Mohon tunggu...
Mutia Fauziah
Mutia Fauziah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa ilmu komunikasi universitas Padjadjaran

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran yang memiliki ketertarikan pada isu kesetaraan gender

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Bau-Bau Misoginis di Pilkada 2024

3 Desember 2024   13:35 Diperbarui: 3 Desember 2024   14:36 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024, isu kepemimpinan perempuan semakin marak dan dijadikan sebagai 'gorengan' dalam kampanye. Terhitung sejak 25 September 2024 dalam kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah diwarnai dengan pernyataan-pernyataan bias gender yang mengarah pada misoginis.

Belum lama ini, calon wakil gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, membuat pernyataan kontroversial pada debat perdana Pilkada Banten 2024 "Oleh karena itu, wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat apalagi jadi gubernur. Itu berat lho, luar biasa, maka oleh sebab itu laki laki lah harus membantu memaksimalkan bagaimana banten ini maju", Dari pernyataan tersebut membuktikan bahwa masih terdapat pandangan yang menganggap perempuan kurang mampu untuk memimpin di posisi tertinggi dan memperkuat status quo patriarki.

Selain itu, pernyataan dari Suswono yang merupakan calon Wakil Gubernur (Cawagub) dari Ridwan Kamil menambah warna dalam pilkada 2024. Dalam salah satu kampanyenya, Suswono menyarankan agar janda kaya menikahi pemuda pengangguran seperti Siti Khadijah yang menikahi Nabi Muhammad SAW.

Ada juga baliho pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Sleman yang terindikasi misoginis. Baliho tersebut bertuliskan "Milih Iman (pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (pemimpin) Kudu Lanang".

Dalam artikel yang diterbitkan oleh BBC News Indonesia yang berjudul "Pilkada Aceh: perempuan dibilang 'haram'jadi pemimpin, syariat atau politik praktis?", menyatakan bahwa "Ketika jumlah kandidat perempuan secara nasional meningkat dalam pilkada 2024, calon kepala daerah perempuan di Aceh masih bejibaku melawan narasi bahwa "perempuan berbuat dosa kalau mencalonkan diri menjadi pemimpin" memperkuat pandangan bahwasannya dalam dunia politik dan kepemimpinan peran laki-laki dianggap normal, sedangkan peran perempuan dianggap keluar dari kodratnya"

Tidak bisa dipungkiri, dalam kancah  politik perempuan masih seringkali terpinggirkan meskipun mereka banyak berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik. Padahal jika dilihat dari sudut pandang yang lebih objektif, banyak perempuan yang semakin bersinar, menunjukkan kemampuannya setara dengan laki-laki.

Teori Genderlect dan Stereotip Gender

Pernyataan-pernyataan kontroversial diatas dapat dianalisis melalui kacamata teori Genderlect yang dikemukakan oleh Deborah Tanen,  seorang professor linguistik dari Amerika yang menjelaskan mengenai perbedaan gaya komunikasi antara laki-laki dan perempuan, serta mencerminkan persepsi sosial dan budaya tentang peran gender.

Para pasangan calon kepala daerah mungkin  berbicara dari sudut pandang report yang berorientasi pada status, perintah, dan argumentasi. Seperti pernyataan Dimyati Natakusumah, dalam konteks ini ia menilai perempuan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam kepemimpinan, di dasarkan pada beban kerja, tuntutan, dan tekakan yang sering dikaitkan dengan kualitas yang dianggap lebih pantas bagi laki-laki dalam struktur patriarki.

Berbanding terbalik dengan perempuan yang berkomunikasi dengan sudut pandang rapport, mereka mungkin akan menanggapi hal tersebut dengan berfokus pada aspek hubungan, empati, dan dampak emosional. Perempuan yang mendengar pernyataan tersebut mungkin merasa peran mereka direduksi ke dalam stereotip yang tidak mengakomodasi kapasitas individu tanpa mempertimbangkan kemampuan, kualitas, dan kualifikasi untuk menjalankan peran apa pun, termasuk menjadi kepala atau wakil kepala daerah.

Banyak masyarakat mengkritik keras pernyataan Dimyati, selain dianggap sebagai seksis dan diskriminatif juga karena pernyataan tersebut tidak sejalan dengan realita di keluarganya, dimana Irna Narulita yang merupakan istri dari Dimyati adalah seorang Bupati Kabupaten Pandeglang yang menjabat selama 2 periode. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun