Orangtua adalah sosok tak tergantikan. Demikian sebagian penggalan kata dalam diskusi kami sesama penumpang travel jurusan Bojonegoro-Yogja. Bermula diskusi tak berujung mengawali membincang Bojonegoro sebagai daerah penghasil migas, namun rakyatnya miskin. Padahal minyak di Bojonegoro telah dieksploitasi sejak tahun 1800 an pada zaman penjajahan Belanda.
Ditengah-tengah asyiknya berdiskusi tiba-tiba pada saat travel menghindari lubang dan laju kendaraan melambat, tiba-tiba kami melihat seorang ibu paruhbaya menggendong rumput sambil berjalan membungkuk untuk menjaga keseimbangan tubuh atas beban rumput dipunggungnya. Kami sontak teringat orangtua kami, betapa beratnya beban tanggungjawab orangtua untuk demi mimpinya punya anak yang lebih baik.
Pada saat itu kemudian saya teringat beberapa teman dan saudara kami yang sudah lama diperantauan jauh dari orangtua dan hingga menjelang ajal tiba pun mereka tidak sempat bertutur sapa berhadapan muka. Baru setelah jasat orangtuanya dikebumikan mereka baru datang dari perantauan, jangankan berbincang dengan orangtuanya, bertemu jenazah saja tidak. Dan pada saat itu pula air mata dari hati yang paling dalam pecah teruarai, mereka menangis tersengguksengguk. Pada saat itu mereka baru menyadari betapa pentingnya bersilaturrohim kepada orangtua. Mereka mengganggap bersilaturrohim atau tidak bukan hal yang penting.
Berbekal dari cerita tersebut, dalam hati kecil kami kemudian berkata, “mumpung orangtua kita masih hidup seseringmungkin kita hadir ditengah-tengah beliau, meski hanya via telp”. Kata saya. Karena doa ridlo orangtua merupakan kunci kesuksesan anak-anaknya dalam mengarungi hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H