Mohon tunggu...
Saiful Mustofa
Saiful Mustofa Mohon Tunggu... -

lahir dan tinggal di kota marmer (Tulungagung). Suka menulis artikel dan esai semenjak menginjak bangku kuliah dan nimbrung di komunitas Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Trie (Part II)

24 Oktober 2013   06:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:07 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari Akun Facebook

Pasca pertemuan singkat tapi begitu berkesan dalam pameran seni itu, Sadam sudah tak pernah lagi bertemu dengan Trie. Pelukis pasir yang membuatnya terpesona oleh kemisteriusannya. Sampai pada suatu ketika tiba-tiba ingatannya terlintas sosok gadis pemalu itu. "Lama sudah aku tak memikirkan dia. Tak ada salahnya jika aku cari tahu lebih dalam tentangnya," gumamnya.Akhirnya iseng-iseng dia berselancar di facebook dan mencari akun gadis pemalu itu. Ia lihat satu persatu akun yang ada nama Trienya. Ada ratusan nama yang sama. Setelah sekian lama ia mencari akhirnya ketemu juga. Akunnya bernama Trie Swandani. Nama yang indah.

Selang beberapa hari setelah ia kirim ajakan pertemanan akhirnya dikonfirmasi. Lalu, Sadam mengirim pesan padanya. Sekedar basa-basi dan untuk memastikan tentunya. "Makasih sudah dikonfirm. Apa benar ini Trie yang pelukis pasir itu?" tulis Sadam di pesan facebooknya.

"Benar, maaf ini siapa?" balasnya.

"Aku Sadam teman abangmu, Bre yang tempo hari ketemu di pameran seni itu lho."

"Ohhh....ya aku ingat...maaf agak lupa soalnya."

"Tak apa, karena memang belum kenalan kan.Selamat, lukisanmu bagus. Luar biasa."

"Makasih bang." ucap Trie singkat dan mengakhiri percakapan via jejaring sosial itu.

Setelah beberapa kali berceloteh di jejaring sosial akhirnya membuahkan hasil juga: Sadam mendapatkan nomer hape gadis itu. Entah dengan rayu dan alasan bagaimana namun yang jelas usahanya tak sia-sia. Lama-lama keintiman semakin menjadi. Tampaknya dunia maya tak mampu menampung derap luap hasrat yang kian membuncah. Dan Sadam mengajaknya untuk bertemu di sebuah cafe tak jauh dari tempat gadis itu kuliah. Pukul 15.00 WIB mereka sepakat ketemuan di cafe itu. Di tengah hujan lebat, Sadam berusaha menepati janjinya. "Ah, sial. Kalau bukan demi cewek tak mau aku kayak gini. Mungkin memang benar, cinta butuh perjuangan dan pengorbanan," gerutunya di jalan sambil senyum-senyum sendiri.

Sekitar 30 menit akhirnya Sadam sampai juga di tempat itu. Tempatnya tak begitu ramai, nuansanya adem, setting ruangnya cukup bagus dengan karakter klasik, mirip rumah adat Joglo. Ia menelisik ke dalam. Mencari-cari dimana tempat duduk gadis itu. "Kalau sudah sampai langsung masuk saja bang, aku sudah di dalam,"sebuah sms masuk. Ternyata itu pesan dari Trie. Sadam bergegas masuk, meski tadi memakai jas hujan, ia tetap agak basah kuyup. "Maaf neng, agak telat soalnya hujannya cukup deras," celetuk Sadam minta maaf sekaligus menyapa.

"Tak apa bang. Aku juga belum begitu lama kok sampainya," sahut gadis berlesung pipit itu sembari melempar senyum.

Tak lama kemudian, suasana sempat beku. Saat bola mata mereka kembali beradu. Seperti ada sesuatu yang ingin bicara apa adanya. Mengatakan sejatinya bahwa hati tak bisa berdusta. Tapi mereka masih sama-sama malu. Sama-sama kaku untuk mengakui rasa yang ingin berpadu. Selang beberapa detik mereka berdua sama-sama menunduk. Tersipu malu. Sadam salah tingkah, mukanya memerah ditmbah dengan ekspresi menggaruk-garuk kepala. Sedang Trie sendiri hanya menunduk.

"Aaa...mau pesan apa," mereka berdua bersautan secara bersamaan.

"Yaudah abang dulu deh, mau pesan apa?"

"Apa ya, aku nurut aja deh. Bingung mau pesan apa," sambil mengusap keringat dingin di keningnya. Maklum Sadam adalah pria yang sebenarnya amat pemalu. Apalagi dengan cewek yang ia gandrungi. "Sial. Aku kok jadi nervous gini. Aku harus memutar otak untuk memulai percakapan. Kalau tidak, bisa berjam-jam diam kayak patung."

"Oiya, kalau boleh tanya apa alasanmu memilih sebagai pelukis pasir neng? Bukankah keindahan pasir hanya sementara dan tak bisa dijadikan pajangan selamanya?" seloroh Sadam memecah kebekuan.

"Justru karena sifatnya yang mudah pudar itu banyak orang mencari untuk mengabadikannya bang. Melukis di atas pasir itu bagaikan kita meminta keindahan alam tanpa harus menyakitinya. Tanpa harus menghilangkan sifat-sifat alamiahnya kita akan menunjukkan kalau alam raya ini menyimpan daya tarik tersendiri," saut Trie dengan gaya bicaranya yang renyah dan kalem.

"Hmmm...begitukah?"

"Iya, lagipula pasir itu seperti manusia, sulit ditebak. Sedetik saja polanya bisa berubah. Tak ada kepastian kalau ia akan tetap begitu saja."

"Benar, semakin kita berusaha menggenggamnya maka ia akan semakin berusaha lepas. Beda lagi jika hanya dibiarkan di atas tangan saja. Sama seperti sebuah hubungan," sambung Sadam menyepakati pendapat Trie.

"Hmmmm....rupanya abang cukup filosofis juga ya. Lalu, alasan abang sendiri memilih jalan sebagai penyair?"

Belum sampai menjawab, pelayan datang membawa sajian makanan beserta minuman yang tadi mereka pesan. Dua porsi nasi goreng seafoodbeserta dua cangkir cappucino mocca. Obrolan merekapun terpaksa putus. Digantikan dengan menyantap hidangan yang sudah tersaji di hadapannya.Disela-sela menyantap hidangan, Sadam menjawab pertanyaan yang dilemparkan oleh Trie tadi, "Tak jauh beda denganmu. Menulis syair apalagi melantunkannya itu bagaikan menelusup ke dalam dunia baru, dunia yang memberikan kebebasan. Hasil perpaduan antara logika dan rasa. Dan terciptalah sebuah karya yang hidup dan menghidupi setiap pembaca dan pendengarnya."

"Hmmm...begitu ya bang? Kayaknya serius banget nih jawabannya. Sampai bingung aku harus mencerna maknanya, hehe"

"Tak usah dicerna neng, langsung ditelen terus dikeluarin saja, hehe"

Sadam mengatakan kalau sebenarnya tak ada angan-angan sedikitpun untuk menjadi pelaku seni. Sepanjang mudanya ia sama sekali tak punya cita-cita yang pasti. Ya, sebagaimana anak muda pada umumnya yang setiap saat berubah pikiran. Ia terjun di dunia seniman, khususnya yang berkaitan dengan sastra mungkin lantaran bawaan darah orangtuanya. Itupun hanya parsial, tidak totalitas. Sejak kecil ia sudah akrab dengan puisi-puisi Chairil Anwar dan panyair lain semasanya. Ditambah lagi epos sejarah begitu sering ia kenyam baik dari perpustakaan daerah maupun pinjaman dari teman ayahnya. Karena latar belakang keluarga sebagai pelaku seni Ludruk, Sadam kecil, begitu bersahabat dengan lantunan gending-gending Jawa dan seni bermain peran. Maka tak aneh bila syairnya sarat dengan unsur budaya yang kadang satir dan sakartis. Namun ia mengatakan kalau sedari kecil tak ada kiat untuk meneruskan perjuangan orangtuanya itu. Ia hanya sebatas penikmat bukan pelaku. Begitulah penjelasan setiap kali ia ditanya oleh orang.

Tak jauh beda, Triepun juga begitu. Meski ia bukan dari keluarga seniman, sejak kecil ia sudah gandrung dengan seni lukis. Ia begitu menikmati seni rupa, meski awalnya hanya bergelut di atas kanvas, ia telah menorehkan ratusan karya yang cukup ciamik. Orang tuanyapun amat mendukung hobi putri sulungnya itu. Baru setelah beranjak ke perguruan tinggi ia mencoba media lain: pasir. Ia menceritakan kalau awal mula beralih ke media pasir lantaran terinspirasi oleh para pelukis pasir perempuan kaliber dunia. Ilana Yahav, yang dikenal sebagai Seniman Animasi Pasir (Sand Animation Artist) menjadi salah satu inspiring woman Trie. Perempuan berkebangsaan Israel itu sedikit banyak telah mempengaruhi karakteristik karya Trie yang sama-sama mengusung perdamaian, cinta dan persahabatan. Selain itu, sosok perempuan lain yang menginspirasinya ialah Ksenia Simonova. Seorang pelukis pasir dari Ukraina yang pernah menggemparkan jagad dengan menarasikan kepedihan Perang Dunia II dengan goresan-goresan lembut jemarinya. Ya, itulah alasan kenapa Trie terkesima dengan keindahan pasir.

Semenjak pertemuan dan obrolan itu, layaknya bujang yang digandrungi asmara, benih-benih cinta tak dapat dipungkiri lagi. Sadam mulai berani mengungkapkan kekaguman terhadap gadis itu melalui rangkaian syair-syairnya. Setiap pagi, ia selalu mengirimi pesan singkat berupa puisi. Bukan puisi sanjungan atau decap kekaguman tapi sebuah sindiran kalau perempuan begitu gampang ditaklukan.

Berbeda dengan laki-laki yang sedang memburu mangsa dengan menyuguhkan bualan-bualan gombal atau perhatian, ia tetap bersikukuh dengan karakter puisinya yang "dingin". Sebab baginya, perempuan yang "cerdas" justru tak suka bahkan muak dengan gombalan atau sikap yang lazim dilakukan oleh banyak laki-laki. Meskipun pada dasarnya hati perempuan akan mudah luluh hanya dengan sedikit perhatian dan seni hipokrisi. Sebuah kodrati yang tak bisa dibantah lagi.

Bagi Sadam itu sudah terlalu biasa. Ia tak mau dipandang sama dengan pria pada umumnya. Baginya, sebuah kebanggaan tersendiri jika berani bicara dan tampil apa adanya, "blak kotang" kalau orang Jawa bilang.Wanita justru akan sangat penasaran dengan pria yang "unik" dan misterius pola pikirnya. Yang salah satunya justru berani mendobrak kemapanan kaum Adam pada umumnya. Mirip istilah para intelektual yang sering menyebut dengan "paradigma terbalik".

Salah satu puisinya yang pernah ia kirim di suatu pagi.

Kau yang sedang diperdaya oleh butanya hati

Sadarlah

Mata cinta tak selalu tepat dalam memproyeksikan obyeknya

Kau boleh bersandar pada rasa

Kau boleh percaya pada keagungan cinta

Tapi jangan pernah menanggalkan logika sebagai penyelarasnya

Kadang, Trie membalas balik dengan puisi tapi pula tak jarang hanya dengan senyuman semata. Sadam, tak pernah menghiraukan apakah kata-katanya itu berdampak baik atau buruk, yang jelas ia hanya ingin menunjukkan bahwa inilah dia. Pucuk dicinta ulampun tiba. Seperti kata orang: "Pria jatuh cinta pada pandang pertama sedangkan wanita pada percakapan yang pertama." Akhirnya Trie benar-benar kesengsem oleh karakter "unik" yang ditunjukkan oleh pria yang belum begitu lama dikenalnya itu. Meski tidak terang-terangan namun gelagat perempuan yang tertarik dengan lawan jenis mudah untuk dibaca.

Lama-lama, semakin dekat, semakin tak ada jarak antar keduanya. Namun Sadam merasa ada yang mengganjal hatinya. Bukan tak suka tapi ia lupa bahwa yang sedang ia gandrungi adalah adik keponakan sahabatnya. Dan selama ini, ia belum pernah berterus terang tentang itu semua. Memang, tak ada larangan, tapi jika sampai gagal menjalin hubungan tentu akan merusak jalinan persahabatan. Begitulah hukum yang berlaku selama ini. Ditambah lagi, ia merasa belum siap jika harus menjalin hubungan yang serius lantaran latar belakang pekerjaan yang belum pasti. Dia gundah, dan setelah memikirkan dalam-dalam akhirnya ia memilih untuk tidak melanjutkan keseriusan hubungannya itu. Tanpa harus ada yang tersakiti, sedikit-demi sedikit ia mulai menunjukkan sikap yang biasa. Sikap sebagaimana seorang abang pada umumnya. Sebagai seorang wanita yang mudah peka, Triepun merasakan gelagat yang berbeda dengan sebelumnya. Ia merasa, Sadam tak beranjak dari tempatnya berdiri tempo hari. Seharusnya ia sudah berlari atau minimal berjalan dan merengkuh apa yang ingin ia capai.

"Sebenarnya, seperti apakah abang dalam memandang wanita?" selidik Trie dalam percakapan di pesan sosial media.

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu neng?" sahut Sadam agak curiga.

"Engga ada apa-apa bang, cuma iseng tanya aja kok. Mumpung sama-sama online dan engga ada yang menarik."

"Hmmm...begitu ya? Aku memandang wanita itu tak jauh beda dengan anggapan pria pada umumnya."

"Begitukah? Apakah pandangan pria pada umumnya itu suka dengan hal-hal yang tak jelas statusnya?"

Lama Sadam termenung, dia lantas memilih untuk tak menjawab pertanyaan Trie yang terakhir itu. Pertanyaan yang lumayan menamparnya. Disatu sisi dia tak sampai hati, tapi di sisi lain dia juga tak mau mengatakan alasannya itu. Sebuah pilihan yang tak gampang.

Beberapa hari kemudian, Sadam coba menghubungi Trie tapi nomer hapenya tak aktif. Berjam-jam ia menunggu kalau saja hapenya sudah bisa dihubungi. Seharian ternyata keadaan tetap tak berubah. Ia mencoba menghubungi lewat jejaring sosial. Dengan harapan ada balasan untuk menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan mereka. Keesokannya ia lihat di akun facebook, ternyata hasilnya nihil. Tak ada respon. Sadam mulai bigung dan cemas. Pikirannya mulai berkecamuk dengan praduga yang bermacam-macam. "Apakah dia marah, atau hapenya rusak, atau terjadi sesuatu dengannya?" Sadam memutuskan untuk kembali menunggu kabar untuk beberapa hari lagi, kalau tetap sama maka ia akan ambil sikap lainnya. Seminggu sudah Trie menghilang dari kehidupan Sadam. Tanpa isyarat, tanpa kabar apapun sebelumnya. Dia semakin tak jenak dan bingung harus berbuat apa. Mau menghubungi teman-temannya, ia juga tak tahu sama sekali. Sedang mau tanya Bre juga tak mungkin, sebab kalau sampai tanya tentu dia akan curiga.

To be continued

Tulungagung, 23/10/2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun