Saya mengunjungi Tegal, tepat sehari setelah saya keluar dari perusahaan yang telah membesarkan saya selama 3 tahun. Berat rasanya saat itu, di tengah suasana yang begitu nyaman dan akrab saya malah memilih keluar.
Tujuannya satu, saya perlu suasana baru yang mendorong saya lebih baik lagi. Saya takut jika terlalu nyaman justru saya tidak berkembang.Â
Satu ketakutan lainnya adalah saya akan berada di tengah momen pernikahan sahabat sekaligus teman becanda saya. Saya takut merasa kehilangan makanya ini salah cara saya lepas dari ketergantungan saya ke dia dan menerima bahwa saya akan kehilangan dia. Akan bahaya nantinya jika kita terus dekat sementara dia akan beristri.
Jadi lebih baik kami saling hilang dan merenggangkan jarak. Jadi selama kontemplasi itu saya memilih melarikan diri ke Tegal. Kebetulan saya ada kakak sepupu di sana jadi bisa numpang menginap sekalian silahturahmi.
Saya bersama mama tiba malam hari di Tegal menumpang kereta ekonomi yang harganya kurang dari Rp 100 ribu berangkat Stasiun Senen. Malam itu, Samcehon (paman dalam bahasa Korea) yang asli Korea menjemput saya dan mama. Tampak stasiun ini benar-benar tidak beraturan mirip pasar malam.
Untuk dia menemukan saya, kami yang kelaparan benar-benar berharap disambut makanan enak khas Korea yang sering dimasak oleh keluarga ini. Tapi sampai di sana kami tak mendapati apapun. Teteh saya menawarkan memasakkan mie rebus dan buyar semua bayangan tentang makanan enak Korea. Baiklah tidak apa, makan mie rebus pun tak apa. Hiks.
Esok paginya semua serba ribut karena pagi-pagi samcheon saya berangkat teteh saya menyiapkan segala, termasuk anak-anaknya yang sekolah. Saya kebagian ikut mengantar mereka sembari melihat suasana tegal di pagi hari yang ternyata lumayan sepi dibanding Jakarta.
Saya tak puas, akhirnya saya mengajak mama berkeliling lagi untuk membeli tiket pulang (kami lupa belom beli tiket pulang) dari situ kami penasaran dengan icon kota tegal, apalagi kalau bukan teh poci.
Kalau diperhatikan memang di sini banyak perusahaan teh poci asal Tionghoa yang bersaing, sampai plang-plang jalan semua serba merek teh poci. Tapi saya tidak tertarik dengan teh poci bermerek saya pun menjajal teh poci pinggir jalan yang rasanya aduhai. Nikmat tenan.
Selesai menyesap hangat dan harumnya kopi di pinggir jalan dekat stasiun tegal kami naik becak ke pasar. Tujuannya mau beli teko teh poci wkwkwk... di pasar itu saya juga mencicip beragam kuliner, es cendol sedikit tak biasa, pecel, sampai tahu aci yang jadi favorit saya selama di tegal.