Mohon tunggu...
Muthmainnah
Muthmainnah Mohon Tunggu... Lainnya - Aparatur Sipil Negara

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ikhtiar Menguatkan Independensi Hakim Konstitusi di Seperlima Abad MK

23 Juli 2023   17:12 Diperbarui: 23 Juli 2023   17:13 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan sebuah lembaga peradilan yang kekuasaannya secara eksplisit termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. 

Hal tersebut tentunya berdampak pada kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang cukup besar sehingga lembaga peradilan ini mendapat julukan the guardian of constitution yang diartikan sebagai pengawal konstitusi. 

Tokoh yang pertama kali memperkenalkan Mahkamah Konstitusi adalah Hans Kalsen dimana gagasan ini muncul untuk membentuk peradilan diluar mahkamah agung yang khusus menangani judicial review. 

Hadirnya Mahkamah Konstitusi juga sebagai upaya untuk memperkuat prinsip check and balances suatu negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dapat dilihat dari dua sisi pembentukannya yaitu dari politik ketatanegaraan dimana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hadir sebagai penyeimbang DPR dan Presiden yang notabene memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. 

Dengan demikian, produk hukum tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi untuk menjalankan peraturan perundang-undangan yang otoriterian. Sisi lainnya berkaitan dengan adanya pergeseran sistem ketatanegaraan dimana MPR tidak lagi berada pada level tertinggi dalam struktur ketatanegaran Indonesia sehingga posisi lembaga-lembaga negara menjadi sama rata. 

Hal ini merupakan pengejawantahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD sehingga yang awalnya menganut prinsip supermasi MPR menjadi supermasi konstitusi maka dalam hal ini jika terjadi sengketa antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia lah yang berhak untuk mengadilinya. Sangat disadari bahwa dalam UUD 1945 berisi mengenai prinsip-prinsip dalam ketatanegaraan. Agar konstitusi berjalan sesuai relnya maka diperlukan sebuah lembaga yang menjadi penjaga konstitusi tersebut sehingga tidak boleh ada ketentuan hukum yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 24 (C) UUD 1945. Penjaga konstitusi ini bertindak layaknya masinis dalam kereta api untuk memastikan kereta melaju sesuai relnya. Pun demikian dengan penjaga konstitusi di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam hal ini adalah hakim konstitusi harus seorang negarawan yang berintegritas untuk menghasilkan putusan yang berkeadilan untuk rakyat.Secara yuridis, proses rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diatur Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam pasal 4 dijelaskan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri dari 9 hakim konstitusi yang kemudian ditetapkan dengan keputusan presiden. Selanjutnya pada proses pengisian 9 hakim konstitusi tersebut ditentukan diatur pasal 18 yang menyebutkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diajukan oleh masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 oleh DPR, 3 orang oleh Presiden. Ketiga lembaga yang mengajukan hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut mencerminkan 3 kekuasaan dalam teori trias politika, dimana ujungnya adalah untuk terwujudnya pelaksanaan check and balances dalam setiap aspek ketatanegaraan.

Besarnya amanah yang dijalankan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia maka diperlukan juga para negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan secara kompehensif. Ditambahkan jika seorang hakim konstitusi harus memiliki integritas kuat guna menghasilkan putusan yang berintegritas pula.

Anomali Rekrutmen Hakim Konstitusi

Pada proses seleksi hakim konstitusi ada hal yang perlu disoroti yaitu terkait regulasinya dimana Undang-Undang Mahkamah Konstitusi  secara langsung melimpahkan pengaturan dalam tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi kepada lembaga yang mengusulkannya yaitu Mahkamah Agung, DPR dan Presiden. Namun sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 bahwa terkait dengan pengangkatan, syarat-syarat serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diatur dengan undang-undang. Adanya perbedaan dimana dalam UUD 1945 yang menghendaki suatu standar baku, sementara dalan undang-undang Mahkamah Konstitusi  menghendaki adanya fleksibilitas pelaksanaan. Akibatnya muncul ketidakpastian hukum yang berdampak pada proses perekrutan hakim konstitiusi. Harusnya ada harmonisasi dalam perumusan aturan terkait dengan seleksi hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sehingga Presiden, DPR dan Mahkamah Agung memiliki standar baku yang sama. Hal ini tentu akan berdampak pada hasil seleksi hakim tersebut. Maka diperlukan perbaikan hulu hingga hilirnya jangan saja hanya terkait masa jabatan tapi juga tahapan awal yaitu proses seleksi hakim konstitusi yang harus menjadi hal yang prioritas.

Upaya untuk menghadirkan hakim konstitusi yang berintegritas maka perlu adanya proses yang kompetitif dimana dengan proses tersebut dapat membentuk hakim konstitusi yang akuntabel dan kompeten. Jangan memilih hakim konstitusi berdasarkan kepentingan politik yang akan mempengaruhi independensi dalam memutuskan perkara.

Masih lekat diingatan dua oknum hakim konstitusi yang terjerat korupsi, yaitu Akil Mochtar yang mnerima suap untuk sengketa pilkada kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Patrialis Akbar yang menerima suap terkait uji material undang-undang nomor 41 tahun 2014 tentang peternakan dan Kesehatan hewan. Jika melihat perjalanan menjadi hakim konstitusi untuk kedua oknum ini, dimana Patrialis Akbar melalui mekanisme penunjukkan oleh presiden yang didasarkan pada usulan yang diajukan oleh Kementerian Hukum dan HAM yang merupakan lembaga pemerintahan yang pernah dipimpin oleh Patrialis Akbar. Sementara pada lembaga DPR, mekanisme pengajuan hakim konstitusi dilakukan dengan cara perpanjangan masa jabatan Akil Mochtar untuk periode kedua tanpa membuka pendaftaran calon hakim konstitusi. Maka dapat disimpulkan salah satu penyebab terjadinya suap di Mahkamah Konstitusi  tidak terlepas dari proses perekrutan yang diselenggarakan oleh tiga lembaga yang berwenang yaitu Presiden, DPR dan Mahkamah Agung tidak obyektif, akuntabel dan partisipatif.

Adanya kasus korupsi di lingkungan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dilakukan oleh oknum hakim konstitusi tentu merusak marwahnya sebagai the guardian of constitution dan berdampak pada terkikisnya kepercayaan publik terhadap putusan yang dihasilkan.

Koreksi dan Eksekusi

Dalam konsep rule of law dimana hukum memiliki kedudukan tertinggi di suatu negara. Di Indonesia sendiri pengaplikasian dari konsep ini dapat dilihat dari adanya pengakuan terhadap supermasi hukum dan konstitusi. Maka ikhtiar untuk megakkan konstitusi dibentukklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hadirnya lembaga ini bertujuan untuk batasan antara negara dan waga negara sehingga negara bukan lagi sebagai peran utama, namun negara bertindak sebagai wasit. Sehingga jika ada hak-hak warga negara yang tercederai karena peraturan perundang-undangan yang notabene adalah sebuah produk politik, maka warga negara dapat mempertahankan haknya dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Disinilah kedudukan negara telah bergesar dari pemain utama yang bertindak totaliter menjadi wasit atau penegah.

Dalam menjaga independensi dan integritas hakim konstitusi, harus dapat membatasi diri baik dalam menerima putusan dan dalam pergaulannya. Membatasi putusan yang dalam hal tidak menerima hal-hal berkaitan dengan permasalahan-permasalahan politik. Sebab pada dasarnya hakim konstitusi tidak boleh tersandera masalah politik serta tidak boleh berpolitik. Hakim konstitusi haruslah netral dan tidak memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu partai politik manapun.

Selain itu perbaikan haruslah dilakukan dari hulu ke hilir sehingga perbaikan tersebut dilakukan secara komprehensif. Dengan demikian diperlukan adanya standarisasi baku dalam rekrutmen hakim konstitusi yang menjadi pintu masuk untuk menghasilkan kualitas hakim yang memiliki integritas yang sama dan terlepas dari kepentingan politik. Standarisasi ini bertujuan untuk menyaring dan menilai calon hakim konstitusi secara objektif dan akuntabel. Sehingga akan ada harmonisasi aturan dalam seleksi hakim konstitusi bagi ketiga lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk memilih hakim konstitusi. Standarisasi ini dapat dilakukan dengan pembentukan panitia seleksi di setiap lembaga negara tersebut, dimana panitia seleksi dibentuk dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan pelibatan media massa untuk publikasi setiap tahapan. Sehingga terhadap prinsip dalam pengisian jabatan hakim konstitusi sebagaimana amanat UUD 1945 yaitu akuntabel, partisipatif, obyektif dan transparan dapat terpenuhi.

Menjaga marwah dan martabat jabatan hakim konstitusi yang agung sangatlah penting. Dengan demikian hakim konstitusi akan dapat menjalankan tugas dengan baik, serta tidak akan mendapatkan beban serta intervensi dari pihak lain. Pun menjaga integritas dan mematuhi kode etik hakim konstitusi sehinga putusan yang dihasilkan dapat memberikan keadilan substantif bukan berdasar pada penfasiran dangkal yang berujung pada putusan yang mencerminkan keadilan pragmatis. Putusan hakim konstitusi harus benar-benar menjadikan suasan di masyarakat menjadi saling mempercayai, dengan demikian sebagai timbal baliknya kepercayaan terhadap kinerja hakim juga akan semakin meningkat.

Perjalanan panjang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang telah menginjak seperlima abad tentu bukan hal yang mudah. Selain hal sebagaimana yang menjadi catatan di atas, banyak hal yang patut diapresiasi dalam perananya menjaga konstitusionalisme hukum negara. Dengan usia 20 tahun yang sudah matang ini, diharapkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terus berbenah untuk menjadi lembaga yang dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan lebih banyak lagi menghasilkan putusan-putusan yang berkeadilan untuk kepentingan rakyat.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun