensi Buku Kategori Perguruan Tinggi, yang diadakan oleh Arsip dan Perpustakaan Kota Surakarta tahun 2015.

Memang benar bahwa perpustakaan merupakan sesuatu hal yang sangat penting untuk melahirkan insan-insan yang cerdas. Namun realitanya, ungkapan tersebut masih sebatas wacana. 

Karena sebagian besar masyarakat kita menghabiskan waktu untuk bekerja, sehingga minim waktu untuk membaca informasi. Padahal manusia tidak dapat hidup tanpa informasi. Bahkan informasi timbul bersamaan dengan terciptanya nabi Adam di muka bumi ini.

Dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 31-33, Allah mengajarkan beberapa ilmu pengetahuan kepada Adam tentang nama-nama benda. Allah telah mengilhamkan ilmu pengetahuan kepada Adam sehingga ia dapat menyebutkan nama-nama benda kepada malaikat. Sejak dialog itulah timbulnya komunikasi informasi diantara makhluk. Sejak itu pulalah informasi itu terus berkembang sampai sekarang ini (hal. 9).

Sementara perpustakaan sebagai pusat informasi dunia seolah kurang memiliki daya tarik tersendiri dikalangan masyarakat. Sebagaimana yang dituangkan Retno Prabandari dalam artikelnya yang berjudul Minat Baca dan Kebiasaan Membaca di Masyarakat Perguruan Tinggi (bagian 14), Primanto Nugroho dalam penelitiannya menyatakan bahwa minat baca rendah karena daya "mengunyah" bacaan menjadi suatu yang berguna di masyarakat kita masih rendah.

Hal ini diperkuat oleh Prof. A. Teeuw (1994), ia mengungkapkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia menganut tradisi lisan. Kalau ada dokumen tertulis, masyarakat Indonesia lebih memilih dokumen tersebut dibacakan daripada membaca dokumen tersebut. 

Dilihat dari sisi sejarah, maka pendapat Prof. A. Teeuw ini ternyata ada benarnya. Bukti-bukti sejarah dalam bentuk tertulis tidak banyak ditemui di tanah air kita ini. Hal ini dikarenakan sejarah di negara kita banyak dituturkan secara lisan melalui pencerita (story teller) yang semakin lama semakin kabur (hal 290).

Membaca buku Aksentuasi Perpustakaan dan Pemustaka yang disusun oleh para pustakawan ini membuat kita seolah memiliki tanggungjawab untuk turut menyukseskan peran perpustakaan. 

Sebagaimana telah tercantum dalam alenia ke-empat Undang-undang Dasar 1945, tentang usaha dan peran serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dalam buku ini juga dikemas secara sistematis terkait aksen daripada perpustakaan dan pemustaka sebagai pelaku penyelenggaraan perpustakaan. Namun pada dasarnya memang dirancang dengan bermacam-macam judul dari penulis yang berbeda. Sehingga kita dapat melihat pemaparan mengenai perpustakaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun