Jleb! lampu mati di kamar saya. Oia sepertinya ada janji mati lampu setiap jam 6 pagi. Saya keluar melongok untuk mencari sarapan karena perut saya sudah melilit kelaparan. Ternyata, tidak ada sarapan yang disediakan, baiklah untung mi gelas persediaan masih banyak.Â
Agenda hari ini yang seharusnya jalan menuju ke Obano untuk ekspedisi terpaksa kembali ditunda menunggu konfirmasi dari aparat setempat. Belum apa-apa, gara-gara ada kabar keberadaan ekspedisi ini maka berbondong-bondonglah berbagai orang yang mengaku orang yang bertanggung jawab daerah tersebut datang menghadap kami.Â
Mengaku akan membantu, namun sebenarnya mereka secara tidak langsung meminta 'jatah'. Hmmm, ckck. Sampai saya bingung sendiri karena terlalu banyak orang yang datang dan saya tak mau tahu. Menjelang siang, meeting koordinasi juga dimulai anggota antar ekspedisi saling membagi tugas. Hm... monoton. Makanya saya keluar menghirup udara segar dan berkenalan dengan 'pengawal' kami dari TNI yang sejak berangkat selalu ada di sekitar kami.Â
Saya, berkenalan dengan dia. Bagai kompor dengan sumbu kami langsung nyambung satu sama lain bahkan tak sadar ngobrol sambil berdiri hampir selama sejam lamanya. Dia jadi seperti sosok nyata yang saya selalu ceritakan di dalam tulisan-tulisan saya. Ya, dia satu dari pejuang melawan KKB atau OPM di sana.Â
Dari A sampai Z segala perjuangan membela tanah air dia ceritakan. Saya seperti terseret dalam alur aksinya yang sungguh membuat hati berdebar. Mulai dari hampir hilang nyawa saat salat, beradu tembak dengan KKB dan kisah memilukan soal gugurnya teman-teman dia dengan cara mengenaskan. Dari sini kami menjadi dekat dan semakin banyak cerita menarik yang ternyata akhirnya saya temukan pemainnya langsung di sini. Bertemu dengannya, membuat simpati saya kepada aparat TNI semakin membesar dan saya katakan bangga memiliki  mereka-mereka ini. Ingin sekali rasanya saat menepuk bahunya dan mengatakan terima kasih. Dan nanti dia akan menjadi pahlawan bagi saya dan juga tim kami dengan bersimbah darah.Â
Selesai kami berbicara panjang lebar, kami kembali harus koordinasi lagi dengan bapak-bapak TNI disana. Sambil melihat peta ekspedisi kami, sang komandan mengernyitkan dahi dan menyatakan wilayah ekspedisi kami benar-benar berbahaya. Bukan soal ekspedisi kami, pak komandan juga bercerita kembali soal insiden Paniai berdarah, yang saya ingat juga pernah melulisnya. Hati saat itu tercabik-cabik membayangkan banyak korban dan pertumpahan darah kala itu. Lalu memandang nanar kubur di depan markas TNI yang merupakan hasil dari pertikaian TNI-sipil dalam Paniai Berdarah.
Lepas dari pertemuan menegangkan itu, suasana langsung cair saat saya melihat kelompok baris berbaris anak SMP yang sedang bersiap untuk lomba 17an. Saya langsung menghampiri mereka dan berbaur begitu saja tanpa perlu waktu lama. Entah bagaimana mulanya juga, salah satu anggota ekspedisi tiba-tiba mendadak jadi guru Paskibra hahaha. Ini sungguh di luar dugaan. Buru-buru saya keluarkan senjata kamera dan berpikir ini pasti menarik dibuat berita.Â
Sore kami habiskan di Danau Paniai, sebenarnya saya tadi pagi sudah ke sini. Dan pagi tadi saya juga bahagia karena melihat  senyum-senyum gadis-gadis papua yang sedang mencuci baju di pinggir danau. Saya sampai bingung harus panggil apa ke mereka. Saat saya panggil 'kakak' mereka tertawa. wah ternyata meski kelihatannya mereka lebih tua ternyata mereka anak-anak SMA wkwkw. Saya jadi malu.
Mereka ternyata datang dari pulau-pulau seberang hanya untuk mencuci. Lucu sekaligus heran, kok jauh-jauh hanya untuk mencuci. Saya menikmati dan merekam mereka tentu saja, sembari tertawa-tawa mereka mencelup-celup sekenanya pakaian mereka. Dekat dari situ anak-anak dengan ingus berjuntai-juntai lari-lari riang. Pagi itu, saya merasa hangat oleh pelukan kebahagiaan Papua padahal suhu dingin lumayan mengigit.Â