Terpicu oleh berita yang banyak wara-wiri di media akhir-akhir ini, tentang seorang anak dari pejabat perpajakan berinisial M yang hidup sangat berkecukupan namun sekarang berada dalam tahanan karena perilakunya yang melanggar hukum.
Perilakunya tersebut pula yang menyebabkan hilangnya jabatan sang ayah-sumber semua kemewahan hidup keluarga, juga membongkar sisi gelap dunia perpajakan di negeri ini, yang membuat kasus ini menjadi viral.
Andaikan benar bahwa uang bisa membeli segala yang dibutuhkan manusia, maka timbul pertanyaan bahwa jika semua kebutuhan hidup M sudah terpenuhi, mengapa ia masih juga mencari kepuasan lain dalam hidupnya dengan cara menganiaya orang lain.Â
Lalu bagaimana psikologi memandang hal ini?
Dalam psikologi, kebahagiaan dikaitkan dengan rasa puas. Rasa puas didapatkan dari terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan. Piramida kebutuhan Maslow meletakkan kebutuhan dasar biologis (makan, minum, istirahat,dll) di bagian piramida yang paling bawah. Yang secara berurutan kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan akan rasa aman, cinta atau kasih sayang, penghargaan dan yang paling puncak adalah aktualisasi diri. Dengan uang, maka kebutuhan biologis akan lebih mudah didapatkan sehingga manusia mengasosiasikan uang menjadi sesuatu hal yang rewarding, bernilai positif.Â
Beberapa riset mengenai kaitan antara tingginya penghasilan dan kebahagiaan memunculkan hasil yang beragam. Penelitian terbaru dari Killingsworth (2021) yang mengambil sampel warga negara Amerika Serikat yang memiliki pekerjaan menemukan bahwa penghasilan berbanding lurus dengan well-being (baik penilaian individu mengenai kepuasan akan hidup secara keseluruhan maupun emosi dalam keseharian), semakin tinggi penghasilan, maka well being juga semakin meningkat.
Namun, penelitian lain oleh Howell (2013) menunjukkan bahwa  seiring berjalannya waktu, kepuasan yang dimunculkan dari uang untuk memenuhi kebutuhan biologis dan kebutuhan akan rasa aman semakin berkurang.
Hal ini dapat dijelaskan dengan pendekatan neurologis, dimana manusia akan mengalami fase habituation, yaitu ketika stimulus/reward diberikan secara terus menerus maka akan menimbulkan penurunan respon atau kejenuhan. Sehingga ketika sesuatu yang baru datang, hal itu dianggap lebih menyenangkan. Ini menjadi dasar pemahaman mengapa manusia menjadi selalu tidak puas akan apa yang sudah dimiliki.
Penelitian lain yang cakupannya lebih luas dilakukan oleh Bain dan Bongiorno (2022) di 33 negara yang berusaha menjawab pertanyaan adakah batas dari keinginan manusia, menemukan bahwa batas keinginan manusia ternyata berbeda-beda, tergantung pada usia, daerah tempat tinggal, keinginan untuk memiliki kekuasaan, keinginan untuk dapat mandiri, sukses dan tinggal di negara yang warganya memiliki kesamaan cara pandang, menerima adanya perbedaan kekuatan/status.
Dapat disimpulkan bahwa kecenderungan manusia untuk memiliki keinginan yang tidak terbatas dihasilkan oleh proses belajar hasil bentukan budaya masyarakatnya.Â
Sebenarnya kasus M hanyalah satu dari banyak contoh-contoh nyata dalam masyarakat yang membentuk pola pikir kita untuk menilai segala sesuatu dari 'harganya'.