Kubiarkan embun mencium lembut pipi ranum daun-daun. *LFA
Intro dulu
Kembali. Setelah kita sudah mengupas puisi berjudul Tamu karya Syahrul Chelsky sampai botak, mari saya ajak kamu untuk mengapresiasi puisi yang lain. Puisi yang akan kita bahas kali ini berjudul Pada Suatu pagi, karya Lilik Fatimah Azzahra.
Nama Lilik Fatimah Azzahra, apakah kamu kenal siapa dia? Sama. Saya juga tidak kenal. Tetapi dari hasil investigasi, diketahui bahwa beliau adalah seorang sastrawati handal yang rutin menelurkan karya sastranya di situs Kompasiana.Â
Melalui akun Kompasiana miliknya, kita bisa mengetahui Lilik Fatimah Azzahra, untuk selanjutnya kita sebut saja LFA merupakan seorang emak-emak. Maka, dalam mengobrolkan puisi Pada Suatu Pagi miliknya ini, kita perlu berhati-hati, takutnya beliau sensi seperti sifat emak-emak pada umumnya. Jadi main aman saja, ya.
Tetapi walaupun begitu, dalam melakukan pembedahan ini kita harus tetap jujur. Jika puisi Pada Suatu Pagi ini bagus, ya bilang bagus. Jika jelek, jangan bilang jelek. Bilang aja kurang bagus. Sepakat? Oke.
Bedah Puisi Pada Suatu Pagi
Kita mulai acara pembedahan ini dengan membaca secara seksama keseluruhan puisi di bawah ini.
Pada Suatu Pagi
Pada suatu pagi, aku bertanya pada bulir embun. Untuk apa ia diciptakan jika kemudian harus dilesapkan?
Bulir embun menjawab ringan, "Tuhan menciptaku tidak sia-sia. Aku ada untuk memeluk daun-daun, menyejukkan mereka dari sisa terik tiada ampun."
Pada suatu pagi yang lain, aku bertanya pada kupu-kupu yang hinggap di ujung kelambu ruang tamu. Untuk apa ia lahir di dunia dalam kurun waktu sedemikian singkat?
Kupu-kupu riang menjawab, "Tuhan menciptaku sebagai penghibur. Bagimu---perempuan yang sendirian. Yang pada matamu masih tersimpan anak-anak hujan. Jadi jangan segan! Berkisahlah padaku tentang apa saja. Tentang hutan, gunung-gunung, sungai-sungai, juga sepotong hati yang pernah kautaklukan."
Pada suatu pagi yang lain lagi. Aku terdiam. Tidak bertanya apa-apa pada sesiapa pun. Kubiarkan embun mencium lembut pipi ranum daun-daun. Kubiarkan kupu-kupu menunggu ajalnya dengan tenang. Kubiarkan hatiku berdansa di atas panggung kesunyian.
***
Malang, 17 November 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Secara morfologi, kita bisa melihat bahwa puisi ini merupakan puisi modern, bukan puisi lama. Coba perhatikan bagaimana LFA menempatkan larik dan baris puisinya secara bebas hampir mirip seperti prosa, serta bunyi rimanya cenderung bebas.
Hal itu berbeda dengan jenis puisi lama seperti pantun atau gurindam. Dalam pembuatan puisi lama, kita tidak bisa menempatkan larik dan baris seenaknya begitu. Tetapi harus memenuhi aturan jumlah lariknya harus segini, rima akhirnya harus begini, dll.
Tema dan suasana yang ingin LFA gambarkan dalam puisi ini seputar rasa kesepian, dan suasana pagi di rumah, dengan embun dan kupu-kupu. Sebuah puisi yang terbilang klise, sudah banyak puisi lain bertema dan suasana seperti itu.Â