Mohon tunggu...
mutia rizal
mutia rizal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi di Tubuh Birokrasi

27 November 2016   06:54 Diperbarui: 27 November 2016   08:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image : satujam.com

Oleh: Mutia Rizal

Aduh pak, disitu sakit sekali. Dan si pemijat justru malah mengulang-ulang pijitannya. Dia bilang justru ini sumber penyakitnya, pas kena syarafnya. Itulah pijat refleksi, memijat bagian simpul syaraf yang langsung berhubungan dengan sebuah penyakit/masalah tertentu.

Birokrasi, dan yang saya maksud disini adalah birokrasi pemerintahan, adalah sebuah tubuh yang tidak lepas dari berbagai macam penyakit. Sebuah tubuh sosial dengan relasi yang kompleks yang tidak luput dari banyak masalah. Penyakit diderita, namun terkadang kita tidak mampu menemukan dimana sumber penyakitnya. Sering kita hanya tau rasa sakitnya lalu berusaha menghilangkan rasa sakit itu tanpa peduli dengan sumbernya. Dan selalu, yang dijumpai adalah bagaimana menghilangkan rasa sakit dengan segera dan sebisa mungkin tanpa melalui rasa sakit-sakit yang lain. Dikiranya, kalau rasa sakit hilang berarti penyakit ikut sirna. Mungkin juga merasa telah menemukan sumber penyakitnya, tapi cara memusnahkannya menggunakan bom atom yang akhirnya justru membunuh banyak sel-sel baik yang bersemayam dalam tubuh birokrasi, atau kalau tidak terbunuh ya terkena radiasi, lalu terjadilah penyakit lain.

Untuk itulah diperlukan sebuah kemampuan juga kemauan untuk menemukan gangguan syaraf yang membuat penyakit selalu ada di dalam tubuh. Kemampuan untuk membuat syaraf tegang menjadi kendor dan segar kembali.

Rangsangan pijatan refleksi dalam tubuh birokrasi saya coba hadirkan untuk menemukan simpul syarafnya. Apa yang sudah, sedang dan terus akan saya tuliskan memang bertumpu pada sebuah teori sosial kritis. Sebuah perspektif yang bukan bermaksud sekedar mengkritisi sebuah kejadian atau kebijakan, namun lebih jauh dari itu, teori kritis adalah mengkritisi cara berpikir kita sebagai manusia, manusia yang selalu berpikir dilandasi oleh pengetahuan dan ilmu yang telah diperoleh sebelumnya yang menjelma menjadi sebuah kepastian dan kebenaran. Dengan hiasan teori kritis, kita mampu memahami persoalan tidak lagi secara linear, tidak lagi memandang dari yang seharusnya apalagi yang biasanya. Yang biasanya dan yang seharusnya itu seolah-olah sudah selalu benar dan mapan adanya, namun selalu ada celah untuk membongkar, melakukan rekonstruksi ulang atas pemahaman menjadi lebih jernih dan menyadarkan. Terkadang kita perlu untuk berhenti sejenak untuk kemudian merenung dan berkaca, untuk tau apa, mengapa, dan bagaimana sebuah fenomena terjadi, tentu saja di lingkup birokrasi.

Apa iya kepentingan individu itu mengganggu kepentingan negara, apa benar aturan-aturan yang mendisiplinkan mampu menyadarkan pegawai, apakah selalu absen (kehadiran) pegawai itu menentukan kinerjanya, mengapa sebuah seragam diperlukan, kenapa sangsi tegas harus ditegakkan, bagaimana bisa individu tidak merasa dirinya telah terasing dalam pekerjaannya, apa benar tubuh birokrat yang diam dan patuh itu berarti tidak melawan, dan yang paling seru apa betul kekuasaan itu bisa dipegang dan hanya dimiliki oleh para pimpinan. Berbagai macam pertanyaan itu hanya sebagai contoh betapa sebuah refleksi diperlukan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada tubuh birokrasi.   

Tulisan berat namun ringan, akan selalu menghiasi tema refleksi untuk birokrasi, dan berharap mampu dipahami sebagai penyeimbang (kalau tidak bisa dibilang penyejuk) pikiran bagi aparat sipil negara maupun siapapun yang peduli dengan kehidupan birokrasi di pemerintahan. 

Seperti gambaran pijat refleksi di awal tadi, terkadang pada saat dipijat di bagian tertentu akan terasa panas dan sakit. Namun sakitnya pijatan itu mampu mengena pada syaraf yang menjadi sumber penyakit. Dan terkadang pijatan-pijatan itu perlu diulang beberapa kali agar penyakit mampu sembuh dengan sempurna. Pijatan yang terasa sakit namun menyehatkan.

Mari kita rajin melakukan (pijat) refleksi di tubuh birokrasi.

(RZL)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun