Mohon tunggu...
Dodi Muthofar Hadi
Dodi Muthofar Hadi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Manjadda Wajadda

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus puluhan bahkan ribuan kepala"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Skor 5:5 untuk SBY VS Adjie Suradji

12 September 2010   03:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

oleh Dodi Muthofar Hadi pada 12 September 2010 jam 8:49

Adjie Suradji berpendapat bahwa, terdapat dua jenis pemimpin cerdas,yaitu pemimpin cerdas saja dan pemimpin cerdas yang bisa membawa perubahan.

Adjie lebih jauh berpendapat, untuk menciptakan perubahan (dalam arti positif), tidak diperlukan pemimpin sangat cerdas, sebab kadang kala kecerdasan justru dapat menghambat keberanian. Keberanian menurut Adjie di satu faktor penting dalam kepemimpinan berkarakter, termasuk keberanian mengambil keputusan dan menghadapi risiko. Dalam hal kepemimpinan Adjie berpendapat bahwa kepemimpinan berkarakter risk taker bertentangan dengan ciri-ciri kepemimpinan populis. Menurut Adjie pemimpin populis tidak berani mengambil risiko, bekerja menggunakan uang, kekuasaan, dan politik populis atau pencitraan lain.

Adjie menguraikan bahwa, Indonesia sudah memiliki lima mantan presiden dan tiap presiden menghasilkan perubahannya sendiri-sendiri. Soekarno membawa perubahan besar bagi bangsa ini. Disusul Soeharto, Habibie, Gus Dur, dan Megawati.

Lebih jauh Adjie memberikan catatan bahwa, Soekarno barangkali telah dilupakan orang, tetapi tidak dengan sebutan Proklamator. Soeharto dengan Bapak Pembangunan dan perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Habibie dengan teknologinya. Gus Dur dengan pluralisme dan egaliterismenya. Megawati sebagai peletak dasar demokrasi, ratu demokrasi, karena dari lima mantan RI-1, ia yang mengakhiri masa jabatan tanpa kekisruhan. Yang lain, betapapun besar jasanya bagi bangsa dan negara, ada saja yang membuat mereka lengser secara tidak elegan.

Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini.  Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional.

Artinya, apabila pemerintahan SBY berniat memberantas korupsi, seharusnya fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa (Ferdinand I, 1503- 1564).

Bukan cukup memperkuat hukum (KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia), korupsi pun hilang. Tepatnya, seolah-olah hilang. Realitasnya, hukum dengan segala perkuatannya di negara yang disebut Indonesia ini hanya mampu membuat berbagai ketentuan hukum, tetapi tak mampu menegakkan.

Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas? Apa artinya hukum dengan sedemikian banyak perkuatannya jika moral pejabatnya rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas?

Keberanian

Meminjam teori Bill Newman tentang elemen penting kepemimpinan, yang membedakan seorang pemimpin sejati dengan seorang manajer biasa adalah keberanian (The 10 Law of Leadership). Keberanian harus didasarkan pada pandangan yang diyakini benar tanpa keraguan dan bersedia menerima risiko apa pun. Seorang pemimpin tanpa keberanian bukan pemimpin sejati. Keberanian dapat timbul dari komitmen visi dan bersandar penuh pada keyakinan atas kebenaran yang diperjuangkan.

Keberanian muncul dari kepribadian kuat, sementara keraguan datang dari kepribadian yang goyah. Kalau keberanian lebih mempertimbangkan aspek kepentingan keselamatan di luar diri pemimpin—kepentingan rakyat—keraguan lebih mementingkan aspek keselamatan diri pemimpin itu sendiri.

Korelasinya dengan keberanian memberantas korupsi, SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya.

Memang, secara alamiah, individu atau organisasi umumnya akan bersikap konservatif atau tak ingin berubah ketika sedang berada di posisi puncak dan situasi menyenangkan. Namun, dalam konteks korupsi yang kian menggurita, tersisa pertanyaan, apakah SBY hingga 2014 mampu membawa negeri ini betul-betul terbebas dari korupsi?

Pertanyaan lebih substansial: apakah SBY tetap pada komitmen perubahan? Atau justru ide perubahan yang dicanangkan (2004) hanya tinggal slogan kampanye karena ketidaksiapan menerima risiko-risiko perubahan? Terakhir, apakah SBY dapat dipandang sebagai pemimpin yang memiliki tipe kepemimpinan konsisten dalam pengertian teguh dengan karakter dirinya, berani mengambil keputusan berisiko, atau justru menjalankan kepemimpinan populis dengan segala pencitraannya?

Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan.

Perubahan adalah hal tak terelakkan. Sebab, setiap individu, organisasi, dan bangsa yang tumbuh akan selalu ditandai oleh perubahan- perubahan signifikan.

Di dunia ini telah lahir beberapa pemimpin negara yang berkarakter dan membawa perubahan bagi negerinya, berani mengambil keputusan berisiko demi menyejahterakan rakyatnya. Mereka adalah Presiden Evo Morales (Bolivia), Ahmadinejad (Iran), dan Hugo Chavez (Venezuela).

Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya.

Kita berharap, kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini. Sekali lagi, seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini.

Adjie Suradji Anggota TNI AU

Skor 5 : 5 untuk SBY vs Adjie

Kesalahan/Pembangkangan Adjie Suradji sebagai seorang Prajurit TNI sbb:

1. Penyebutan SBY tanpa didahului dengan Bapak atau Presiden RI begitu pula dengan Presiden RI sebelumnya, Adjie tidak menulisnya dengan didahului Bapak/Ibu atau Mantan Presiden RI, padahal Adjie adalah warga negara RI dan prajurit TNI

2. Adjie hanya berpendapat sesuai daya pikirnya, tanpa memberikan toleransi kepada yang lain untuk berpendapat bahwa pemimpin cerdas tidak hanya terdiri dari dua jenis

3. Adjie menolak usaha Pemerintah memperkuat hukum dengan membentuk KPK, MK, Pengadilan Tipikor, KY, hingga Satgas Pemberantasan Mafia

4. Adjie berani mengatakan moralitas pejabat RI rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, dan pemalas, namun tidak menyebutkan nama-namanya, sehingga mengandung makna semua pejabat di RI seperti itu, termasuk dirinya sendiri (Kolonel/Pnb/TNI AU).

5. Adjie Suradji tidak konsisten dalam menilai kepemimpinan Presiden-Presiden RI, dengan berpendapat bahwa SBY yang dipilih lebih dari 60 persen rakyat kenyataannya masih memimpin seperti sebagaimana para pemimpin yang dulu pernah memimpinnya (tidak berani memberantas korupsi). Yang sebelumnya mengungkapkan bahwa Sayang, hingga presiden keenam (SBY), ada hal buruk yang tampaknya belum berubah, yaitu perilaku korup para elite negeri ini.  Akankah korupsi jadi warisan abadi? Saatnya SBY menjawab. Slogan yang diusung dalam kampanye politik, isu ”Bersama Kita Bisa” (2004) dan ”Lanjutkan” (2009), seharusnya bisa diimplementasikan secara proporsional, (adalah sebuah keragu-raguan dari Adjie).

Kelebihan Tulisan Adjie Suradji:

1. Berpendapat Hukum Harus Disertai Dengan Moralitas, agarhukum dengan sedemikian banyak perkuatannya sehingga moral pejabatnya tidak: rendah, berakhlak buruk, dan bermental pencuri, pembohong, dan pemalas.

2. Berani mengungkapkan bahwa SBY tidak berni memberantas korupsi, karena Adjie menilai SBY tidak menerapkan prinsip fiat justitia pereat mundus—hendaklah hukum ditegakkan—walaupun dunia harus binasa

3. Adjie berani mengungkapkan kekawatirannya bahwa kenyamanan dalam posisi puncak SBY sebagai Presiden akan membuat SBY gagal dalam memberantas korupsi

4. Adjie berani memberi masukan untuk pemimpin RI dan calon Pemimpin RI selanjutnya dengan menyatakan bahwa Indonesia perlu pemimpin visioner. Pemimpin dengan impian besar, berani membayar harga, dan efektif, dengan birokrasi yang lentur. Tidak ada pemimpin tanpa visi dan tidak ada visi tanpa kesadaran akan perubahan.

5. Adjie berani untuk berharap dan tidak membangkang sebagai pemberontak dengan harapan diakhir tulisannya untuk SBY dan Indonesia yaitu Indonesia harus bisa lebih baik. Oleh karena itu, semoga di sisa waktu kepemimpinannya—dengan jargon reformasi gelombang kedua—SBY bisa memberikan iluminasi (pencerahan), artinya pencanangan pemberantasan korupsi bukan sekadar retorika politik untuk menjaga komitmen dalam membangun citranya.

Dodi Muthofar Hadi

Pendiri Web Partai Republik Islam Indonesia Komandan adalah Pemimpin, dan Pemimpin itu adalah komandan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun