Mohon tunggu...
Saiful Mustofa
Saiful Mustofa Mohon Tunggu... -

lahir dan tinggal di kota marmer (Tulungagung). Suka menulis artikel dan esai semenjak menginjak bangku kuliah dan nimbrung di komunitas Pusat Kajian Filsafat dan Teologi (PKFT) Tulungagung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Pemberitahuan dan Kegelisahan

1 Maret 2014   05:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Saiful Mustofa

Ada kegelisahan yang terus menikam saya beberapa Minggu ini. Kali ini, kegelisahan itu berhubungan dengan kejenuhan berselancar di dunia maya. Saya tak tahu persis apa penyebabnya, yang pasti saya muak membuka jika tak ada yang menarik. Biasanya, saya termasuk jama'ah Facebookiah yang aktif. Entah, berapa puluh kali sehari saya membuka jejaring sosial itu.

Tapi, jangan dikira saya maniak chatting, itu salah besar. Karena hanya ada tiga alasan kuat saya membuka Facebook: melihat pemberitahuan, membaca berita dan mengunggah tulisan. Itupun dalam durasi waktu yang singkat. Kalau tak ada pemberitahuan penting buat apa saya buka lama-lama? Jadi sekali lagi, jangan dikira saya maniak chatting!

Baiklah, kembali ke kegelisahan tadi. Anda tahu, hal pertama yang membuat saya begitu penasaran membuka Facebook adalah pemberitahuan. Karena dari situlah kita akan mengetahui kabar apa dan dari siapa saja yang nangkring di akun kita. Dan kabar paling saya suka adalah siapa yang mengunggah tulisan terbaru di grup-grup dan berkenan menandai saya. Ya, itulah yang membuat saya kadang begitu bergairah lagi. Kalaupun pas lagi tak ada pemberitahuan yang nyangkut di akun saya maka saya memilih alternatif yang kedua: berburu berita.

Tapi, belakang ini saya seperti sedang dilarang baca berita, khususnya di media massa nasional. Andatahu kenapa? Kontennya membosankan–untuktidakmenyebutnya membodohkan. Saya sebut membosankan lantaran seringkali membuat saya larut, terseret isu-isu yang nyaris minim unsur inspiratif-edukatif. Kalau nggak geliat pencitraan politik ya seputar korupsi pejabat yang menyeret nama beberapa selebritis kita. Itu belum seberapa, yang membuat lebih muak lagi, kalau isu tersebut ternyata hasil settingan untuk mendongkrak popularitas; aji mumpung. Mumpung lagi ada kasus heboh yang menyeret orang besar maka, ikut "memanaskannya" adalah salah satu jurus ampuh menggaet simpati publik melalui media. Benar, selalu begitu saja. Maka dari itu saya malas membaca berita. Entah untuk berapa pekan atau bulan.

Kalau sudah begitu saya hanya akan tertarik membaca catatan-catatan ringan atau semacam esai, cerpen dan lainnya yang bisa menendang kemuakkan itu tadi. Tulisan-tulisan semacam itu, bagi saya adalah ramuan penetralisir yang lebih minim unsur artifisial atau kepalsuan, kemunafikan. Kendatipun sebuah cerita juga dianggap dalam golongan kebohongan namun setidaknya kebohongan yang menyibak kebenaran karena kapasitasnya sebagai karya seni. "Art is a lie that reveals the truth," demikian adagium yang sering saya dengar dari para pakar.

Untuk poin yang berisi kesukaan saya membaca tulisan-tulisan menarik buat menghilangkan penat mungkin memang tak ada masalah. Selain bisa didapatkan di berbagai koran harian juga beberapa social network macam Kompasiana, Blog dan Facebook. Lalu apa yang masih membuat saya tak jenak? Ya, seperti yang saya katakan di atas tadi, kabar yang paling saya tunggu saat membuka pemberitahuan adalah siapa yang berkenan menandai saya di tulisannya. Mungkin ini terkesan konyol. Seolah saya ingin menegaskan bahwa bagi yang hobi nulis dan kebetulan menjadi teman saya harus wajib menandai setiap kali mengunggah catatannya. Sehingga saya berlaga seperti assesor atau legitimator bahkan barangkali Anda berpikir saya sok seperti penulis tersohor. Tak apalah, itu hak prerogatif Anda. Tapi, saya juga berhak menimpali bila ada tuduhan semacam itu. Sebab, alasan saya selalu menunggu tag dari teman-teman sebenarnya hanya satu: itu membuat gairah menulis saya kembali menggebu. Hanya itu!

Ada semacam kekuatan yang mendesir dan menyulut saya dengan begitu kuatnya kala banyak teman yang menandai saya tulisan. Saya seperti sedang ditertawakan kalau-kalau saya hanya memposisikan diri sebagai pembaca. Sekali lagi, bukan karena saya ingin dianggap sebagai seorang penulis ternama tapi lantaran sama-sama hobi menulis saja. Bagi sesama penyuka dunia tulis, hanya berlaku sebagai pembaca adalah tindakan yang fatal. Artinya, setelah membaca (seharusnya) ikut menyaut dengan sebuah karya tulis baru.

Maka saya anggap, seseorang yang menandai tulisan pada teman-teman khususnya seprofesi itu sebenarnya juga sedang menyentil. Bisa jadi dalam catatan-catatan tersebut si penulis sebenarnya berbisik, "Kenapa pikiran kalian membeku? Sementara banyak orang menunggu buah pikiran kalian itu."

Dalam kaitannnya dengan hal ini, sesekali kayaknya kita harus mengamini pendapat Herbert Spencer dalam (Wilstshire, 1978) yang kurang lebih begini: "Aku telah menjadi pemikir sepanjang hidup bukan menjadi pembaca, aku sependapat apa yang di katakan Hobbea jika membaca sebanyak yang di baca orang lain, aku akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu."

Jangan sampai salah arti. Titik tekan pendapat Herbert itu ada pada kalimat setelah koma,"......jika membaca sebanyak yang dibaca orang lain, aku akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu." Dengan kata lain, kita harus lebih banyak membaca dari apa yang telah dibaca orang lain. Dan setelah itu, menuangkannya dalam sebuah rentetan karya sebagai manifes pikiran kita. Dengan demikian, barulah kita pantas menyebut diri sebagai seorang pemikir.

Jadi, tolong dimaklumi bila terkadang saya begitu gusar lantaran tak ada yang menandai tulisan. Karena Anda tidak tahu bagaimana rasanya terjepit kegelisahan saat dunia maya hanya berisi omong kosong menyebalkan atausemacam kegalauan-kegalauan.Sungguhpun saya memahami bahwa kegalauan adalah perihal yang manusiawi. Sebut saja itu sebagai suplemen yang memberi nutrisi. Tanpa kegalauan manusia tak akan mengerti bagaimana meningkatkan kualitas hidupnya. Lantaran hidupnya berlalu dengan biasa-biasa saja. Tapi yang terpenting dan harus dimengerti adalah kegalauan menandakan bahwa ada sesuatu dari diri kita yang harus diperbaiki dan sesegera mungkin diselesaikan. Kalau tidak segera mungkin diselesaikan, itu akan menjadi hal yang sangat memuakkan.

Tulungagung, 28 Februari 2014

)*Penulis adalah pegiat literasi yang tinggal di Tulungagung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun