Mohon tunggu...
Saiful Mustofa
Saiful Mustofa Mohon Tunggu... -

lahir dan tinggal di kota marmer (Tulungagung). Suka menulis artikel dan esai semenjak menginjak bangku kuliah dan nimbrung di komunitas Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ustad Hariri yang "Pemberani"

21 Februari 2014   05:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Saiful Mustofa

Belum lama ini dunia jejaring sosial gempar lantaran menyeruaknyavideo menghebohkan salah seorang Dai Selebritis sebut saja, Ustad Hariri. Bak gayung bersambut, ribuan tanggapan miring membanjir.Ustad yang pernah nongol di sinetron Islam KTP dan Emak Ijah Pengen ke Mekah itu dinilai keterlaluan; ia menekuk seorang operator sound system yang belakangan diketahui bernama Entis Sutisna.

Saya juga sempat kaget saat membaca beritanya pertama kali. Tapi kemudian, saya tersenyum kecil saat melihat video berdurasi tiga menit yang diunggah di Youtube itu. Saya sama sekali tak geram, sebagaimana ekspresi banyak orang. Bahkan, saya sangat mengapresiasi tindakan berani ustad muda tersebut.

Sebelumnya saya memang sempat membayangkan, kalau seorang pendakwah atau pemuka agama saja murkanya seperti itu, lantas bagaimana dengan orang awam seperti saya? Begitulah pertanyaan yang sempat menggelayut di benak saya, dan (mungkin) juga masyarakat pada umumnya. Namun, sekejap, spekulasi dan imaji-imaji itu saya delete. Saya lupakan. Karena saya tak mau lagi terjebak pada asumsi.

Alasan saya tak berang dan malah mengapresiasi lantaran menganggap bahwa apa yang dilakukan ustad itu adalah tindakan yang luar biasa. Artinya, jarang sekali seorang dai (selebritis) yang berani menunjukan tabiat aslinya di muka umum. Apalagi, dengan begitu totalitas. Bagi saya, itu lebih baik ketimbang berpura-pura atau berlagak sok wibawa-bijaksana. Dan sungguh sayapun juga tak tahu persis kapan dan siapa yang mempopulerkan istilah dai selebritis itu pertama kali. Yang pasti, ada alasan tertentu diimbuhkan kata selebritis di belakang profesinya. Salah satunya mungkin karena sering muncul di media massa.Sederhananya anggaplah begitu saja.

Saya jadi ingat simbolisasi Jawa yang apik tentang tiga karakter kiai: "Kiai Ceret", "Kiai Talang" dan "Kiai Gentong" yang diungkapkan oleh Wawan Susetya dalam bukunya Renungan Sufistik Islam-Jawa. Secara umum "Kiai Ceret" adalah tipikal kiai yang hanya mampu memberi ilmu secara sedikit. Seperti sebuah ceret (teko) yang hanya menuangkan air dalam jumlah tertentu. Jadi, sangat terbatas sekali kemampuannya.Tipologi yang kedua, "Kiai Talang". Tipe yang kedua ini sebagaimana fungsi talang: menyalurkan air. Jadi, ibarat ilmu kiai ini suka sekali menghambur-hamburkan ilmu baik pada orang yang butuh maupun tidak, tanpa peduli ada manfaatnya. Jadi, dalam pemaknaan saya, karakter yang kedua ini cenderung suka pamer ilmu baik untuk mencari eksistensi maupun menjaga gengsi.

Sedangkan yang terakhir, "Kiai Gentong" adalah yang paling sempurna. Karena begitu dalamnya ilmu yang dimiliki maka ia identik dengan sifat memendam diri. Ia bukan seperti dai selebritis yang suka nongol di media. Ia sudah sampai pada tahapan haqqul yaqin, berbeda dengan yang masih senang berdalil; karena mereka masih berada di tahapan ilmul yaqin dan ainul yaqin. Kalau bahasa Imam Ghazali disebut dengan orang yang telah mendapat "ilmu hikmah". Orang yang telah mampu bersemayam jauh kedalaman hati.Tak silau dengan gelimangnya harta, tahta dan tentu saja wanita. Bisa jadi, mereka yang termasuk dalam definisi "Kiai Gentong" ini justru kiai-kiai kampung (kiai mushola) yang secara sekilas tampak biasa, sederhana. Namun justru menjadi kekasih kinasih-Nya.

Jadi saya mahfum bila Ustad Hariri sampai melakukan tindakan seperti itu. Lantaran ia berada dalam kapasitasnya sebagai "Kiai Ceret"–dan mungkin juga "Kiai Talang"–bukan "Kiai Gentong". Bahkan MH. Ainun Najib, pernah menggelontorkan sentilannya tentang gelar dai atau para kiai. Menurutnya, gelar dai atau kiai sekarang ini bukan lagi ditentukan oleh kesepakatan ulama atau hasil dari penilaian masyarakat atas kedalaman ilmunya namun ditentukan oleh media. Dengan kata lain, seseorang baru bisa disebut seorang dai atau kiai bila sudah dilegitimasi oleh televisi. Sungguh, saya yang notabene bukan kiai atau dai saja geli mendengar sentilan budayawan asal kota santri Jombang itu.

Sungguhpun begitu, "keberanian" Ustad Hariri itu layak diacungi jempol. Ini fenomena yang benar-benar "unik" dan sepatutnya diapresiasi bukan malah dihujat sana-sini. Karena jarang sekali yang berani seperti si Ustad Hariri. Bahkan menurut penuturan managernya, semenjak kasus ini mencuat, Ustad Hariri justru kebanjiran tawaran order dakwah. Sehari bisa sampai 7 kali. Hebat bukan? Berarti tak ada salahnya kalau ia mengulangi tindakan "unik"itu lagi. Itung-itung buat menaikan pamor dan menguatkan legitimasinya sebagai seorang dai "pemberani". Itupun, kalau ia masih menganggap tindakannya itu tidak keterlaluan.

Tulungagung 15 Februari 2014

)*Penulis adalah pegiat literasi tinggal di Tulungagung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun