Mohon tunggu...
Mutia Fahma
Mutia Fahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Demokrasi Bingung

16 Desember 2023   19:56 Diperbarui: 16 Desember 2023   20:08 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Aneh rasanya dalam gejolak politik yang terjadi di negara ini, semakin terlihat kontras bahwa setiap golongan hanya mengutamakan kepentingannya sendiri, lantas meneriakkan demokrasi. Setiap pihak selalu saja tidak menerima kekalahannya dalam kancah kontestasi. Kata beberapa orang, setiap pemilihan pemimpin itu bukanlah kontestasi. Lalu untuk apa mereka dengan penuh ambisi seperti anjing melihat tulang, saling berlari agar menjadi yang utama? Itu tetaplah kontestasi, pertarungan, menang-kalah. 

Ya, rakyat hanya menjadi penonton dalam arena gladiator haus darah tersebut. Rakyat akan menonton, barangkali melalui televisi atau gawai, karakter-karakter yang mereka dukung saling menghantamkan tameng berduri atau melempar tombak ke dada lawannya masing-masing. Hal ini benar- benar memalukan. 

Apa bedanya kita dengan bangsa Romawi di zaman kebrutalan dahulu? Kita memang tidak mempertarungkan manusia dalam arena sehingga tumpah darah dan kepala. Namun, sebenarnya ada keidentikan yang samar antara kita dengan mereka. Kita hanya berganti arena dan berganti aturan main untuk saling membunuh. Rakyat, sadar maupun tidak, sebenarnya tengah bersoraksorai untuk mendukung kemenangan karakter pilihannya secara barbar. Seusai pertarungan itu usai, rakyat akan kembali tidak dipedulikan oleh para petarung itu, namun rakyat seakan-akan tidak peduli pada pengacuhannya.

Mereka selalu merasa paling benar dalam mendeskripsikan dirinya sendiri. Akibatnya, dengan egosentrisme tersebut, terjadi banyak penyelewengan dalam hal memposisikan diri. Banyak orang merasa dirinya memiliki kapabilitas untuk menjadi sesuatu. Banyak orang merasa dirinya pantas menduduki suatu posisi tanpa mengetahui apa yang benar-benar ia miliki. Hal inilah yang pada akhirnya akan membuat peta tatanan kehidupan yang proporsional menjadi melenceng sejauh-jauhnya. 

Demokrasi yang tidak dewasa hanya akan melahirkan ksatria-ksatria cengeng (atau picik) menjadi pemimpin. Kondisi ini hanya akan melahirkan demagog, yaitu orang-orang yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk mendapatkan kekuasaan dan opini publik. Hal absurd lainnya ialah ketika seseorang yang memiliki kemampuan mumpuni untuk suatu posisi akan kalah dengan orang lemah namun memiliki banyak suara di belakangnya. Pemimpin seharusnya adalah ia yang benar-benar memiliki kapabilitas secara riil. 

Mana mungkin orang lemah yang tidak memiliki kecakapan apa-apa mesti dijadikan pemimpin dengan dalih suara terbanyak? Suara terbanyak belum tentu suara terbaik. Apakah itu sebuah keadilan atau kebodohan? Harus ada sosok yang mempunyai idealisme, kapabilitas, berkualitas dengan orientasi kemaslahatan dan perbaikan hajat hidup orang banyak yang memimpin negara ini dan bukan orang lemah yang diboyong oleh suara terbanyak, apalagi apabila kuantitas suara tersebut ternyata bersumber dari mulut orang- orang bodoh. Arah demokrasi yang membingungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun