Mohon tunggu...
Musyfiqul Khoir
Musyfiqul Khoir Mohon Tunggu... -

Pemerhati Sosial Media dan Komunikasi Poltik

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membedah Komunikasi Politik SBY

3 April 2014   03:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:09 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Salah satu kajian yang menarik dikaji pada studi ilmu komunikasi saat ini adalah komunikasi politik, apalagi beberapa hari lagi tepatnya pada tanggal 09 April 2014 kita akan menggelar pemilihan umum (Pemilu) legislatif. Pada bulan berikutnya akan menggelar pemilihan umum (Pemilu) presiden, di mana Indonesia akan kembali menentukan pemimpin untuk melanjutkan estafet kepemimpinan sosok Presiden SBY-Boediono.

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menemukankomunikasi politik, karena komunikasi selalu ditemui di belahan dunia manapun.McNair (2003) dalam An Introduction to Political Communication, mendefenisikan komunikasi politik sebagai “purposeful communication about politics”. Hal tersebut meliputi: Pertama, semua bentuk komunikasi yang dilakukan para politisi dan aktor-aktor politik lainnya dengan maksud mencapai tujuan tertentu. Kedua, komunikasi politik ditujukan aktor-aktor politik kepada aktor-aktor non-politisi, seperti pemilih (voter) dan kolumnis surat kabar. Ketiga, komunikasi tentang aktor-aktor tersebut, dan kegiatan-kegiatan mereka, seperti termuat dalam berita, editorial dan bentuk-bentuk media lainnya mengenai politik.

Dalam kali ini saya mencoba untuk membedah komunikasi politik sosok Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, kenapa saya memilih SBY ? karena hemat saya ada dua aspek penting dalam diri SBY yang menarik dikaji dalam kajian komunikasi politik. Pertama, SBY dilahirkan di tanah Jawa yang lebih menekankan pada komunikasi budaya konteks-tinggi (high context culture). Sedangkan yang kedua adalah latar belakang pendidikan SBY sebagai militer yang lebih menekankan kepada komunikasi budaya konteks-rendah (low context culture). Kedua aspek penting ini yang mengantarkan SBY menjadi Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia selama dua periode.

Budaya Konteks Tinggi

Prof. Deddy Mulyana, M.A, Ph.D. dalam bukunya komunikasi politik, politik komunikasi mengatakan bahwa budaya konteks-tinggi ditandai dengan komunikasi konteks-tinggi yang makna pesannya samar. Maka terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan. Orang boleh jadi mengajukan pertanyaan atau memberikan jawaban, tetapi makna sebenarnya terdapan dalam konteks (budaya) orang-orang yang bersangkutan, bukan pada pesannya sendiri. Maka dalam budaya konteks-tinggi ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna. Orang dalam budaya konteks-tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tak terucapkan.

Seperti halnya terjadi pada diri SBY ketika mendapat persoalan SMS (Short Message Service) dan BBM (BlackBerry Messenger) gelap yang menyerangnya pada 28 Mei 2011 yang mengaku sebagai Nazarudin dengan bunyi, “Demi Allah, saya M Nazarudiin telah dijebak, dikorbankan, dan difitnah. Karakter, karier, masa depan saya dihancurkan. Dari Singapore saya akan membalas”. Pada waktu itu SBY tetap sabar dan terus melakukan introspeksi terhadap persolaan tersebut karena bagi SBY segala hal kritik fitnah laksana obat. Ketika obat itu benar, sesuai dengan peyakit, dan dosisnya tepat, itu bikin sehat. Tetapi kalau obat keliru, dosis tak tepat, malah menambah penyakit.

Daniel Sparingga sebagai Staf Khusus Presiden bagian Politik, menegaskan,“SMS penuh tudingan tak berdasar ini sangat baik bagi sebuah dorongan yang lebih besar untuk tetap rendah hati dan berbuat lebih banyak lagi untuk kebajikan. Lebih penting dari semua itu, negeri ini memiliki banyak persoalan serius dan Pak SBY adalah pribadi serius yang diperlukan negeri ini. Tidak satupun SMS semacam itu akan mengalihkan perhatian SBY dari hal-hal serius (detikcom, 29/05/2011).

Budaya Konteks Rendah

Namun disisi lain SBY juga memiliki komunikasi konteks-rendah karena latar pendidikan SBY di Akademi Angkatan Bersejata RI (Akabri), sehingga dibentuk dalam dirinya komunikasi sangat disiplin, tegas dan berani. Levine dan Adelma, (1993) mengatakan bahwa komuniaski budaya konteks-rendah sangat berbeda dengan budaya konteks-tinggi, budaya konteks-rendah sibuk dengan spesifikasi, rincian dan jadwal waktu digunakan langsung dan lugas.

Sebagai salah satu contoh bahwa SBY juga memiliki komunikasi budaya konteks-rendah ketika SBY mengambil keputusan merunkan subsidi dan menaikkan harga BBM. karena menurut SBY bahwa subsidi BBM yang selama ini dimaksudkan untuk menolong rakyat ternyata salah alamat dan salah sasaran. Untuk SBY sebagai presiden berani dan tegas mengambil resiko demi kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Untuk itu, SBY dikategorikan sosok yang memiliki budaya komunikasi konteks menengah (yang merupakan perpaduan antara komunikasi konteks-tinggi sebagai orang jawa dan konteks-rendah sebagai meliter). Perpaduan komunikasi antara konteks-tinggi dan konteks-rendah dalam diri SBY inilah yang terus mengantarkan Indonesia konsolidasi dalam demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun