Oleh Saiful Mustofa
"Kegagalan tidak diukur dari apa yang telah Anda raih, namun kegagalan yang telah Anda hadapi dan keberanian yang membuat Anda tetap berjuang melawan rintangan yang bertubi-tubi."- Orison Swett Marden
Ada hal menarik saat yudisium Sarjana (S1) XVI STAIN Tulungagung Tahun Akademik 2012/2013 pada hari Jum'at tanggal 06 September 2013 kemarin. Bukan karena jumlah lulusannya atau apa tapi lebih dari itu karena kali ini salah satu tamu undangan sekaligus pembicaranya adalah seorang guru besar hebat dari UIN Maliki Malang Prof. Dr. H. Imam Suprayogo.
Dalam orasi ilmiahnya, beliau menuturkan berbagai macam kunci sukses dari berbagai sudut pandang termasuk Islam. Pesan utama dan paling mendasar yang dapat saya tangkap bahwa setiap insan harus berani bermimpi. Orang harus berani bermimpi atau bercita-cita setinggi mungkin. Pun dari latar belakang orang pinggiran dan keluarga yang kekurangan. Sebab keberanian, menurutnya, adalah bagian dari keimanan. Orang yang takut salah sebenarnya sudah melakukan kesalahan. Jadi tak ada alasan untuk takut.
Lebih dari itu, beliau mengulas panjang lebar tentang latar belakang keluarganya. Menurut Prof yang sudah enam belas tahun menjabat atau empat periode ini, faktor latar belakang tempat tinggal bukanlah menjadi alasan untuk mendulang kesuksesan. Sebab dirinya sendiri juga berasal dari orang pinggiran bahkan daerah pegunungan dan pesisir (watu lima). "Maju itu bukan karena faktor tempat geografis tapi karena orangnya. Karena mahasiswa adalah produk intelektual. Meski lulusan STAIN Tulungagung harus mampu mendulang karier di berbagai kota besar. Jangan hanya puas diri bisa berkiprah di daerah-daerah terpencil. Jadi jangan seperti filosofi air, mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah," jlentrehnya panjang.
Disamping itu, karakter lain yang patut diteladani dari beliau selain ulet dalam menjalani tempaan hidup ialah soal kedisiplinan. Kedisiplinan adalah prinsipnya sejak kecil sampai sekarang. Beliau memulainya mulai dari hal yang kadang dianggap sepele: bangun pagi. Dalam penjelasannya, beliau mengatakan selalu konsisten bangun jam 04.00 WIB setiap hari. Aktivitas utamanya dimulai dengan shalat shubuh kemudian dilanjutkan dengan menulis artikel. Selalu begitu setiap harinya. Entah sudah berapa ribu artikel yang telah beliau telurkan. Yang pasti, katanya sudah enam tahun kebiasaan menulis seperti itu beliau tekuni. Sungguh luar biasa bukan. Karena keistiqomahan itu pulalah yang pada akhirnya menggiring beliau ke puncak prestasi yang luarbiasa: menjadi rektor di Universitas Islam ternama, keliling dunia, sampai dengan masuk Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai guru besar yang cemerlang dalam memimpin pendidikan Islam pada tahun 2006 silam.
Selain itu, beliau juga memaparkan terkait penyebab kenapa orang-orang hasil dari produk lembaga pendidikan Islam masih dikategorikan dalam urutan kedua setelah lembaga pendidikan umum. Padahal jika dibanding dengan lembaga pendidikan umum, institusi berlabel Islam lebih lengkap khususnya muatan agamis, baik dari segi spiritual, moral maupun intelektualnya. Namun pada kenyataannya, rata-rata orang masih memandang sebelah mata apalagi jika sudah dibenturkan di wilayah kebijakan institusi umum. Dalam kesimpulannya, hal demikian disebabkan oleh masih adanya sikap minder. Kurang percaya diri kadang masih menjadi kendala penyulut kekerdilan berpikir. Yang akhirnya menyebabkan rasa kecil hati. Selain itu, dikarenakan juga oleh arogansi intelektual yang seringkali menjebak pada ranah perdebatan tak penting dan pertengkaran. Akibatnya, munculah stigma miring bahwa para tokoh-tokoh Islam masih belum matang dalam aspek kedewasaan intelektual. Padahal, sambung beliau, lembaga Islam memiliki lima misi besar yang komprehesif: kaya ilmu, unggul secara kualitas, menjunjung tinggi keadilan, tuntunan spiritual, dan amal saleh (kerja lurus dan kerja profesional).
Jika diambil garis besarnya, beliau seolah ingin menegaskan bahwa semua orang adalah sama. Artinya sama-sama berpeluang menjadi yang terbaik dan mencicipi kesuksesan. Yang membedakan hanyalah cara dan kualitas usahanya. Bahkan jika mengingat kembali bahwa manusia sebagai khalifah di bumi agaknya memang tak berlebihan bila disebut sebagai insal kamil.
Sebagaimana kata Masataka Takeshita dalam "Ibn' Arabi's Theory of Perfect Man and Its Place in Islamic History" bahwa manusia diciptakan sesuai dengan nama-nama Tuhan, di samping juga sesuai dengan universum. Dengan demikian manusia memiliki sifat ganda. Sisi dalam (batin)-nya adalah Tuhan, sedangkan sisi luarnya adalah makhluk. Atau yang sering disebut dengan citra ketuhanan (al-surah al-IIahiyah) dan citra kemakhlukan (al-surah al-kawniyah). Seperti kata Ibn' Arabi bahwa:
"Karena manusia sempurna ada dalam citra yang sempurna, maka kekhalifahan dari Tuhan di muka bumi cocok baginya. Yang kami maksud dengan manusia bukanlah manusia hewani, tetapi manusia yang menjadi khalifah. Karena kemanusiaan dan kekhalifahannya, manusia berhak mendapatkan bentuk yang sempurna."
Saya meyakini bahwa apa yang diungkapkan beliau tak sekedar motivasi belaka. Tapi lebih dari itu justru merupakan suatu bentuk kolaborasi antara teori dan pengalaman empiris. Sehingga tak ayal, jika seketika mampu mendongkrak semangat bahkan mendorong para pendengarnya untuk tergerak menulis. Apa yang saya torehkan ini mungkin adalah catatan kesekian dari ratusan wisudawan/wisudawati yang telah menyematkan kesan atas beliau dalam bentuk uraian tulisan. Namun yang pasti, kesemua itu bukanlah mencari sensasi semata tapi memang benar-benar murni terinspirasi dan tergerak untuk meneladani. Yang terakhir, bagi teman-teman, selamat menempuh dunia nyata dan pertarungan yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H