Mohon tunggu...
Mutia putriAmanda
Mutia putriAmanda Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

hobi traveling, membuat kerajinan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Membedakan Fakta dan Opini: Keterampilan Critical Thinking di Era Digital Perspektif Quran Surah Al-Hujarat

28 November 2024   00:48 Diperbarui: 28 November 2024   00:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Robert Ennis, seorang ahli pendidikan lainnya, menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir reflektif dan membuat keputusan berdasarkan analisis yang cermat. Hal ini mengindikasikan bahwa berpikir kritis tidak hanya berfokus pada tahap evaluasi informasi, tetapi juga pada pengambilan keputusan yang tepat berdasarkan hasil dari analisis tersebut.

B. Penafsiran Q.S. Al-Hujurat ayat 6

Ayat di atas mengajarkan kepada orang beriman untuk selalu berhati-hati dan cermat dalam menerima berita atau informasi, terutama jika berasal dari orang yang tidak dapat dipercaya. Istilah "tabayyun" yang digunakan dalam ayat ini berasal dari kata tabayyana () yang berarti menjadikan sesuatu lebih jelas. Secara sederhana, tabayyun berarti melakukan klarifikasi, memverifikasi kebenaran informasi, dan memastikan fakta-fakta terkait sebelum mempercayainya. Untuk memastikan keakuratan, sumber utama informasi harus diperiksa dan diperkuat dengan sumber lain yang terpercaya. Dengan demikian, setelah melakukan tabayyun, seseorang bisa bertindak secara adil dan bijaksana.

Menurut Ibnu Katsir, jika seseorang tergesa-gesa menerima dan menyebarkan informasi tanpa klarifikasi, maka ia akan berpotensi terjerumus dalam kesalahan dan memberikan akibat yang merugikan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain yang menerima informasi tersebut. Hal ini bisa menimbulkan madlarat (kerugian) karena informasi yang tidak benar dapat menyesatkan atau membahayakan orang lain.

Lebih jauh lagi, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa orang yang tidak hati-hati dalam menyebarkan informasi, terutama yang berasal dari sumber yang tidak dapat dipercaya (seperti orang fasik), pada dasarnya sedang ikut serta dalam perbuatan yang tidak benar. Ini sama halnya dengan menjadi bagian dari perbuatan orang fasik yang menyebarkan kebohongan atau fitnah. Dalam konteks ini, menyebarkan informasi yang salah atau tidak diverifikasi sama dengan menjadi "media" untuk penyebaran kebohongan, yang dapat merusak reputasi dan memicu kerusakan sosial.

Pentingnya tabayyun atau verifikasi informasi ini tidak hanya sekadar untuk menghindari kebohongan, tetapi juga untuk menjaga kedamaian sosial dan keadilan di tengah masyarakat. Dengan menyaring informasi yang diterima dan hanya menyebarkan yang benar, seseorang telah menjalankan amanah sebagai seorang Muslim yang bertanggung jawab, serta menjaga kehormatan dirinya dan orang lain.

Jadi, inti dari pesan Ibnu Katsir adalah berhati-hatilah dalam menerima dan menyebarkan informasi, telitilah kebenarannya terlebih dahulu, dan jangan sampai kita turut serta dalam penyebaran kebohongan yang dapat menimbulkan kerusakan. Sikap ini adalah bagian dari akhlaq yang baik yang diajarkan dalam Islam.

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, Surat Al-Hujurat ayat 6 merupakan pedoman penting bagi umat Muslim, terutama di Indonesia, untuk tidak terburu-buru dalam menerima atau menyebarkan informasi. Ayat ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dan melakukan tabayyun sebelum mempercayai dan menyebarkan sebuah berita, terutama yang belum jelas kebenarannya. Hamka menekankan bahwa dalam kehidupan modern, di mana informasi dapat menyebar dengan cepat melalui berbagai saluran terutama media social ada banyak berita yang masih belum terverifikasi dengan baik, yang sering kali berupa gosip, isu, atau bahkan fitnah.

Fenomena informasi yang belum jelas kebenarannya ini, menurut Hamka, sangat relevan dengan keadaan sosial masyarakat modern, di mana berbagai kabar atau isu sering kali dibuat-buat untuk tujuan tertentu seperti memanipulasi opini publik atau menciptakan keributan. Hal ini semakin diperburuk dengan maraknya penyebaran berita di media sosial yang terkadang disertai dengan komentar atau reaksi yang cepat dan emosional tanpa memeriksa terlebih dahulu kebenarannya.

Hamka menegaskan bahwa umat Islam tidak seharusnya terjebak dalam arus informasi yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam konteks media sosial yang penuh dengan rumor dan gosip, seseorang seharusnya tidak mudah mengikuti atau merespons isu-isu yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Lebih dari itu, ikut-ikutan berkomentar dan meramaikan berita yang belum jelas kebenarannya dapat menambah kerusakan dan memperburuk keadaan. Dalam hal ini, sikap hati-hati dan selektif dalam menerima berita sangat penting, agar kita tidak ikut menyebarkan kebohongan atau menciptakan kerusuhan sosial.

Menurut Hamka, ini adalah teladan yang sangat relevan untuk masyarakat Indonesia, di mana sering kali berita-berita sensasional dan kontroversial dapat langsung viral di media sosial. Berpegang pada prinsip tabayyun adalah cara untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan sosial, serta mencegah dampak negatif dari penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun