"Masak sih, segawat itu kah situasi kita sekarang, sampai-sampai saya tidak boleh berkumpul untuk sekadar ibadah di rumah Tuhan?"
Jika anda tergolong orang yang taat beribadah, memang berat meninggalkan kegiatan anda berkomunikasi dengan Tuhan, sang Pencipta di rumah-Nya.
Ya, Saya memaklumi  perasaan berat itu, sama seperti saat saya memaklumi seorang ulama di kampung saya yang ngotot sekali tetap ingin mengadakan Ibadah sholat jumat pekan ini, padahal sudah ada himbauan agar seluruh masjid di Jawa Tengah tidak boleh mengadakan ibadah sholat jumat.
SEMARANG, KOMPAS.com - Pelaksanaan ibadah shalat Jumat di seluruh masjid di Jawa Tengah diminta ditiadakan pada 27 Maret 2020. Hal ini menyusul dikeluarkannya tausiyah tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah di Semarang pada 24 Maret 2020 yang berisi tentang penyelenggaraan ibadah di masjid dalam situasi darurat Covid-19
Saya memahami bahwa sebagai seorang ulama, beliau memiliki idealisme beribadah yang kokoh. Meninggalkan ibadah sholat jumat yang merupakan Hari Raya mingguan bagi seorang muslim, memang berat.
Tapi sebagai seorang yang pemikir, pikiran saya tidak bisa menerima penjelasan seorang ulama di kampung saya ini ketika beliau bilang, bahwa virus ini hanyalah upaya suatu oknum yang beliau sebut sebagai ulah "Kiminis" dan "Wahyudi" untuk menghancurkan iman umat agar umat tega meninggalkan ibadah.
Sebuah penjelasan yang penuh aroma teori konspirasi dan minim bukti itu membuat pikiran saya menolak sehingga ingin berkata "Tidak masuk, Pak Eko!"
Bambang, seorang santri yang saya kenal rajin beribadah juga nampak kecewa membaca himbauan MUI Jateng tentang tidak dianjurkannya mengadakan sholat jumat pekan ini di seluruh Jawa Tengah.
"Harus sebegitunya ya, sampai sholat jumat saja tidak boleh"
Kepada Bambang, sayapun langsung menyodorkan surat edaran dari MUI Tegal, berikut
"Tegal sudah Zona Merah, Bambang! Risiko penularan virus ke Jamaah Jumat semakin besar. Pengen Mati?"