Mohon tunggu...
Ali Mutasowifin
Ali Mutasowifin Mohon Tunggu... pegawai negeri -

just an ordinary teacher

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Profesor Bukan Gelar Akademis

9 Februari 2010   22:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:00 4001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_71334" align="alignleft" width="300" caption="google.com (original source cannot be traced)"][/caption]

Setelah mencuat kasus dugaan plagiarisme seorang profesor di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, istilah profesor menjadi sering disebut. Beberapa artikel ditulis oleh kompasianer yang juga mengundang tanggapan yang meriah.

Kesalahan penting yang sering dituliskan oleh para kompasianer dalam artikel maupun komentarnya adalah anggapan profesor sebagai gelar akademis tertinggi di sebuah perguruan tinggi. Anggapan ini jelas salah, karena gelar akademis tertinggi adalah “doktor”, yang akan diperoleh seseorang bila telah menamatkan pendidikan strata 3, sementara tak ada satu pun perguruan tinggi yang akan memberikan gelar “profesor” kepada mahasiswanya yang telah menyelesaikan sebuah jenjang pendidikan.

Guru besar atau profesor sesungguhnya adalah jabatan fungsional dosen. Dalam dunia akademis di Indonesia, dikenal empat jenjang jabatan fungsional yang bisa diraih oleh seorang dosen, yakni:

  • Asisten Ahli;
  • Lektor;
  • Lektor Kepala;
  • Guru Besar.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Butir 3, menyebutkan bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Ketentuan ini menguatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 23 Ayat (2) yang mengatur bahwa sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Apabila pada masa dahulu banyak dosen yang hanya bergelar akademis magister (S2), bahkan sarjana (S1) bisa menjadi guru besar/profesor, maka sejak 2007 hanya mereka yang berkualifikasi akademik doktorlah yang bisa menjadi profesor. Perubahan aturan ini mudah dipahami, karena profesor inilah yang memiliki kewenangan untuk membimbing calon doktor.

Meski barangkali masih kalah dibandingkan praktik di luar negeri, penghargaan dan perhatian terhadap kesejahteraan profesor di Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik. Berdasarkan UU Guru dan Dosen, setiap bulan setiap profesor berhak memperoleh tunjangan kehormatan yang besarnya dua kali gaji pokok. Karena setiap profesor juga otomatis dianggap telah bersertifikat pendidik dan berhak memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok, maka setiap bulan seorang profesor akan memperoleh tambahan tunjangan yang berjumlah total tiga kali gaji pokok.

Selain itu, bila seorang dosen biasa yang berjenjang jabatan akademis hingga lektor kepala harus pensiun pada usia 65 tahun, seorang profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya hingga 70 tahun. Akan tetapi, tentu saja, segala fasilitas dan penghargaan tersebut tidak diberikan dengan cuma-cuma. Menurut aturan, seorang profesor memiliki kewajiban khusus untuk menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat. Sesungguhnya, bila kewajiban ini dilaksanakan dengan konsekuen, niscaya akan terbit buku-buku dan karya-karya ilmiah yang akan juga mampu mengangkat peringkat perguruan-perguruan tinggi Indonesia di tingkat dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun