Dan takdir siapa yang bisa menebak????
Pagi ini Lia berdoa khusyuk dalam sholat dhuhanya. Matanya memejam memohon pada Sang Khalik saat matahari seolah mulai merangkaki bumi menuju puncak. Air matanya menitik di atas pipi kuning langsatnya. Lirih ia menutup doanya "semua kuserahkan pada Engkau Ya Allah… Hamba yakin Engkau akan memberikan yang terbaik pada Hamba”. Lalu ia bersujud khidmat. Penuh akan permohonan. Aku pun iri padanya. Sepenangkap ku, tulus sekali Ia mencium bumi untuk memujiNya. Aku pun ingin, tapi aku tak bisa.
Sajadah birunya dilipat kecil dan disangkutkan ke jendela kayu yang dibuka lebar.
“Biru...." panggilku. “apa yang diceritakan padamu hari ini?” tanyaku pelan, seolah Lia bisa mendengar kami atau mungkin didengar sang angin dan entah ke ujung dunia mana akan dihembuskan.
“Banyak hijau…"
“Iya apa?"
“Hmm… mana boleh kuceritakan padamu. Ini kan rahasia Lia"
“Bukankah kita teman dan selalu mendoakan Lia yang terbaik?”
“Ya Rabb ampuni aku jika ini temasuk mengumpat"
“Lucu sekali kamu Biru... kita tidak mengumpat Lia. Kita berbagi cerita Lia agar aku juga tahu apa masalahnya sehingga kita bisa sama-sama mendoakan agar dia dimudahkan urusannya"
“Iya juga sich.."
“Jadi apa?
“Ceritanya.. Lia sebentar lagi kan sudah selesai SMA. Ternyata sudah ada yang akan menjadikan dia calon istri.”
“Hah???... Ya… kan bagus ketimbang kayak anak-anak sekarang pacaran ga keruan. melanggar syariah."
“Tuch kan.. makanya dengar dulu.."
“iya lanjutkan.."
“Ah macam SBY saja kau.. Lanjutkan!.. lanjutkan penderitaan rakyat???"
“Biru..Biru.. bisa saja kau.. ayo cepat ceritakan!"
Lia belum mau menikah.. Lia masih ingin sekolah. Menurutnya dia masih bertanggung jawab untuk membahagiakan orang tuanya dulu, membantu mereka untuk membiayai sekolah adik-adiknya . Bukan membahagiakan diri sendiri…”
“Subhanallah mulianya anak itu… terus kenapa tadi dia menangis tersedu-sedu?”
“Nah itu dia... ceritanya sang calon yang mau melamar Lia itu sudah punya istri dan satu anak.."
“Berarti sudah tua dunk..?”
“Ya.. kan aku ga tahu! ga pernah liat orang nya.. tapi menurut yang digambarkan Lia masih muda. 27-an mungkin. Mapan dan kaya.. Dulu katanya Ia nikah muda karena…”
“Karena apa?”
“Kecelakaan akibat rayuan setan.. ituuu lhooo... "
“Astaghfirullah... masa orang tua Lia mau menikahi putrinya dengan pria macam itu…?”
“Itu juga masalahnya Jau… Ternyata orang tua Lia berhutang budi banyak pada orang tua si pria dan pria itu sendiri… Nah aku ingat namanya Adam… Jadi orang tua Lia tidak bisa menolak gitu..hmm.. mungkin... terus yang aku dengar dari pembicaraan ibu Lia tadi malam waktu meyakinkan Lia, kecelakaan itu bukan karena Adam tapi karena sengaja difitnah istrinya itu.. gitu...”
“Ya… biar gimana pun kan tetap aja dia sudah beristri dan punya anak lagi… Bagaimana nasib mereka nanti…?
“Itulah manusia Jau.. terlebih pria.. selalu saja tidak puas, seolah-olah kesalahan selalu ada di pihak perempuan…”
“Kasian Lia ya Biru..”
“Iya Jau…”
“Ayo kita sama-sama berdoa untuk Lia…” Biru pun mengiyakan.. perbincangan kami dilanjutkan hingga matahari mulai menggantung di ufuk. Semburat senja mulai memenuhi bumi. Jingga memenuhi kamar Lia kini…
Lia datang. Dipandanginya senja dari jendela tempat Ia menggantunggkan si Biru. Biru yang sudah pulas sepertinya tidak menyadari kalau Ia sudah dipindahkan. Wajah Lia kuyu. Diangkatnya kedua tangan dan mengucap doa lirih. Seperti yang pernah kudengar bahwa saat matahari akan terbenam adalah salah satu waktu maqbul.
“aminn…”aku turut mengaminkan doanya. Dia menatap ku . Sesaat aku tersenyum, Ia juga tersenyum. Entah Ia bisa merasakanku, matanya menatap burung-burung di langit kini, yang terbang pulang ke sarang. Ia menatap senja lagi, wajahnya berubah pilu. Aku menatapnya lekat-lekat sebelum jendela akhirnya ditutup. Aku pun menatap senja yang kini mulai hilang. Aku tertidur sepanjang malam sebelum akhirnya tangis sesengukan terdengar menjelang pagi.
***
Kali ini jendela di buka lebih pagi. Mata Lia sembab lagi. Dia menghirup udara segar pelan. Melihat dada yang gembung aku tahu dia menahannya sebelum akhirnya dia melepaskannya perlahan. Pagi-pagi Lia sudah rapi dan sudah membereskan kamarnya. Seperti biasa, Si Biru kembali digantungkan ke jendela. Ia sudahlusuh tapi begitu harum..
"Biru.. Biru.. Biru.." panggilku pelan. Aku tahu dia masih tidur. Langkah Lia tertahan lalu menatapku. ya Rabb jangan bilang Ia bisa mendengarku. Ia mendekat. Ditatapnya aku lekat. Lia tersenyum.
“burung yang cantik" bisiknya.
Huuufft... ternyata bukan aku yang dilihat Lia, tapi burung di belakangku. Benar kata Lia. Dia memang menawan. Entah apa namanya. Sayapnya kuning bercampur biru. Suaranya merdu, kalo iya mengepakkan sayapnya maka akan terllihat jelas warna sang burung. Lia beranjak. Sang Burung pun terbang. Dasar burung. Kau pun mencitainya.
“Biru...” panggilku lebih keras sekarang
“Eh.. iya. iya.. iya Lia.. aku disini"
“Hush… bukan Lia"
“Beuughh.. kamu Jau. Bikin orang kaget saja...”
“Habisnya hari gini baru bangun.. untung kamu ga usah makan jadi rejekimu ga bakal di makan burung.."
“Hehehe… Itulah untungnya jadi aku.. Membantu orang menuai surga.. btw ada apa nich pagi-pagi bangunin Gue?"
"Biru itu bahasa dapet dari mana? perasaan Lia ga pernah ngajarin yang begituan.."
"alam yang menceritakannya padaku.."
"dasar.. Biru ayo ceritakan lagi..."
"apa?"
"yang semalam. Aku mendengarkan Lia lagi.."
"ah kau Jau.. dengar saja kau suara si Lia.."
"ya iyalah biru.. siapa yang tidak jatuh cinta pada wantia seanggun itu.. 1 di antara sejuta.."
"haha.. gombal juga kau rupanya.. semalam itu ibu Lia kembali memaksa..tega sekali iya pada putrinya.."
"ga tahulah Jau..mungkin dia juga di tekan"
"entahlah.. Allah maha tahu.. lalu?"
"kata ibunya, kalo memang Lia mau melanjutkan kuliah nanti setelah menikah juga bisa. 'Mas Adam sudah bilang ke Ibu, kalo Lia bersedia menjadi istrinya semua biaya kuliah Lia akan ditanggung. lagi pula nak.. kalo pun kami yang membiayai kuliah kamu, uang dari mana, adik-adikmu juga masih butuh sekolah' gitu katanya..."
"dasar ibu.. matre juga ya rupanya..."
"mungkin menurutnya itu yang terbaik bagi putrinya"
"tapi bukan yang terbaik bagi istri si Adam kan?"
"iya juga ya Jau.. tapi kok kamu jadi marah-marah ke aku..?"
"maaf-maaf kebawa emosi lanjutkan"
"kamu simpatisan SBY ya? lanjutkan mulu.."
"iya terusin bawel.."
"Lia juga bilang gitu, gimana sama istri si Adam itu. Dia nggak tega. 'Coba bayangin kalo Lia yang ada di posisi istri Mas Adam bu' katanya pelan memohon pengertian si ibu.."
"trus ibunya bilang apa..?"
"dasar si ibu.. katanya kalo Lia ga suka, Adam bisa menceraika istri pertamanya... Lia marah-marah... 'nggak segampang itu bu.. ibu juga wanita kenapa nggak mencoba mengeri perasaannya istri mas Adam... Lia juga belum mau nikah bu. Ada ibu, ayah dan adik-adik Lia yang masih harus Lia bahagiakan..' trus ibunya diam sebelum keluar si ibu bilang, 'menikah dengan Adam sudah cukup membuat orang tua mu ini bahagia. Lia... kita masih bisa menyambung hidup juga karena bantuan Adam dan keluarganya'
belum selesai ibunya ngomong Lia nyambung 'Bu.. rejeki itu dari Allah Bu...'
trus ibunya nyambung lagi 'Adam perantaranya dan sekali ini Adam meminta kamu untuk dinikahi sudah cukup bagi kami untuk tidak menanggung beban hutang budi seumur hidup kami. Kalo kamu mau kuliah, menikah dengan Adam. Itu satu satunya jalan'.
Lia ngelanjutin, Astahgfirullah.. ibu ini.. kebangetan.. masih ada 1001 cara dari Allah kalo Ibu mau meminta..' Entahlah Jau.."
tiba-tiba Lia datang. Kami bergeming. Wajahnya begitu sumringah dan terus bertahlil. Belum pernah aku melihat semburat merah jambu dari pipinya belakangan ini.
"husstt... Biru ada apa?"
Biru menggeleng tidak tahu. Lia bersujud di lantai yang tak beralas. Aku menguping.
"Trimaksih ya Allah akhirnya Engkau menunjukkan jalanMu bagi hamba".
Dia mendekati jendela. "Kalian tahu... aku dapat beasiswa S1 penuh".
Dia membagi ceritanya pada kami. Dia begitu yakin kalo kami benar-benar bisa mendengarnya. Lia menggeser si Biru dan duduk di ubin jendela yang memang rendah. Lia melanjutkan ceritanya entah kepada siapa.
"Aku bahkan lupa kalo aku pernah mengikuti kompetisi beasiswa Pemda. Begitu banyak hal yang harus kupikirkan terebih masalahku belakangan ini. Bukannya aku pesimis.. tapi saingan ku orang-orang hebat yang terpilih disetiap kabupaten yang hanya membawa pelajaran dalam otaknya. dan aku sama sekali kalut saat itu. Tapi Allah berkata lain. Iya menjawab doa-doaku. Trimaksih Rabb. Kalian tahu, Aku mendapat beasiswa penuh. Aku tidak akan menyusahkan orang tuaku lagi dan besok aku akan ke propinsi untuk mengurus beberapa hal. Baik-baik ya selama aku pergi". Ia pun berlalu.
Aku dan Biru saling menatap.
"Alhadulillah ya Rabb" Koor kami berbarengan. Lia seketika berbalik menatap kami. Ooopss.... Dia mengerutkan kening sejenak dan berlalu.
Hufftt... Untung saja.
Senja lebih cerah hari ini. Mungkin Ia pun bahagia. Malam pun menjemput saat ku akan tertidur sayup-sayup aku mendengar keributan kecil
" Ibu dan Ayah kenapa sih? Kenapa seolah-olah Ibu dan Ayah yang begitu menginginkan Lia menikah dengan Adam? Apa sebenarnya yang Ibu dan Ayah inginkan? Jangan katakan Ayah dan Ibu menginginkan kemudahan yang lebih jika nanti Lia menikah dengan Adam. Kecewa Lia Bu, Yah.... Harusnya bangga sama Lia. Kalian mendukung Lia...." suara Lia berat, antara ingin menangis, kecewa, dan kesal. Ingin dia melepaskan kemarahannya tapi yang dihadapinya adalah ornag tuanya sendiri. Tidak mungkin Ia berlaku kasar. Kekesalannya tak bisa diredam lagi. Iya berlari dan bisa kudengar pintu kamarnya ditutup sekuat tenaga.
" Kami hanya menginginkan keselamatanmu dan kebahagiaanmu Lia". Suara si Ayah menggelegar.
***
Pagi-pagi sekali lia sudah rapi. Dia manis di balik kerudung pink pudarnya, bajunya bermotif bunga-bunga kecil yang senada. Rok jeans lebarnya berwarna lebih gelap hampir sama dengan salah satu warna bunga di bajunya. Sekali lagi Ia menatap cermin. Andai Ia bisa mendengarku akan kubilang 'Kau cantik sekali nona manis..."
Ia mendekati jendela. " Doakan aku. Hari ini Aku mau daftar ulang beasiswa ke Pemda serta memilih PTN dan jurusan. Semoga bisa tembus PTN bagus dan jurusan yang ku inginkan. Aku ingin maju demi Agamaku yang kian tertinggal, Desa dan Bangsaku" Dan Kami serentak mengaminkan. Ia pun berlalu dengan senyum manis yang ditinggalkan untuk kami.
aku mulai berpikir, sejuta Pria yang lebih baik pun rela menunggu Lia. Kenapa orang tuanya begitu menginginkan Lia menikah dengan Adam. Hari-hari pun berlalu begitu saja tanpa Lia. Si Biru teronggok di kasur. Ibunya hanya datang waktu pagi untuk membuka jendela dan sore menutupnya. Hari ini lebih lama di kamr lia. Foto putrinya di atas meja diangkat mendekati wajahnya.
"Maafkan kami nak.... Kami hanya tidak ingin melihat kamu dilukai..... Adam mengancam kami akan melakukan hal tidak baik padamu jika kamu berani menolak. Dia juga akan berlaku sama pada usaha Bapakmu. Terkadang orang kaya itu memang kejam. Seoalah bisa mereka beli semua dengan uang. Jujur Ibu tidak rela nak... Sama sekali tidak..." didekapnya erat foto Lia dan bulir-bulir hangat air mata mengenangi pelupuk matanya dan akhirnya jatuh ke pipi yang mulai mengerut karena usia. Dan mengertilah aku sekarang. Benci mulai menyelinap dalam diriku untuk Adam.
***
Sudah tiga hari dan ini yang ke-empat. Kapan Lia akan pulang? Aku begitu merindukannya. Jendela di buka...
Oh Lia, akhirnya kau pulang juga. Wajahnya begitu bahagia. Seperti biasa, pagi-pagi begini, zikirlah yang melantun dari bibirnya. "Oh Putri, Kau kembali" ucapku. Tentu saja dalam hati. Tapi dia sedikit aneh kamarnya di pandangi begitu lama. Setiap sudut, setiap barang-barang yang ada. Ditatapnya keluar jendela sejauh mata memandang. Tak ada yang dilewatinya.
"Teman-teman..." Begitu iya memaggil kami. Ia melanjutkan
"..seminggu dari sekarang, Aku akan meninggalkan kalian semua. Orang tuaku, adik-adikku, rumahku dan kalian semua. Aku bahagia dan bersyukur kepada Allah telah menjawab doa-doaku jauh lebih besar dari yang Aku pinta. Aku lulus PTN terbagus se-Indonesia di Jawa dan kalian tahu jurusan yang ku ambil ? Planologi, ilmu tata kota. Aku akan menjadikan kota-kota kita lebih indah dari Prancis, nyaman, tentunya sangat religius dan penuh warna budaya. Tidak semeraut seperti sekarang". Lalu Ia tersenyum, larut dalam hayalannya sendiri.Tiba-tiba wajahnya sedih. "Ada yang ingin kuceritakan pada orang tuaku, semoga mereka tidak akan memaksaku setelah ini". Aku tidak paham apa maksudnya.
Ia mengambil beberapa lembar foto dari dari tas yang dibawanya kemarin. Bulan purnama indah di langit sana. Punguk mungkin tengah menatapnya sekarang. Aku mendengar suara dari dalam rumah.
"Ayah, Ibu, Alhamdulillah Lia lulus PTN terbaik di Indonesia dan itu di Jawa. Lia ambil jurusan planologi atau ilmu tata kota". Dari suaranya, Aku bisa merasakan Lia begitu senang dengan kabar yang dibawanya tapi entah orang tuanya. Mungkin juga senang. Aku belum mendengar respon dari orang tuanya. Lia melanjutkan,
" Ada yang ingin Lia tunjukkan lagi kepada kalian". Responnya jauh dari yang kubayangkan.
" Masya Allaaah... " Ayah Lia histeris. "Pria macam inikah yang aku paksakan untuk menikahi anakku. Pria keji. Astaghfirullah Adam. Dia benar-benar telah melanggar norma Agama".
" ini kan bukan perempuan halal baginya" kemudian Aku bisa mendengar isak tangis ibu.
"maafkan Ibu Nak... Ibu tidak pernah tahu kelakuan Adam yang sebenarnya. Ia begitu halus di depan kami. Kami tidak menyangka, ternyata main perempuan hobinya"
Ayahnya sekarng yang bersuara. "Ayah malu pada mu Nak. Maafkan Ayah.. Ayah tidak tahu kalo itu watak aslinya.
"Ayah dan Ibu tidak perlu minta maaf. Wajar kalo kalian tidak tahu. aksinya bukan d isini tapi di luar kota. Alhamdulillah Lia ke sana untuk mengurus beasiswa. Allah menunjukkan kepada Lia siapa sebenarnya Adam. Lia sudah feeling sebelumnya. Waktu itu lia melihatnya, Lia juga hampir tidak percaya. Tapi itu lah kenyataannya.. dan Lia bahagai Allah menyayangi Lia. Sengaja foto ini diambil bukan untuk menyebarka aib, tapi sebagi bukti untuk Ayah sama Ibu.
"Mana fotonya Lia. Ini belum terlalu larut untuk membatalalakn semuanya".
"Membatalkan apa Yah?" suara Lia penasaran.
Pelan dan dipenuhi rasa malu Ayah lia menjawab, "besok mereka akan datang untuk melamar kamu.."
"Astaghfrullahh..." ucap Lia tidak percya..
***
Sepertiga malam Lia melakukan hal yang sma. Shalat malam yang sangat jarang Ia tinggalkan. Malam ini Ia menangis. bukan karena sedih tapi bahagia yang tidak bisa diartikan. Terlebih semalam Ayahnya pulang dari rumah Adam dan membawa berita baik. Acara lamarannya batal untuk hari ini dan sampai kapanpun.
"Tak ada apapun yang bisa hamba lakukan untuk membalas semua pemberianMu Rabb... Tinta sebanyak air laut dan kertas sebanyak daun yang ada di muka bumi ini pun takkan cukup untuk menuliskan setiap nikmat yang Engkau beri kepadaku, dan kepada kami... Rabb hanya syukur yang terus bisa hamba ucapkan serta taqwa hamba padaMu... Bimbing kami pada jalanMu, jalan menuju tempat dimana kami bisa bertemu denganMu. Rabbana atina fiddunya hasanah wa bil akhirati hasanah wa qina azabannnar..."
Aku pun ikut mengaminkan doamu sayang.
Suara Lia diganti dengan derap langkah yang begitu pelan. Pelan sekali hingga aku pun luput mendengarkannya. Matanya celingak celinguk menatap sekitar. Dia pria, tinggi dan atletis. Dibalik remang-remang lampu teras samping aku bisa melihat wajahnya yang tampan. Siaya dia batinku, "inikah adam?"