Mohon tunggu...
Mustofa bisri
Mustofa bisri Mohon Tunggu... Lainnya - Petani

Laki laki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anti Tesis untuk Muhamad Gunawan

12 September 2024   21:48 Diperbarui: 12 September 2024   21:57 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ALIH FUNGSI LAHAN TANTANGAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI PETUNJUK JALAN: TANGGAPAN UNTUK MUHAMMAD GUNAWAN

Pada tanggal 8 september 2024, Muhammad Gunawan dalam artikel Kompasiana memberikan kritik terhadap program Pro Petani pasangan calon Aep Saepullah-Maslani. Ia menyoroti seputar alih fungsi lahan dan Reforma Agraria. Dalam tulisannya Muhammad Gunawan tidak mengurai teori pada satu lanskap yang merentang mulai dari seluk-beluk kemiskinan, reforma agraria sebagai fitur kunci dari keberhasilan tata kelola produksi pertanian, kedaulatan pangan hingga kesejahteraan kaum petani.
baiklah, pada kesempatan ini penulis akan menyodorkan pendapat mengenai Muhammad Gunawan sebagai penulis serta tulisannya yang menyajikan ilustrasi struktural atas kondisi aktual berikut dinamika tata kelola pertanian yang berkait kelindan dengan kebijakan publik. Secara diskursus alih fungsi lahan dan reforma agraria sangat menarik bila diangkat menjadi tema-tema konkrit untuk didiskusikan dan diperdebatkan di ruang-ruang publik.
 

Hal ini bisa kita cermatii dari tulisan artikelnya yang tidak disandarkan pada kaidah-kaidah penulisan yang ilmiah serta dedahannya demikian subjektif tendensius untuk pasangan calon Acep-Gina.
Mari kita simak kedangkalan berpikir Muhammad Gunawan yang tertuang dalam tulisannya.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi daerah terbangun.
Muhammad Gunawan tidak mengajukan pandangan teoritisnya mengenai perkembangan Masyarakat dimana pada fase transisi agraria seperti saat ini ditandai dengan komodifikasi lahan yang perlahan mengubah corak dan relasi-relasi produksi untuk kemudian mendorong munculnya apa yang disebut dengan akumulasi primitif. Kondisi ini berdampak pada penciptaan proletarianisasi pedesaan serta merosotnya nilai guna tanah sehingga memiliki kecenderungan dominan terhadap nilai tukar di pasar tanah. Pergeseran nilai tanah dari sebelumnya sebagai sarana sosial produksi dengan corak tertentu ke posisi tanah sebagai komoditas/proferti untuk memeroleh nilai baru adalah basis argumentasi struktural atas praktik alih fungsi lahan untuk Pembangunan industrialisasi, perumahan dan Kawasan bisnis lain.

Pada aras policy kita telah menjumpai fakta politis dimasa kekuasaan Cellica Nurachadiana memaksa hak dan fungsi lahan pertanian milik rakyat diatur sedemikian rupa melalui Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2018 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Perda tersebut mengatur tentang luasan dan lokasi lahan pertanian yang boleh dan tidak boleh dialih fungsikan. Atas sejumlah konsekwensi yang muncul Perda LP2B ini memang perlu ditinjau ulang dengan menggunakan pendekatan keadilan agraria dengan mengurai segala permasalahanya. LP2B dengan konsekwensi alih fungsi bukan sekedar masalah masa lalu dipemerintahan Dadang Mukhtar, Ade Swara dan Cellica, juga dimasa kini tata agraria masih merupakan masalah pokok kabupaten ini yang belum ditemukan cara mengatasinya, sedang jalan keluar masalah tersebut akan sangat menentukan masa depan para petani.

berikut saya coba ajukan sebuah gambaran ekonomi pada usaha tani padi yang memiliki implikasi terhadap alih hak dan alih fungsi. Produksi gabah dalam 1 hektar sawah teknis menghasilkan 5,7-6 ton gabah, bila dengan asumsi harga (fluktuatif) Rp. 6.000/kg maka dalam satu hektar menghasilkan Rp. 36.000.000. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp. 15.000.000/hektar maka pendapatan bersih petani sekitar 21.000.000/hektar dalam setiap musim tanam atau sekitar Rp.3500.000 per bulan. Sedangkan bagi buruh tani berdasar riset UBP di desa Belendung pendapatan buruh tani sekitar 270.000/bulan atau 9.000/hari. sementara kita ketahui bahwa jumlah buruh tani dalam satu desa rata-rata diatas 1000 orang. Jadi, bila memperhatikan statistik tersebut kemiskinan ekstrim di desa bukan kesalahan statistik BPS sebagaimana sanggahan Cellica dan Acep Jamhuri ketika wakil presiden Ma'ruf Amin menyatakan terdapat desa-desa di Karawang yang masuk dalam ketegori miskin ekstrim. Akan tetapi kemiskinan ekstrim di Karawang merupakan relaitas objektif yang masih berlangsung sampai saat ini. Bila dilihat dari sudut pandang ekonomi maka nilai lahan/sawah sebagai investasi rata-rata sebesar 500 juta - 2 miliar dengan pendapatan Rp. 3.500.000 per bulan maka usaha tani sangatlah tidak rasional. Karenanya tak heran jika petani yang sawahnya terkena plot pembangunan ia akan dengan senang hati menjual sawahnya kepada developer sejalan dengan doktrin land market selalu menyediakan opportunity untuk banting stir ke sektor usaha lain pada konteks bussenes as ussual yang secara revenue jauh lebih rasional.
Dengan demikian, tanpa inovasi yang menunjang peningkatan kapasitas tenaga produktif, LP2B kebijakan peninggalan pemerintahan Cellica, hanya sebagai instrumen untuk mendaur ulang kemiskinan desa.

Kita ketahui bersama bahwa keterlibatan swasta dalam pembangunan sektor perumahan menandakan demikian vitalnya perumahan murah (bersubsidi) bagi rakyat ditengah ketidakberdayaan sistem finansial negara. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman memberikan landasan fungsional bagi swasta dalam menyelenggarakan pembangunan perumahan rakyat. Dalam petunjuk teknis pelaksanaan pembangunan perumahan rakyat oleh swasta, regulasi telah memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten (bupati) untuk menerbitkan ijin alih fungsi lahan dan pembangunan perumahan yang sesuai dengan pedoman spatial plan dan LP2B. Tuduhan Muhammad Gunawan kepada Maslani sebagai pelaku tunggal alih fungsi lahan pertanian itu jelas keliru. Sebab swasta tidak mungkin menjalankan usaha pembangunan perumahan rakyat tanpa dua alasan: (i) lemahnya jaring pengaman produksi pertanian dari pemerintah yang menyediakan jaminan kesejahteraan petani sebagai produser pangan, dan (ii) ijin alih fungsi dan Pembangunan dari bupati. Sementara kita tahu yang mulia Para mantan bupati yang dulu memberi ijin alih fungsi lahan untuk pembangunan perumahan rakyat kini bercokol di kubu Acep-Gina.

Reforma Agraria dan Redistribusi Lahan.
Dalam pengertian sederhana reforma agraria adalah penataan ulang struktur penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan lahan agar tidak ada penghisapan nilai. Reforma agraria sebagai elaborasi dari landreform tak seharusnya mengerdilkan makna revolusionernya sekedar istilah yang dikodifikasi. Pengubahan atau perombakan tata kuasa (pemilikan dan atau penguasaan) tanah secara masif dengan implikasi pada perubahan pengerahan tenaga kerja juga relasi-relasi produksi di atasnya itulah yang dikenal dengan sebagai landreform. Ia pun tak boleh sekedar menjadi program strategis pemerintah yang secara sosiologis hendak menjawab problem-problem mendasar yang terkandung didalmnya seperti gejala kemiskinan, pengangguran, landless dan tunakisma tapi sekaligus meletakkannya dalam konteks transisi agraria dan transformasi masyarakat menuju tatanan sosial yang sama sekali baru yang ditandai dengan perubahan corak produksi dan sosio-kemasyarakatan.
Secara praksis konfigurasi landreform mesti terdiri dari susunan program-program yang berkemampuan melenyapkan feodalisme seperti larangan praktik penyakapan, nyeblok/ngepak, tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dsb); pelarangan penguasaan lahan secara absentee (guntai); larangan penguasaan tanah skala luas dan tentunya redistribusi. Redistribusi lahan harus diarahkan pada dua sisi. Pertama, redistribusi kepada subjek LR yang berasal dari hasil pengambilalihan lahan-lahan yang oleh pemiliknya diusahakan secara menghisap/feodalistik. Kedua redistribusi yang bersumber dari lahan-lahan produksi berskala luas seperti klaim kawasan hutan yang dikuasai oleh perhutani.
 ada baiknya penulis memungut contoh empirik penguasaan lahan pertanian oleh orang luar Karawang (absentee) dengan skala luas. Desa Solokan menjadi suatu tinjauan dalam realitas tata kuasa tanah-tanah pertanian amat ekstrim yang layak kita angkat kepermukaan. Dari sekitar 700 hektar total luas baku lahan pertanian 80% nya dimiliki/dikuasai oleh orang luar kabupaten Karawang. Para pemilik sawah tersebut tidak mengelola sawahnya sendiri melainkan disewakan kepada petani setempat dengan nilai sewa berkisar antara 7-8 juta/hektar pada setiap musim tanamnya. Bila luas lahan guntai mencapai 560 hektar maka terhitung 3,9 miliar uang dalam sistem sewa lari ke luar Karawang setiap musim tanam atau 7,8 miliar dalam satu tahun. Sedangkan para petani setempat harus rela menjadi penyewa dengan hitungan nilai pendapatan perhektar: bila dengan asumsi harga (fluktuatif) Rp. 6.000/kg maka dalam satu hektar menghasilkan Rp. 36.000.000. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp. 15.000.000/hektar dan Biaya sewa sebesar Rp. 7.000.000 maka pendapatan bersih petani sekitar 14.000.000/hektar dalam satu musim tanam atau Rp. 2.300.000 perbulan.
Studi kasus mengenai realitas ekonomi petani dari sejak lama baik dimasa bupati Ade Swara maupun Cellica  tidak pernah mendapat sentuhan kasih sayang melalui kebijakan penertiban tanah-tanah absentee. Anehnya, Muhammad Gunawan mendisclaimer dosa-dosa kedua mantan bupati itu dengan cara menilai pasangan Aep-Maslani tidak memiliki komitmen pada pertanian berkelanjutan. Namun ia tidak sama sekali memberikan penjelasan ilmiah/teoritis tentang bagaimana reforma agraria merombak tata kuasa atas tanah-tanah pertanian dapat menemukan kohesifitasnya bersama daya dorong peningkatkan produktivitas sektor pertanian.

Menepuk air didulang terpercik muka sendiri
Kebijakan alih fungsi lahan yang bergerak simultan dengan Tata kuasa lahan-lahan pertanian bercorak menghisap dan feodalistik telah berlangsung menyejarah di kabupaten Karawang ini merentang dari era kekuasaan Ade Swara sampai kekuasaan Cellica. Terlebih dimasa kekuasaan bupati Ade Swara selaku orang tua Gina (calon wakil bupati) alih-alih mengintrodusir kebijakan reforma agraria, Ade Swara dan istri malah menyalahgunakan kekuasaannya dengan menjadi koruptor. Dengan tanpa kejujuran pikiran upaya Muhammad Gunawan dalam memengaruhi ruang-ruang publik untuk tujuan melucuti pamor pasangan Aep-Maslani justru secara tidak langsung ia mengekspos kebodohannyanya sendiri melalui tulisan lepas yang tidak ilmiah sekaligus mengekspos prilaku kekuasaan para mantan bupati dan Acep Jamhuri sendiri semasa menjabat sekda Karawang dalam kerangka policymaker yang gemar mengeluarkan ijin alih fungsi lahan serta asing dari nilai-nilai luhur reforma agraria.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun