Mohon tunggu...
Mutia Senja
Mutia Senja Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Salah satu hobinya: menulis sesuka hati.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Resensi Buku Puisi] Kenapa Rumahku Kian Sunyi

19 Maret 2019   03:52 Diperbarui: 19 Maret 2019   14:38 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kiriman Candrika Adhiyasa

Tapi sialnya cukup Di Pelataran Batin saja dengan menghuni puncak puisinya: /ada hari-hari/ yang mesti kita lewati/ sebagai sepasang merpati/ yang saling memahami// meski di awal puisi ini berbicara tentang kita /kita sepasang muka/ kali pertama/--di sebuah ruang// mulutmu bicara/ tanpa suara/ :apa? Tak mampu kudengar/ tapi sedikit-banyak kusimak getar// (hlm 27). Baik, kita cukup menjadi pemimpi yang gagal membuat gambaran tentang hidup yang sejati. Kitalah malam yang menjelma siang, pagi menuju petang dan suatu waktu akan hilang tanpa penjelasan.

Dua kali lipat dari dua puluh delapan puisi Candrika yang mengisi satu tahun dengan anggun membuat saya bertanya panjang tentang hidup yang singkat. Seperti dongengan-dongengan yang kerap dibacakan orangtua kepada anaknya sebelum menjemput alam bawah sadar dan meneguk kesunyian, akankah selepas senja usai kita hanya sepasang yang berjalan sendirian menjadi aku dan kau kala kubur disemai? 

Lalu bagaimana cara mempertanggungjawabkan semua bualan ketika gerimis yang gugur ke atap kanopi/ tempat kita berbagi banyak narasi/ acapkali mengaduh kesakitan/ dan sialnya/ hanya kau yang bisa mendengar// (hlm 54). 

Bagaimana caraku mendengar jika menelisik bisik suara jiwaku sendiri aku tak lagi punya daya? Lalu sebelum 'kematianmu', kau berujar Dengan Wajahmu, Aku Berbuka. Bagaimana kau mengingat wajahku jika rindu tak lagi bekerja? Rupa wajahku di ambang waktu menuju penantian itu. Adakah cara lain mengungkapkan cinta?

Deru angin lalu bertamu di sebuah Hutan Berkabut. Puisi ini saya beri tanda bintang di sebelah sisi kanan judulnya. Terlihat lebih bercahaya meski tinta hitam dan benda langit itu menyiratkan pendar. Dan bila rambutmu basah oleh air ang terpercik dari ujung daun itu/ matamu kabur oleh kabut itu/ aku telah genap engkau hirup sebagai daya penyambung hidup// (hlm 59). 

Ketika kuaminkan puisi ini, akulah Borealis yang menemukan kau menjelma hutan taiga. Bagaimana bisa? /ruang hatiku hutan taiga/ pohon-pohon paku/ rimbun mengaku-aku lumut dan grizzly terlelap mengibu// engkau telah mewujud kabut abadi/ yang senantiasa luput dari kesepian ini// (hlm 65). Jika hutan itu tahu, hutan menolak menjadi rumah dan memilih pasrah. Diksi-diksi akan membisu di kedalaman tanah yang tinggal akar-akarmu menjelma rumah baru.

Tak ada akhir meski berlembar-lembar puisi menyaksikan ujung tepat di halaman ganjil: tujuh puluh lima. Ada yang diam dan masih berjalan, ada yang tidur dan terbangun, ada yang perlahan menepi, dan ada pula yang tabah menanti sembari menunggu jawaban atas diri. Melebihi jumlah halaman, buku ini sesungguhnya berkali lipat lebih tebal dari apa yang nampak. 

Di sebalik diksi yang tersurat, ada milyaran makna berhamburan dan menanti untuk dibaca. Candrika mungkin tidak menyadari ketika puisi-puisinya berjalan dan tertatih-tatih mencari ruang. Mereka datang dari kesunyian yang terus beranak pinak menumbuhkan kesepian baru, sebagaimana gema bunyi---bumi ini menjelma seumpama rumah yang tak lagi berpenguni.

Terima kasih telah menulis buku ini.

Judul buku                 : Kenapa Rumahku Kian Sunyi
Penulis                         : Candrika Adhiyasa
Penerbit                      : Bangusastra
Tahun terbit             : Desember 2018
Tebal                             : 75 halaman
ISBN                               : 978-602-484-226-5

Sragen, 13 Maret 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun