Tangan kakek untuk cucunya. Ya itu judulnya. Malam kian berlari menjemput senja. Tak sabar menunggu gilirannya menetap bersama semesta. Deru berisik dari suara langkah kereta. Dan padatnya penumpang kereta kala senja hampir pergi sempurna.Â
Di mana aku berdiri bersama kerumunan penghuni isi kereta. Menjadi pemandu untuk dua orang hebat dalam menjelajahi kota Bogor dan Depok hari ini.
Awalnya, aku sama seperti yang lain. Diam membisu tanpa senyum menunggu kereta berhenti di tempat yang menjadi tujuan. Tanpa bicara. Mataku sibuk berkeliling ke semua sisi kereta. Memandangi beberapa hal untuk membantu senyum datang menemani sesaknya kereta ini.Â
Seorang ibu yang tertidur, remaja laki-laki yang menyender pojokan kereta, petugas keamanan yang tegap berdiri, seorang bapak dengan headset dan handponenya, seorang pelajar dengan buku-bukunya, dan beberapa hal lainnya. Namun semua hanya kekesalan karena tak ada keceriaan. Hanya lesu tanpa jeda. Kusut termakan angin. Agaknya. Sore hari adalah pemandangan yang melelahkan dalam kereta apa ini.
Hingga kedua mata ini terhenti akan sebuah layar kecil di depan pintu ruang sebelah kereta pas tempatku berdiri. Wahh, sangat memanjakan mata. Di mana tawa seorang anak kecil yang menikmati guncangan kereta sambil duduk di atas sebuah kardus kecil.Â
Sambil mengayunkan kedua kakinya. Berbicara riang. Seorang kakek membentang sebelah tangannya. Menjaga posisi cucunya tetap nyaman dan aman terjaga. Beberapa kali kakek itu tersenyum sambil mengelus kepala sang anak perempuan tadi. Indah bukan. Bahkan aku tak ingin melewatkan momen ini.
Selang beberapa detik. Anak kecil itu berdiri. Aktif bergerak seperti anak kecil umum lainnya. Berpindah tempat. Dan berjalan kecil ke arah pintu kereta. Sambil melompat-lompat ingin menggapai kaca dan melihat pemandangan senja. Dia tak tahu seberapa besar ia melompat, tetap saja itu tinggi baginya.Â
Sang kakek berpindah dan ikut melangkah kecil. Mengikuti anak perempuan tadi. Lalu menggedongnya. Dia tertawa girang. Menyentuh kaca dan menunjuk segala hal yang ada. Sambil beberapa kali menatap kakeknya dan kembali fokus pada kaca pintu di depannya.
Terus seperti itu untuk beberapa menit kedepan. Mataku tak ingin beranjak. Aku bahagia melihatnya. Bosan melihat dan puas dengan rasa penasarannya. Lalu anak kecil itu turun dari gendongan kakeknya. Berdiri pas di depan sang kakek. Tingginya pun tak sampai selutut sang kakek.Â
Tangannya melingkar memeluk kaki itu. Meski tak sempurna memeluknya. Kakeknya pun tersenyum dan balas memeluk pelukan kecil tadi. Sebelum ia kembali duduk di atas kardus kecil miliknya. Dengan merasa aman oleh kedua tangan kakeknya. Dan kembali terdiam di tempat dengan beberapa obrolan ringan.Â
Tak terdengar apa yang mereka bicarakan. Namun menyaksikannya cukup membuatku mengerti. Bahagia itu kesederhanaan yang tulus tergambar tanpa terdeteksi. Jika di perhatikan kau pun akan mampu merasakannya.#_stasiunmanggarai/28/6/22