PENDAHULUAN
Keterampilan berpikir kritis atau critical thinking saat ini sangat dibutuhkan di dunia digital yang berkembang pesat. Di tengah kemudahan teknologi komunikasi yang kini menjadi kebutuhan primer, hadir pula tantangan besar, salah satunya adalah penyebaran informasi yang salah atau hoaks. Dengan kecepatan informasi yang sangat tinggi dan kemampuan untuk menyebar secara viral melalui berbagai platform digital, sering kali kita kesulitan membedakan antara fakta dan opini. Bahkan, tanpa keterampilan berpikir kritis, seseorang bisa terjebak dalam informasi yang menyesatkan.Â
Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi secara objektif, memeriksa kebenaran dari sumber yang menyampaikan informasi, dan mengambil keputusan yang tepat. Dalam dunia digital, critical thinking membantu individu untuk menyaring informasi yang datang, memilih yang sahih, dan menghindari informasi yang tidak valid atau bahkan berbahaya. Keterampilan ini sangat penting untuk melindungi diri dari disinformasi, yang sering kali tampak seperti kebenaran padahal sebenarnya salah atau menyesatkan.
Dalam perspektif Islam, konsep yang sangat relevan dengan keterampilan berpikir kritis ini adalah tabayyun, yang terkandung dalam Surah Al-Hujurat Ayat 6. Ayat tersebut menyatakan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum karena kebodohan, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu." (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini mengajarkan kita untuk memverifikasi informasi dengan hati-hati, terlebih jika informasi tersebut datang dari sumber yang tidak dapat dipercaya atau memiliki motif tertentu. Prinsip tabayyun dalam Islam mengingatkan kita untuk tidak sembarangan menerima dan menyebarkan informasi tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Ini adalah bentuk berpikir kritis yang sangat relevan dengan tantangan zaman modern, terutama di dunia digital.
PEMBAHASANÂ
Pengertian Critical Thinking
Menurut Oxford Dictionary, kata critical mengandung makna kemampuan untuk menilai dengan adil dan cermat, baik kualitas positif maupun negatif dari sesuatu atau seseorang. Artinya, berpikir kritis bukan hanya sekadar berpikir secara negatif atau mencari-cari kesalahan, tetapi lebih kepada sikap yang objektif dalam menilai sesuatu. Ini menyiratkan bahwa seseorang yang berpikir kritis akan melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang dan tidak hanya menerima begitu saja pandangan yang ada.
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kritis lebih ditekankan pada sikap yang tidak lekas percaya dan selalu berusaha untuk menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam suatu informasi. Ini sejalan dengan pendapat bahwa berpikir kritis bukan hanya tentang menerima informasi secara pasif, tetapi melibatkan proses penyelidikan yang lebih dalam terhadap kebenaran suatu klaim atau pernyataan.
John Dewey, seorang filsuf pendidikan, menambahkan dimensi yang lebih luas dengan menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah sebuah proses pertimbangan yang aktif dan teliti terhadap keyakinan atau pengetahuan yang diterima. Dewey menekankan bahwa berpikir kritis membutuhkan keterlibatan aktif dan kesediaan untuk meragukan sesuatu yang telah diterima sebagai kebenaran. Hal ini menggambarkan bahwa berpikir kritis bukan hanya tentang berpikir rasional, tetapi juga tentang keterbukaan untuk mempertanyakan dan mengevaluasi informasi yang ada.
Robert Ennis, seorang ahli pendidikan lainnya, menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir reflektif dan membuat keputusan berdasarkan analisis yang cermat. Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir kritis tidak hanya berfokus pada tahap evaluasi informasi, tetapi juga pada pengambilan keputusan yang tepat berdasarkan hasil dari analisis tersebut.
B. Penafsiran Q.S. Al-Hujurat ayat 6
Ayat di atas mengajarkan kepada orang beriman untuk selalu berhati-hati dan cermat dalam menerima berita atau informasi, terutama jika berasal dari orang yang tidak dapat dipercaya. Istilah "tabayyun" yang digunakan dalam ayat ini berasal dari kata tabayyana () yang berarti menjadikan sesuatu lebih jelas. Secara sederhana, tabayyun berarti melakukan klarifikasi, memverifikasi kebenaran informasi, dan memastikan fakta-fakta terkait sebelum mempercayainya. Untuk memastikan keakuratan, sumber utama informasi harus diperiksa dan diperkuat dengan sumber lain yang terpercaya. Dengan demikian, setelah melakukan tabayyun, seseorang bisa bertindak secara adil dan bijaksana.
Menurut Ibnu Katsir, jika seseorang tergesa-gesa menerima dan menyebarkan informasi tanpa klarifikasi, maka ia akan berpotensi terjerumus dalam kesalahan dan memberikan akibat yang merugikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain yang menerima informasi tersebut. Hal ini bisa menimbulkan madlarat (kerugian) karena informasi yang tidak benar dapat menyesatkan atau membahayakan orang lain.
Lebih jauh lagi, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa orang yang tidak hati-hati dalam menyebarkan informasi, terutama yang berasal dari sumber yang tidak dapat dipercaya (seperti orang fasik), pada dasarnya sedang ikut serta dalam perbuatan yang tidak benar. Ini sama halnya dengan menjadi bagian dari perbuatan orang fasik yang menyebarkan kebohongan atau fitnah. Dalam konteks ini, menyebarkan informasi yang salah atau tidak diverifikasi sama dengan menjadi "media" untuk penyebaran kebohongan, yang dapat merusak reputasi dan memicu kerusakan sosial.
Pentingnya tabayyun atau verifikasi informasi ini tidak hanya sekadar untuk menghindari kebohongan, tetapi juga untuk menjaga kedamaian sosial dan keadilan di tengah masyarakat. Dengan menyaring informasi yang diterima dan hanya menyebarkan yang benar, seseorang telah menjalankan amanah sebagai seorang Muslim yang bertanggung jawab, serta menjaga kehormatan dirinya dan orang lain.
Jadi, inti dari pesan Ibnu Katsir adalah berhati-hatilah dalam menerima dan menyebarkan informasi, telitilah kebenarannya terlebih dahulu, dan jangan sampai kita turut serta dalam penyebaran kebohongan yang dapat menimbulkan kerusakan. Sikap ini adalah bagian dari akhlaq yang baik yang diajarkan dalam Islam.
Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, Surat Al-Hujurat ayat 6 merupakan pedoman penting bagi umat Muslim, terutama di Indonesia, untuk tidak terburu-buru dalam menerima atau menyebarkan informasi. Ayat ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dan melakukan tabayyun sebelum mempercayai dan menyebarkan sebuah berita, terutama yang belum jelas kebenarannya. Hamka menekankan bahwa dalam kehidupan modern, di mana informasi dapat menyebar dengan cepat melalui berbagai saluran terutama media social ada banyak berita yang masih belum terverifikasi dengan baik, yang sering kali berupa gosip, isu, atau bahkan fitnah.
Fenomena informasi yang belum jelas kebenarannya ini, menurut Hamka, sangat relevan dengan keadaan sosial masyarakat modern, di mana berbagai kabar atau isu sering kali dibuat-buat untuk tujuan tertentu seperti memanipulasi opini publik atau menciptakan keributan. Hal ini semakin diperburuk dengan maraknya penyebaran berita di media sosial yang terkadang disertai dengan komentar atau reaksi yang cepat dan emosional tanpa memeriksa terlebih dahulu kebenarannya.
Hamka menegaskan bahwa umat Islam tidak seharusnya terjebak dalam arus informasi yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam konteks media sosial yang penuh dengan rumor dan gosip, seseorang seharusnya tidak mudah mengikuti atau merespons isu-isu yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Lebih dari itu, ikut-ikutan berkomentar dan meramaikan berita yang belum jelas kebenarannya dapat menambah kerusakan dan memperburuk keadaan. Dalam hal ini, sikap hati-hati dan selektif dalam menerima berita sangat penting, agar kita tidak ikut menyebarkan kebohongan atau menciptakan kerusuhan sosial.
Menurut Hamka, ini adalah teladan yang sangat relevan untuk masyarakat Indonesia, di mana sering kali berita-berita sensasional dan kontroversial dapat langsung viral di media sosial. Berpegang pada prinsip tabayyun adalah cara untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan sosial, serta mencegah dampak negatif dari penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan.Â
Dengan kata lain, Hamka mendorong umat Islam untuk selalu mengutamakan keadilan dan kebenaran, tidak hanya dalam menyebarkan informasi, tetapi juga dalam meresponsnya. Ini adalah ajakan untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat yang cerdas dan bijak dalam menerima dan menyebarkan berita.
C. Analisis PenulisÂ
Berdasarkan pembahasan yang ada, prinsip tabayyun atau klarifikasi dalam menerima informasi menjadi sangat penting, baik menurut Ibnu Katsir maupun Hamka, terutama di zaman modern yang penuh dengan arus informasi yang cepat dan sering kali tidak terverifikasi kebenarannya. Ibnu Katsir mengingatkan umat Islam untuk tidak terburu-buru menerima atau menyebarkan berita tanpa terlebih dahulu memastikan kebenarannya, karena hal itu dapat menimbulkan madlarat (kerugian) baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Dalam hal ini, informasi yang tidak jelas kebenarannya seperti gosip, isu, atau fitnah dapat merusak keharmonisan sosial dan memecah belah umat. Hal serupa juga ditekankan oleh Hamka, yang dalam Tafsir Al-Azhar-nya mengingatkan bahwa di era digital ini banyak berita yang tersebar tanpa dasar yang jelas, sering kali dibuat-buat atau dibesar-besarkan untuk tujuan tertentu, dan dapat dengan cepat menghebohkan masyarakat. Oleh karena itu, umat Islam diajak untuk tidak merespon secara emosional atau ikut-ikutan berkomentar tentang isu-isu yang belum terverifikasi kebenarannya. Jika informasi yang salah disebarkan tanpa tabayyun, maka dampaknya bisa jauh lebih besar, yakni memperburuk situasi dan merusak hubungan sosial. Prinsip ini juga berkaitan erat dengan tanggung jawab sosial: setiap individu harus memastikan bahwa informasi yang diterima dan disebarkan adalah informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.Â
Di zaman di mana media sosial memegang peranan besar dalam menyebarkan berita, sikap hati-hati dan selektif dalam menerima informasi menjadi kunci untuk menjaga kedamaian dan keadilan sosial. Dengan mengedepankan tabayyun, kita tidak hanya menjaga integritas pribadi, tetapi juga ikut menjaga keharmonisan dalam masyarakat, sehingga informasi yang benar dan bermanfaatlah yang akan tersebar, bukan kebohongan atau fitnah.
KESIMPULAN
Secara umum, membedakan fakta dan opini merupakan keterampilan penting dalam critical thinking di era digital, di mana informasi tersebar begitu cepat dan luas. Dari perspektif Surah Al-Hujurat ayat 6, kita diajarkan untuk selalu berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, terlebih jika informasi tersebut datang dari sumber yang meragukan. Ayat ini menekankan pentingnya tabayyun (klarifikasi) sebelum mengambil kesimpulan atau menyebarkan berita, untuk memastikan bahwa informasi yang diterima adalah fakta, bukan sekadar opini atau bahkan fitnah|. Dalam era digital, di mana perbedaan antara fakta dan opini sering kabur, prinsip ini mengingatkan kita untuk menggunakan critical thinking untuk memverifikasi kebenaran informasi, agar kita tidak terjebak dalam penyebaran hoaks atau persepsi yang salah. Dengan demikian, Surah Al-Hujurat ayat 6 mengajarkan pentingnya kecermatan dan kebijaksanaan dalam menilai dan merespons informasi yang kita terima di dunia digital saat ini.
REFERENSIÂ
Hamka, Tafsir Al- Azhar Jilid 13, 2003. Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD Singapura.
Isma'il Ibnu Kasir ad-Dimasyqi, Imam Abul Fida. 2000. Tafsir Ibnu Kasir Juz 9, Jakarta: Sinar Baru Algesindo.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. (2024). https://kbbi.web.id/kritis-2
Sandi, Anadita Veria & Nurlaela, Andi. 2021. Critical Thinking Di Era Digital Menurut Perspektif Hadis, Gunung Djati Conference Series, Volume 4, Proceedings The 1st Conference on Ushuluddin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H