Dahulu, Ibuku berjualan puisi
Puisi-puisi yang ibu jual semuanya ranum dipetik segar dari kebun sendiri
berwarna-warni, tidak ada satupun puisi yang berbadan alum
Pada setiap dinihari hingga tengah hari
Ibuku Menjajakan puisi-puisi itu di atas sebuah lincak di pojokan pasar pagi
Untuk sampai di lincaknya, pembeli harus menyusuri jalan becek dan harus punya mental cuek
Mereka harus mengabaikan rayuan pedagang yang menghimpit di sepanjang kanan kiri jalan
Tak mengherankan jika setiap hari jualan ibuku tidak pernah laku
Lagian, hari gini mana ada yang masih mau membeli puisi? Sindirku pada Ibu
Tapi hati Ibu tidak layu. Ia tetap saja menjajakan puisi-puisi itu.
Belakangan saya tahu alasan Ibu
Ibu terpaku berjualan puisi hanya untuk melayani satu orang pembeli yang bisu
Seorang kakek renta bergigi ompong lima
Kepalanya putih, ada satu rumpun lumut bercokol erat di sebelah kiri ubun-ubunnya
Wajahnya belepotan penuh keriput-keriput yang menggantung di pipi, di jidat, dan di bawah biji matanya.
Setiap hari Kakek itu rutin datang ke lincak ibu
Kadang datang pukul tujuh, kadang pukul sembilan dan seringnya pukul sebelas.
Entah satu ikat, dua ikat atau lima ikat sajak, yang jelas setiap hari kakek itu membeli puisi
Kata Ibu, Kakek itu suka membeli puisi tentang rindu akan masa lalu,
dan yang paling ia suka adalah puisi tentang mati dan sajak-sajak pilu.
Kakek itu tak punya uang, ia membayar puisi Ibu kadang dengan tiga bonggol ubi atau sekadar satu genggam padi
Ia juga pernah membayar puisi ibu dengan bongkahan batu-batu kali
Memang Aneh. Tapi entahlah.
Nyatanya, dari hasil transaksi itu kebutuhanku dan Adikku bisa tercukupi.
Kini, Kakek itu tak pernah datang lagi ke lincak ibu
Kabarnya, Kakek itu sudah mati satu pekan yang lalu
Desas-desusnya, Kakek itu mati karena terbunuh oleh masa lalu.
Mayatnya ditemukan kembung mengambang digenangan sepi yang sangat bau.
Semenjak itu, Puisi-puisi ibuku tidak ada lagi yang membeli
Jangankan membeli, sekedar melirik atau pun mencicipi saja, tidak ada yang sudi.
Kalau terus begini, Aku dan Adikku bakalan ikutan mati
Demi menyelamatkan aku dan Adikku
Ibu membabat kata-kata mentah yang tertanam di kebun belakang rumah
Membiarkan jasad kata-kata itu membusuk di bawah sinar matahari
Ia taburkan luka dan amarah hingga basi
Ia baringkan pada lesung batu lalu menumbuknya dengan setongkat alu
Ia taburkan lagi butiran rasa benci, iri, dan serbuk-serbuk api
Ia tumbuk lagi sampai halus lalu mencetaknya menjadi sekotak terasi
Ibuku berhenti menjajakan puisi dan beralih menjual terasi
Hasilnya, ramai sekali orang yang mengerubungi lincak ibu
Banyak yang memburu, mulai dari Ibu Swasta hingga Ibu Negara
Mereka rela bersikutan untuk membeli terasi buatan ibu. Laris manis.
Minimal lima kilo terasi bisa laku setiap hari.