Hari itu adalah akhir pekan, ya di hari Sabtu. Mata pelajaran di hari Sabtu adalah tahfizh, IPS, BK, dan SKI. Kebetulan kelasku mendapat jam kosong saat pembelajaran SKI.
    Saat itu, aku sedang duduk di sudut belakang kelas. Sibuk sendiri, sambil mencatat materi. Tiba tiba teman teman memanggilku.
    "Muthia...untuk kelas IX.B, kamu yang kulim ya?" Tanya salah satu temanku, entah siapa itu aku lupa orangnya.
    Aku yang sedari tadi sibuk sendiri, agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Sementara teman teman sibuk berdiskusi di meja depan. Tentunya membicarakan siapa perwakilan kelas untuk tampil pagi di depan.
    Aku pun berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut, "Jika aku bersedia, apakah aku mampu memberikan yang terbaik untuk kelasku? Jika aku menjawab tidak, maka hilanglah beban pikiran itu, tapi siapakah yang bersedia untuk mengantikanku?" Tanyaku dalam hati.
    Aku tidak yakin dengan diriku. Sebelumnya, aku juga tidak pernah tampil di hadapan banyak orang. Aku pun menolak tawaran tersebut.
    Aku pun mulai mencari teman, teman yang bersedia untuk tampil. Dan aku mengajukan agar Sarah yang tampil. Karena cara berpidatonya sangat bagus.
    Tidak hanya Sarah, aku juga mengajukan yang lain. Berusaha mencari teman yang mau menggantikanku untuk kulim. Tapi, tidak satu pun dari mereka yang bersedia.
    Akhirnya, teman teman tetap mendesakku agar aku yang tampil. Tapi diriku masih di balut oleh keraguan. Antara bersedia atau tidak.
    "Bagaimana kalau kulimnya berdua, teman?" Tanyaku kepada mereka, dengan tujuan jika salah atau lupa maka bisa saling mengingatkan.
    "Biasanya kalau kulim itu cuma satu orang, Muthia..."jawab salah satu temanku. Betul juga kata mereka.
    "Emm...kalau materi kulimnya tentang apa ?" Aku kembali mengajukan pertanyaan.
    "Terserah kamu, Mut.."jawab mereka.
   "Nanti aku bantu carikan materinya di google," kata Kiki.
   "Atau kamu bacakan saja tugas pidatomu yang dengan Buk Yus, Mut. Biar gak susah nyari nyari dan ngafal ngafal lagi," beberapa teman memberikan saran ini kepadaku.
    "Emm...boleh juga, tapi..." Aku masih saja ragu ragu.
    "Muthia...tadi kamu minta di temaninkan? Kamu di depan gak sendirian kok. Ada Kiki, Salwa, Tsabita, Aulya, dan teman teman yang lain," kata salah satu dari mereka, dan yang lain pun ikut mengiyakan.
   Mau bagaimana lagi ?? Akhirnya aku bersedia untuk tampil. Karena teman teman juga berusaha memberi bantuan dan dukungan kepadaku.
   Baiklah, aku tidak mau disebut pantang di harapkan. Aku berusaha untuk menyakinkan diriku. Mungkin ini adalah cara untuk menumbuhkan kepercayaan diriku.
   Aku memutuskan tema kulimnya, merosotnya akhlak siswa MTsN. Aku hanya akan membacakan tugas pidato bahasa Indonesia itu. Agar aku tidak perlu susah susah lagi mencari dan menghafal.
    Aku juga menanyakan tentang kulim itu ke beberapa temanku, dan mereka setuju. Mereka juga membantuku untuk meralat pidato itu agar lebih singkat dan tidak memakan waktu. Karena ini kulim, maka aku juga akan berinteraksi dengan penonton.
   Hari hari pun berlalu. Dan besok adalah hari Kamis, giliran IX.B untuk tampil. Baiklah, aku harus mempersiapkan diriku agar bisa memberikan yang terbaik.
    Sepulang sekolah, aku langsung mengerjakan tugas tugasku. Berniat agar ada waktu untuk mempraktekkan kulim tersebut. Tapi sialnya aku sudah kelelahan, dan alhasil tidak sempat mempraktekkannya.
    Keesokan harinya, dengan modal hanya hafalan dan tanpa di praktekkan aku pun berangkat ke sekolah. Aku datang lebih awal agar bisa mempraktekkannya. Tapi semuanya di luar rencanaku.
    Tiba tiba aku kehilangan kepercayaan diriku. Sekujur tubuhku mendingin dan gemetaran. Alhasil, belum juga di praktekkan aku sudah cemas duluan.
    Aku hanya mencoba untuk menenangkan diriku dan teman teman juga menyemangatiku. Ternyata teman teman yang akan tampil juga merasakan hal yang sama denganku. Maklumlah karena aku tidak biasa tampil di depan banyak orang.
   Pagi itu cuaca agak mendung, aku pun berdoa agar hujan turun. Supaya kami tidak jadi tampil hehehe....Tapi semakin kuat doaku agar hujan turun, hari pun semakin cerah dan matahari mulai muncul.
   Ya, takdir Allah memang tidak bisa kita rubah. Sebelum beranjak dari kelas, teman teman menyarankanku membawa teks kulim untuk berjaga jaga jika nanti aku lupa. Tanpa ku sadari, kertas itu tidak berbentuk lagi karena ku remas remas dengan tanganku saking groginya.
    Beberapa menit lagi kami akan tampil, tapi aku masih saja seperti orang ketakutan. Bel pun berbunyi. Akhirnya kami pun melangkahkan kaki ke luar kelas, menuju lapangan.
    Beberapa saat kemudian, kami pun di panggil untuk maju ke depan. Bismillah, aku berusaha meyakinkan diriku. Aku pun berjalan ke depan sembari menundukkan pandangan.
    Penampilan IX.B di buka dengan pembacaan ayat suci Al Qur'an oleh Aulya dan Tsabita. Setelah itu shalat jenazah oleh Habib dan Fakhri. Aku pun menyimak dan mengikuti penampilan mereka.
    Tibalah saatnya giliranku, ketika pembawa acara Kiki dan Salwa menyebutkan namaku. Aku pun menarik nafas panjang. Mengambil mikrofonnya, dan dengan terpaksa sedikit melangkah ke depan.
    Aku membukanya dengan ucapan salam. Dan aku juga berusaha untuk melihat ke arah penonton, ternyata semua mata tertuju kepadaku. Aku semakin grogi dan gemetaran.
    Baiklah, aku menarik nafas lagi. Di dalam situasi itu aku hanya bisa pasrah. Yang penting aku bisa menyelesaikan kulimku, walaupun rasanya isi kepalaku sudah hilang semua.
    Aku berusaha menyampaikan kulim tersebut. Berusaha menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Berusaha melihat ke arah penonton dan berinteraksi dengan mereka.
    Awalnya aku sangat gemetaran. Tapi aku tetap berusaha melanjutkan kulimnya. Lambat laun, aku merasa lebih santai dan tidak gemetaran lagi.
    Teman teman yang menonton juga memberikan tepuk tangannya. Mereka sangat heboh dan saling menyalahkan satu sama lain. Karena kulimnya to the point,  itulah pendapat dari teman temanku.
    Sebenarnya aku juga merasa ragu dan takut. Merasa heran kenapa teman teman yang menonton sangat heboh. Tapi Kiki memintaku untuk tidak terpengaruh dan tetap melanjutkan kulimnya.
    Sialnya, ketika di akhir akhir aku lupa isi kulimnya. Aku tidak ingin membuat penonton menunggu dengan membuka kertas yang sudah ku remas remas tadi. Alhasil, aku pun mengarang dan menyusun kata kata sendiri.
    Untungnya walasku, alias Bu Yus guru bahasa Indonesia tidak berdiri di sana. Bu Yus tau kalau anak anaknya semakin grogi jika di lihat. Tapi, di sebelah kanan juga ada kepala sekolah yang tersenyum kepadaku, itu juga membuatku senam jantung.
   "Alhamdulillah..." Aku bisa menyelesaikan kulim tersebut. Lega sekali rasanya. Sekarang beban itu sudah hilang.
    Penampilan IX.B di lanjutkan dengan hiburan. Kali ini di bawakan oleh Adit dengan lagu tobat maksiat. Dan di tutup dengan pembacaan doa oleh Azzurry.
    "Huuuuh..." Aku menghela nafas panjang. Senang rasanya bisa berjalan dengan lancar. Penampilan kelas IX.B pun sudah selesai.
    Kepala sekolah pun langsung memberikan komentarnya terhadap penampilan kelas IX.B. Beliau menyebutkan bahwa penampilan kelas IX.B sangat bagus. Dan di luar dugaan ku, ternyata beliau tertarik pada kulim yang aku bawakan.
    Di tambah lagi pembawa acara dengan dua bahasa. Lantunan ayat suci Al-Qur'an yang merdu serta pembawaan shalat jenazah. Hiburan dengan lagu tobat maksiat dan pembacaan doa.
    Kepala sekolah mengatakan itu semua adalah gabungan penampilan yang bagus. IX.B sudah sama sama mengingatkan kita. Menyadarkan kita untuk berubah ke arah yang lebih baik.
    Tanpa kami rencanakan, entah kebetulan atau bagaimana. Penampilan itu sepertinya saling berhubungan satu sama lain. Kami merasa sangat senang dan bangga karena mendapat reward dari kepala sekolah.
   Sebenarnya, ini semua di luar dugaanku. Awalnya aku hanya bisa pasrah dan menampilkan apa adanya. Tapi akhirnya penampilan kami berbuah amplop coklat.
    Ya, begitulah takdir Allah. Bahkan aku pun tidak pernah menyangka. Allah adalah sebaik baik pembuat rencana.
    Kepala sekolah pun memanggil walas kami untuk datang ke lapangan. Buk Yus pun datang dengan senyum lebarnya sembari menyambut para siswa. Kami pun berfoto bersama dengan latar belakang atap bertuliskan MTsN Padang Panjang.
    Kami merasa sangat bangga karena menjadi kelas pertama yang mendapat reward dari kepala sekolah. Ini semua berkat kerja keras teman temanku, dan tak lepas juga dari peran Buk Yus dalam pidatoku. Ini adalah pengalaman yang takkan pernah aku lupakan.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H