Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Resensi Buku Puisi] Kenapa Rumahku Kian Sunyi

19 Maret 2019   03:52 Diperbarui: 19 Maret 2019   14:38 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kiriman Candrika Adhiyasa

Saya tidak ingin berlebihan menggambarkan bagaimana kesunyian itu datang. Jika kesepian adalah kutukan yang panjang, justru saya bertanya perihal: di waktu yang mana sekarang kita berada? 

Bukankah rumah tak benar-benar menemu fungsi sebagai rumah ketika segala perwujudan sepi itu menjema angin, udara, dan hawa dingin yang kerap kali mengantarkan kabar duka? Ia menyusup ke sela-sela dinding, pintu, dan jendela, serta menggeliat di tiap perabot rumah tangga. Ya, kutukan itu! Ruang sunyi itu: rumah.

Merasa ditarik lalu dilempar perlahan, saya hampir menjadi korban kecerdikan Candrika ketika menulis syairnya. Serupa manusia yang kehilangan raga, jiwanya berkelana. 

Saya tak tahu pasti ia berjalan ke arah mana. Ia hanya ingin berjalan sendirian saja, tanpa kawan, apalagi lawan. Tapi tanpa kehendak, ia menarik seseorang datang kepadanya; tak sengaja---mengikuti langkah kaki ketika bayangan dirinya semakin jauh menari-nari di bawah lampu kota. Seketika dia merambah lorong sunyi yang tinggal sisa pekat malam yang sangat. Ia seperti mengulurkan tangan, mencoba menuntun berjalan, tapi tak sungguh-sungguh membawa(ku) pulang. Jadi, jangan tanya lagi kenapa rumahku kian sunyi.

Mengapa hujan? Mengapa selepasnya? malam itu kita terjebak di emperan toko yang sunyi selepas hujan berjatuhan dari celah awan/ Saya seperti dihantam kenangan. Mengingatkan saya perihal Manahan Selepas Hujan dengan latar yang hampir menyentuh kemiripan menjadi laksana gerbang menuju masa lalu. Meski saya tak yakin Candrika menuliskan ini dengan sengaja demi mengawali anak-anak aksaranya. 

Semacam lelucon yang sedikitpun tak kuasa mengudang tawa. Tapi justru karena ketidaksengajaan ini, saya dibuat penasaran untuk melanjutkan perihal rupa sepi macam apa yang Candrika hadiahkan? Ya, jangan lupakan untuk siapa puisi-puisi ini ia persembahkan.

Sebagai manusia, Candrika memiliki kehendak untuk sekadar menaruh harapan tentang cita-cita: agar ketika aku telah sampai di gerbang surga/ engkau ada di sampingku untuk membukanya/ bersama-sama// (hlm 6). 

Di pungkasan puisinya yang lain, ia menulis lagi keyakinannya yang ditujukan kepada seseorang: Daliansyah; tunggulah sebentar/ akan ada lembar-lembar/ yang mengimpun kabar/ bahwa duka hanya singgah sebentar// (hlm 19). Tapi seketika saya hampir meruntuhkan pondasi mimpi ketika Candrika menulis Kita Sepasang Jiwa: kita sepasang jiwa yang dicipta untuk menghuni ruang yang tak riang// kita disekap dalam kotak yang dipenuhi kutuk// kita terpenjara sebagai jiwa yang gamang dalam geming// kita dipaksa siap untuk tak pernah mampu memiliki mimpi// Tak pernah memiliki mimpi!

Kenapa Hidup Membelenggu Erat---pertanyaan tentang hidup kembali digaungkan ketika persoalan tak pernah menemu jawaban. Seandainya pengembara, ia tak pernah menghentikan langkah kaki dengan terus mencari titik denyut yang sejati perihal di mana letak nadi kehidupan ini. Sedangkan pada situasi yang lain, dirinya teringat bahwa segalanya fana. 

Sembari mengembuskan napas sebelum ditariknya dalam-dalam, embun dari hidung semacam kehidupan lain yang sengaja dihidupkan sebentar untuk kemudian menghilang. Lalu pertanyaan serupa datang lagi agar menemukan alasan pergi. Akankah selamanya aku mesti menyerah pada yang entah/ untuk hidupku yang antah berantah dan 'kan musnah?// (hlm 17).

Saya benci ketika laju lagu puisi ini singgah di suatu tempat yang 'indah' tapi menipu. Mata dapat melihat, tapi hati memiliki indera penglihatan yang lebih tajam untuk menukikkan pandangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun