"Kepergiannya adalah luka perih nyata bagi kami pencintanya, tapi mungkin penciptanya lebih mencintainya, bermain bola di surga." (ba/20).
Maradonna,maradonna, maradonna, kala kecil selalu ingin disebut nama itu, ketika bermain sepakbola di pedesaan..
Nama itu begitu besar, dan besar dijamanya,Â
Diakhir tahun 80 an menjelang 90-an, adalah hari hati fantastis bagi mega bintang Argentina tersebut, siapapun dipenjuru dunia mengelu-elukan namanya,Â
Diawal - awal sepakbola modern, dia adalah sosok yang sempurna bagi standar pesepakbola dunia, olah bola, sprint kuat, skill individual diatas rata-rata yg seblumnya, yg mungkin hanya mampu ditandingi oleh seorang Pele, brazil.Â
Tahun 90,yang kala itu belum ada teknologi, televisi harus nonton berbagi, duduk rapi, itu pun kalo diizinkan, bahkan terkadang  kami hnya tau dari cerita mulut ke mulut orang orang tua, tentang kehebatannya,Â
Bagi saya Maradona adalah lebih dari pesepakbola, menghibur dalam kesedihan, kami dikala zamam itu minim hiburan, dan selain itu Diego adalah pejuang anti imperialisme,Â
Seperti Muhammad Ali, yg berjuang melawan rasis kulit hitamnya,Â
Melihatnya kala melawan Inggris, seperti melihat pemain sirkus yg menari nari di atmosfir, kecepatan, kelincahan yg tidak akan kita lupakan...Â
Jatuh bangun, bangkit, meskipun ditekel, dan kita menemukan sepakbola dulu adalah ketidak cengengannya, tidak mengharap kasian pluit wasit...Â